BAGIAN 8

756 30 0
                                    

"Awas...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke arah Murasi. Tepat ketika sebuah benda bercahaya kemerahan meluncur deras ke arah gadis itu. Rangga langsung menubruk Murasi, sehingga mereka jatuh bergulingan di tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat melompat bangkit, dan langsung membantu Murasi berdiri.
Sebentar Rangga melirik ke tanah, tempat Murasi berdiri tadi. Tanah itu berlubang kecil sebesar lingkaran bambu. Tampak di dalam lubang itu terdapat sebuah benda bulat berwarna merah. Benda itu mengepulkan asap tipis, dan terus melesak masuk ke dalam tanah.
Bisa dibayangkan bila benda itu menghunjam tubuh orang. Jelas, akan terus amblas dan menggerogoti daging! Suatu bentuk kematian secara perlahan, setelah mengalami siksaan sakit yang amat sangat.
"Kau tunggu di sini," ujar Rangga.
"Mau ke mana...?"
Tapi pertanyaan Murasi tidak sempat terjawab, karena Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lebih dulu melesat ke atas atap. Rangga memang sempat melihat kalau benda merah itu datang dari arah atap. Namun belum juga bisa mencapai tempat yang dimaksud, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat menyambarnya.
"Hup...!"
Cepat Rangga memutar tubuhnya, sehingga bayangan merah itu tidak sampai menyentuh dirinya, dan hanya lewat di bawah tubuhnya. Pada saat yang sama, Rangga melontarkan satu tebasan tangan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Bet!
Deghk!
"Akh...!" satu pekikan tertahan terdengar.
Saat itu juga, terlihat satu sosok tubuh mengenakan baju warna merah meluncur ke bawah dengan cepat sekali. Seketika tubuh berbaju merah itu keras menghantam tanah. Sebentar dia menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah langsung merembes keluar dari sudut bibirnya.
Pada saat itu, Rangga sudah hinggap di atas atap. Dan saat kakinya menjejak atap, dua bayangan merah kembali berkelebat cepat menyambarnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke atas, lalu berputaran dua kali di udara. Dan secepat kilat kakinya menghentak, menyambar dua bayangan merah yang lewat di bawahnya.
Des!
Deghk!
Seketika terdengar dua jeritan melengking saling susul. Lalu, tampaklah dua sosok tubuh berbaju merah jatuh bergulingan di atap, dan terus meluncur ke bawah. Begitu tubuh mereka sampai ke tanah, Paman Katir dan Paman Julak langsung menyambutnya. Golok mereka berkelebat menyambar dua sosok tubuh berbaju merah itu. Kembali terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi. Dua sosok tubuh itu seketika tewas bersimbah darah, terhajar babatan golok.
Rangga sudah kembali berdiri tegak di atap rumah yang besar ini. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Sedangkan beberapa orang menunggu di bawah sana. Mereka semua memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak di atas atap rumah. Pada saat itu Murasi melesat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Paranti juga melompat. Dan kini kedua gadis itu sudah berada di samping Rangga.
Baru saja Murasi hendak membuka mulut, mendadak dari segala penjuru bermunculan orang-orang berbaju merah yang langsung mengepung rumah ini. Paman Julak dan Paman Katir yang berada di bawah bersama orang-orang bayaran, langsung bersiap. Sementara tiga orang yang berada di atap jadi bengong, karena tidak menyangka akan mendapat satu serangan yang begitu mendadak.
"Ha ha ha...!"
Rangga langsung berpaling ke kanan ketika tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak. Tampak di bawah pohon kamboja, tahu-tahu sudah berdiri sosok makhluk yang sukar dijelaskan wujudnya. Apakah itu manusia, atau kera. Bentuk badan dan tingginya, seperti manusia. Tapi seluruh tubuhnya berbulu, dan wajahnya benar­benar mirip kera. Bajunya warna merah dengan bagian leher berwarna kuning keemasan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanan yang berbulu lebat.
"Itu dia si Siluman Kera," kata Paranti memberi tahu.
Pandangannya beredar ke sekeliling. Saat ini seluruh rumah besar ini sudah terkepung oleh orang-orang berbaju merah yang semuanya sudah menghunus golok. Jumlah mereka begitu banyak. Yang jelas, tak seimbang dengan orang-orang yang disewa mendiang Nyi Enoh untuk menjaga keutuhan rumah ini.
"Paranti, turun kau...!" tiba-tiba si Siluman Kera berteriak keras menggelegar.
Sebentar Paranti menatap Rangga, kemudian langsung melompat turun. Gerakannya begitu ringan, dan dengan manisnya menjejak tanah. Pada saat yang hampir bersamaan, Rangga dan Murasi juga ikut melompat turun. Mereka langsung mendarat di samping Paranti yang sudah berdiri di tanah lebih dahulu.
"Mana gelang itu...?" bentak Siluman Kera. Suaranya terdengar berat dan kasar sekali.
"Tidak ada padaku," sahut Paranti ketus.
Siluman Kera langsung menatap Murasi yang berdiri di samping Rangga. Agak bergidik juga gadis itu mendapatkan sorot mata bulat memerah yang tajam itu.
"Kau...! Ke sini!" bentak Siluman Kera sambil menunjuk Murasi dengan ujung tongkatnya.
"Kau saja yang ke sini, Monyet!" balas Murasi tidak kalah ketusnya.
Si Siluman Kera menggeram marah mendengar penolakan yang tegas dari Murasi. Tatapannya semakin tajam pada gadis itu. Sedangkan Murasi kini jadi berani membalas tatapan itu dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan malah bertolak pinggang, seakan-akan sengaja memamerkan Gelang Naga Soka yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Berikan gelang itu padaku, Murasi," pinta Rangga setengah berbisik.
"Apa...?!" Murasi terkejut.
"Berikan saja gelang itu padaku. Yang diinginkan hanya gelang itu. Dan aku akan menantang bertarung agar tidak menimbulkan banyak korban," kata Rangga setengah memaksa.
"Tapi...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat, Murasi," Rangga memutuskan ucapan Murasi.
Entah apa yang ada dalam hati gadis itu, tapi akhirnya melepaskan Gelang Naga Soka yang berada di pergelangan tangannya. Rangga langsung merebut gelang itu, lalu mengenakannya di pergelangan tangan kiri. Kemudian kakinya terayun ke depan beberapa langkah. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti setelah jaraknya dengan si Siluman Kera tinggal dua batang tombak lagi.
"Sekarang aku yang memiliki gelang ini. Siapa pun tidak kuizinkan menyentuhnya," tegas Rangga dengan suara dingin.
Siluman Kera menggeram agak tertahan mendengar kata-kata bernada tantangan dari seorang pemuda yang berdiri sekitar dua tombak di depannya. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Begitu tajamnya, seakan-akan sorot matanya akan melumat Rangga hingga hancur jadi tepung.
"Siapa kau, Anak Muda?" dingin sekali nada suara si Siluman Kera.
"Rangga," sahut Rangga pendek. Suaranya terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.
"Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?"
"Monyet iblis yang sudah menggali kuburnya sendiri," sahut Rangga, tetap dingin suaranya.
"Ha ha ha...! Rupanya kau punya nyawa rangkap juga, Anak Muda. Bagus...! Itu berarti akan semakin banyak darah membanjiri tempat ini."
"Tidak ada darah yang mengalir, kecuali darahmu, Monyet Iblis," desis Rangga datar.
Siluman Kera langsung terhenyak mendengar kata-kata yang begitu dingin dan menusuk. Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Meskipun kata-kata itu diucapkan bernada datar, namun Siluman Iblis bisa menangkap maksudnya. Dan hatinya agak terkejut juga. Karena, selama ini tidak ada seorang pun yang berani menantangnya bertarung, kecuali mereka yang terpojok dan nekat melawan.
Tapi pemuda berbaju rompi putih ini terang-terangan menantangnya, meskipun diucapkan secara halus. Bahkan hampir tidak jelas maksudnya.
Siluman Kera mendesis kecil seraya memindahkan tongkat kayunya yang berwarna putih, ke tangan kiri. Pandangannya masih tajam, mengamati pemuda berbaju rompi putih di depannya.
"Apa yang kau andalkan untuk menantangku, Anak Muda?" tanya Siluman Kera, bersikap meremehkan.
"Tidak ada," sahut Rangga singkat
"Phuih! Kau terlalu merendahkan aku, Anak Muda!" dengus Siluman Kera seraya menyemburkan ludahnya.
"Di mataku, kau memang rendah sekali. Bahkan terlalu rendah untuk bisa berdiri tegak," ejek Rangga datar.
"Keparat..!" geram Siluman Kera, langsung memuncak amarahnya.
Trap!
Siluman Kera kembali memindahkan tongkatnya ke tangan kanan. Perlahan kakinya bergeser ke kiri beberapa tindak. Tatapan matanya semakin menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya berdiri tegak sambil tersenyum tipis. Dengan sudut ekor matanya, setiap gerak yang dilakukan manusia setengah kera itu diawasi.
"Kau akan menyesal di neraka, Anak Muda," desis Siluman Kera dingin.
"Jangan sombong, Siluman Kera. Kita buktikan, siapa yang lebih dulu pergi ke neraka," sambut Rangga.
"Bedebah...! Hiyaaat..!"
Siluman Kera tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung melompat menerjang sambil mengayunkan kakinya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun manis sekali, Rangga mengegoskan kepalanya sedikit. Maka ujung tongkat kayu berwarna putih itu lewat di depan wajahnya.
Namun sebelum Rangga bisa menarik kembali kepalanya, satu pukulan tangan kiri yang cepat dan mengandung tenaga dalam tinggi dilontarkan Siluman Kera ke arah dada.
"Uts...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, maka pukulan itu lewat di depan dadanya. Seketika itu juga Rangga menghentakkan kakinya. Diberikannya serangan balasan lewat satu tendangan memutar sambil melompat sedikit
"Yeaaah...!"
Rangga menduga kalau si Siluman Kera itu akan berkelit menghindari tendangannya. Namun tanpa diduga sama sekali, manusia setengah kera itu malah membabatkan tongkatnya untuk menyampok kaki Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bet!"
"Ufs...!" Buru-buru Rangga menarik pulang serangannya, langsung memutar tubuhnya. Kembali dilontarkan satu kibasan tangan yang merentang lurus dengan telapak merapat. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
Kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping, lalu bergerak-gerak cepat disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Gerakan tangan yang mengibas itu diimbangi gerakan tubuh dan kaki yang lincah serta lentur bagai karet. Serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti sedikitnya membuat repot si Siluman Kera.
"Hiya! Yeaaah...!"
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak lagi memberi kesempatan pada si Siluman Kera itu untuk balas menyerang. Selesai dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', langsung digantinya dengan jurus lain. Pertarungan itu memang berjalan cepat dan dahsyat luar biasa. Bahkan kini satu sama lain saling melancarkan serangan secara bergantian. Jurus demi jurus pun berlalu cepat sekali. Sehingga tidak terasa, pertarungan sudah melewati lebih dari lima belas jurus.
Namun tampaknya pertarungan itu masih berjalan cukup lama, belum ada tanda-tanda kalau akan cepat berakhir. Bahkan tidak ada sedikit pun tanda-tanda bakal ada yang akan terdesak. Sementara mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan seringkali harus menahan napas.
"Serang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Maka semua orang yang berada di halaman depan rumah besar itu jadi terkejut bukan main. Ternyata tiba-tiba saja muncul puluhan orang bersenjata segala macam, berlarian sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.
"Paman Kumbara...," desis Paranti ketika matanya menangkap seorang laki-laki setengah baya yang berlarian cepat di antara orang-orang yang datang menyerbu itu.
Murasi yang berada di sebelah gadis itu, jadi tertegun sejenak. Ditatapnya Paranti dalam-dalam. Sedangkan yang ditatap, malah tersenyum senang. Matanya tidak berkedip memandang laki-laki setengah baya yang mengenakan jubah putih sambil menghunus pedang.
"Serbuuu...!" tiba-tiba saja Paman Julak berseru keras memberi perintah.
Sekitar sepuluh orang bayaran yang disewa mendiang Nyai Enoh, seketika mencabut senjata masing-masing. Mereka langsung menerjang orang-orang berbaju merah yang kelihatannya jadi kebingungan. Karena, sekarang giliran mereka yang terkepung.
Pertempuran massal pun tak terhindarkan lagi. Sebentar saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut, mengiringi kematian. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan tewas berlumuran darah.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Siluman Kera sudah mencapai taraf yang tertinggi. Masing-masing kini menggunakan ilmu-ilmu kesaktian yang dahsyat. Cahaya-cahaya kilat bertebaran saling menyambar, diselingi ledakan menggelegar yang amat dahsyat dan memekakkan telinga.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi cobalah ilmu pamungkasku yang terakhir!" dengus Siluman Kera.
Makhluk setengah manusia dan setengah kera itu menggerakkan tangannya di depan dada. Tampak begitu telapak tangannya merapat di atas kepala, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan yang bercampur sinar merah bagai api berkobar membakar tubuhnya.
"Hap...!"
Sret! Cring!
Menyadari kalau ilmu pamungkas yang hendak dikeluarkan si Siluman Kera memiliki kekuatan dahsyat, Rangga tidak tanggung-tanggung lagi. Segera diloloskan pedangnya dari warangka di punggung, kemudian dilintangkan di depan dada. Telapak tangannya menempel pada mata pedang, dan perlahan-lahan mulai bergerak menggosok mata pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau.
"Hiyaaa...!" sambil berteriak keras menggelegar, Siluman Kera melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga seraya melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian dengan kecepatan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya kembali. Dan pada saat itu, cahaya biru telah menggumpal pada kedua tangannya. Secepat kilat Rangga menghentakkan tangannya ke depan, tepat ketika dua telapak tangan si Siluman Kera hampir menghajar dadanya.
Glarrr...!
Ledakan keras seketika terdengar bagai ledakan gunung berapi yang memuntahkan laharnya. Seluruh mayapada ini berguncang dahsyat. Angin bertiup keras, dan tanah bergetar bagai diguncang gempa. Sementara itu, dua pasang telapak tangan telah menyatu rapat dalam selimut cahaya beraneka ragam. Siluman Kera dan Pendekar Rajawali Sakti saling berdiri berhadapan dengan telapak tangan menyatu rapat. Tampak tubuh mereka bergetar, berusaha menjatuhkan satu sama lain sesingkat mungkin.
Ini bukan yang pertama kali Pendekar Rajawali Sakti bertarung mempergunakan aji 'Cakra Buana Sukma'. Tapi baru kali ini tahapan yang paling terakhir dikerahkannya. Dan baru kali ini pula mendapat balasan yang kuat sehingga seluruh kekuatannya harus dikerahkan.
"Yeaaah...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras. Seketika itu juga, seluruh tubuhnya berselimut sinar biru yang terang dan menyilaukan mata. Pendekar Rajawali Sakti membuka mulutnya lebar-lebar. Maka dari dalam rongga mulutnya memancarkan cahaya biru yang langsung membelit tubuh Siluman Kera, bagaikan seekor ular saja.
"Akh...!" Siluman Kera memekik agak tertahan. Tubuh manusia kera itu menggeliat dan menggeletar. Sepasang bola matanya semakin memancar memerah. Sebentar kemudian terdengar suara raungan bagai binatang buas yang liar. Tampak seluruh tubuh Siluman Kera semakin kuat menggeletar. Dicobanya untuk melepaskan diri dari pertarungan ini, namun kedua telapak tangannya tak bisa lagi dilepaskan. Manusia setengah kera itu merasakan adanya tarikan kuat yang menyedot kekuatannya. Dan semakin mencoba bertahan, semakin terasa kuat tarikan itu.
Sementara cahaya biru semakin tebal menyelimuti tubuh berbulu dengan wajah seekor kera itu. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti semakin kuat mengerahkan kekuatan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dari mulutnya yang terbuka lebar, terus mengeluarkan cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.
"Hup! Yeaaah...!"
Cring! Bet!
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke leher si Siluman Kera. Begitu cepatnya, sehingga Siluman Kera tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, dia tengah berusaha keluar dari pertarungan kekuatan ilmu kesaktian ini. Sehingga....
Cras!
"Aaakh....!" Siluman Kera menjerit melengking tinggi.
"Hup...!" Rangga langsung melompat mundur sambil menarik kembali ajiannya. Tampak si Siluman Kera berdiri tegak tak bergerak-gerak. Mulutnya terbuka lebar, dan matanya mendelik memerah. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali pedang pusaka ke dalam warangka di punggung. Kemudian sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melompat melontarkan satu tendangan keras menggeledek.
"Hiyaaat..!"
Glarrr! Ledakan keras kembali terdengar bagai guntur di siang bolong, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam dada si Siluman Kera. Seketika itu juga, tubuh Siluman Kera hancur berkeping-keping tanpa memperdengarkan suara lagi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Dipandanginya tubuh Siluman Kera yang hancur jadi tepung. Sementara itu, pertarungan di tempat lain juga sudah berakhir. Tidak sedikit anak buah Siluman Kera yang tewas, dan tidak sedikit pula yang sempat melarikan diri begitu melihat pemimpinnya tewas. Tampak Murasi dan Paranti berdiri berdampingan di depan seorang laki­-laki setengah baya mengenakan jubah panjang berwarna putih.
"Kau percaya padaku, Murasi?" tanya Paranti seraya melirik gadis di sampingnya.
"Percaya. Tapi, gelang itu ada pada Kakang Rangga," sahut Murasi.
"Hei...?! Di mana dia...?" seru Paranti.
Kedua gadis itu saling berpandangan, kemudian sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tidak ada lagi. Entah kapan dan ke mana perginya, tak ada yang mengetahui. Tapi di beranda depan rumah, tergantung sebuah gelang hitam berbentuk seekor ular. Murasi cepat-cepat mengambil gelang itu dan membawanya pada Paman Kumbara yang langsung menerimanya disertai senyuman tersungging di bibir.
"Tidak ada gunanya lagi. Dia sudah memusnahkan sebagian jiwa Siluman Kera yang ada dalam gelang ini," jelas Paman Kumbara.
"He...?! Bagaimana caranya, Paman?" tanya Paranti terkejut.
"Entahlah. Tapi yang jelas, tingkatan kepandaiannya lebih tinggi daripada Siluman Kera. Hm..., seandainya aku bisa berbicara dengannya...," nada suara Paman Kumbara seperti bergumam.
"Aneh juga, ya.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" gumam Paranti seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Begitulah seorang pendekar sejati. Dia tidak memerlukan ucapan terima kasih ataupun balas jasa atas sumbangsihnya," jelas Paman Kumbara.
Ada nada kekaguman pada suara Paman Kumbara. Tapi di balik itu semua hatinya juga menyesal. Karena, dia tidak sempat bertemu muka dan berbicara dengan seorang pendekar sejati seperti Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah. Sebaiknya kita urus saja mayat-mayat ini. Mudah-mudahan saja bisa bertemu lagi dengannya," Paman Kumbara seperti menghibur dirinya sendiri.
Kedua gadis itu saling melempar pandangan, kemudian sama-sama duduk di undakan beranda depan. Paman Kumbara memperhatikan sebentar, kemudian hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia memang belum sempat bertemu pemuda yang bernama Rangga itu. Tapi dari sikap kedua gadis ini, bisa ditebak kalau mereka begitu kehilangan sekali. Dan yang pasti, pendekar muda itu telah menarik simpati hati kedua gadis ini.
"Hhh..., anak muda..." desah Paman Kumbara seraya menggelengkan kepala.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga Soka 🎉
49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang