“He he he.... Kau berhasil, Paranti?” tanya Eyang Congkok yang baru saja datang.
Gadis berbaju kuning yang tengah duduk menghadap api unggun kecil langsung mengangkat kepalanya. Mulut yang sudah terbuka hendak menggigit daging kelinci panggang, kembali tertutup. Dipandangnya laki-laki tua bungkuk berjubah hijau yang tahu-tahu sudah duduk di depannya. Eyang Congkok mengambil sekerat daging, langsung mengunyahnya.
“Tidak percuma bertahun-tahun aku mendidikmu, ternyata kau punya otak yang cerdas juga,” tegas Eyang Congkok.
“Tapi aku hampir saja gagal, Eyang,” dengus Paranti dengan wajah tertekuk memberengut.
“He he he..., hanya tantangan kecil. Tidak ada artinya sama sekali bila dibandingkan dengan keberhasilanmu. Semadimu bisa kau teruskan di pondokku nanti. Biar nanti lukamu aku yang menyembuhkan,” Eyang Congkok kembali terkekeh.
Paranti kembali menikmati daging panggangnya. Sedangkan laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu menggeser duduknya di bawah sebatang pohon rindang, sambil menikmati daging panggang. Malam memang sudah demikian larut, dan udara dingin merasuk sampai ke tulang sumsum. Namun, dinginnya udara malam ini seakan-akan tidak terasakan lagi. Bukan oleh nyalanya api, tapi oleh kegembiraan karena Paranti berhasil mencuri Gelang Naga Soka.
“Mana gelang itu?” tanya Eyang Congkok. Matanya berbinar-binar seperti mengandung sesuatu yang sukar diartikan.
“Ada,” sahut Paranti ringan.
“Coba kulihat,” pinta Eyang Congkok.
“Untuk apa? Eyang pasti ingin memiliki kalau sudah melihat.”
“He he he.... Kau pikir aku berminat pada gelang itu? Tidak sama sekali, Paranti. Gelang itu tidak ada apa-apanya tanpa jiwa Siluman Kera.”
“Bukankah Eyang sudah lama ingin memilikinya? Bahkan sampai membunuh sahabat baik!”
“Kau lupa, Paranti. Ini kulakukan demi pamanmu. Aku hanya sekadar membantu saja untuk mendapatkannya.“
“Kalau begitu, biar aku saja yang menyerahkannya pada paman. Toh, tugas ini dibebankan padaku. Buktinya, Eyang telah gagal selama ini.”
“He he he.... Kau semakin pintar saja, Paranti. Baik, aku tidak akan memaksa. Aku memang kalah cerdik darimu,” Eyang Congkok menyerah. Namun di balik itu, ada sesuatu yang harus dilaksanakan. Dan itu harus berhasil.
“Bukan cerdik, tapi licik.”
Eyang Congkok dan Paranti terkejut ketika tiba-tiba mendengar suatu suara berat yang terasa dingin. Mereka langsung saja menggelinjang bangkit, dan saling menggeser kaki mendekat. Tak ada seorang pun terlihat di sekitar tempat ini, tapi suara itu demikian jelas terdengar. Eyang Congkok dan Paranti saling berpandangan.
“Siapa itu...?!” seru Eyang Congkok, agak keras suaranya.
Tidak ada sahutan sama sekali. Keadaan begitu sunyi. Bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, kecuali gemeretak ranting yang termakan api karena ditimpa hembusan angin yang menyebarkan udara dingin menggigilkan.
Namun sebelum Eyang Congkok bisa membuka suara lagi, mendadak saja berlompatan orang-orang berpakaian serba merah. Sebentar saja tempat itu sudah dikelilingi manusia berbaju merah yang semuanya sudah menghunus golok. Paranti langsung menggeser kakinya semakin mendekati laki-laki tua bungkuk berjubah hijau.
“Mereka orang-orang Siluman Kera, Eyang,” kata Paranti berbisik.
“Aku tahu, hati-hatilah,” sahut Eyang Congkok juga berbisik pelan.
Eyang Congkok mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dalam hati dihitungnya jumlah orang berbaju serba merah yang sudah mengepung tempat ini. Ada sekitar tiga puluh orang jumlahnya. Dan laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu merasakan kalau masih banyak lagi yang bersembunyi di sekitarnya.
Laki-laki tua itu melirik Paranti yang berdiri tidak jauh di sebelah kanannya. Ada perasaan khawatir terhadap diri gadis ini. Meskipun tahu kalau Paranti tidak bisa dianggap enteng dan sembarangan, namun gadis ini belum begitu sembuh benar dari luka dalamnya. Dan juga belum berpengalaman dalam menghadapi berbagai pertarungan dalam rimba persilatan. Paranti masih begitu polos, meskipun sikapnya bisa dikatakan agak liar. Dia memang gadis nakal, dan masih suka mempermainkan orang. Berbagai akalnya bisa membuat orang lain kewalahan.
Dalam hal yang sebenarnya, hati Eyang Congkok tengah berkecamuk. Dia seperti menyimpan sesuatu yang tidak mungkin diungkapkan. Batinnya terpecah oleh dua rencananya sendiri. Dan dia harus memilih salah satu. Membantu Paranti, atau merampas Gelang Naga Soka. Dan rupanya ada sifat bijaksana juga di dalam hatinya.
“Kau harus lari begitu ada kesempatan, Paranti. Mereka tidak bisa dilawan begitu saja,” kata Eyang Congkok setengah berbisik. Memang, niatnya untuk membantu gadis itu timbul seketika.
“Eyang sendiri...?”
“Jangan hiraukan aku!” sentak Eyang Congkok pelan.
“Tapi mereka terlalu banyak, Eyang.”
“Aku bisa mengatasi.”
“Kalau Eyang bisa, aku juga bisa,” bantah Paranti.
Eyang Congkok mendesis geram. Kenakalan Paranti mulai timbul lagi. Dan inilah yang sebenarnya sangat dikhawatirkannya. Paranti tidak pernah memandang sedikit pun pada lawan-lawannya. Semua lawannya selalu dianggap sama. Padahal ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya belum seberapa bila dibandingkan anak buah si Siluman Kera. Dan tentu saja yang datang kali ini, ilmunya pasti cukup tinggi. Namun hal seperti itu tidak dihiraukan Paranti sama sekali.
“Kau jangan membantah, Paranti. Aku akan melemparkan mayatmu ke jurang jika mati di tangan mereka!” ancam Eyang Congkok.
Paranti bergidik juga mendengar ancaman laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu. Dia tahu kalau Eyang Congkok sudah sampai mengeluarkan ancaman, itu berarti tidak main-main lagi. Paranti langsung menyadari kalau situasi yang dihadapi sekarang ini sangatlah gawat, dan tidak mungkin bisa dibantah lagi.
“Dengar! Begitu ada kesempatan, kau harus lari. Cepat temui pamanmu. Mengerti...?!” kata Eyang Congkok menekankan.
“Baik, Eyang,” sahut Paranti terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga Soka
ActionSerial ke 49. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.