BAGIAN 3

820 27 0
                                    

Pagi ini udara begitu cerah. Langit tampak jernih dihiasi awan tipis berarak di langit. Sengatan sinar matahari menjadi tak terasa karena diusir oleh angin yang lembut membuai. Namun keindahan hari ini, tidak dinikmati oleh satu keluarga yang tinggal di sebuah desa di kaki Gunung Panjakan.
Di dalam rumah yang cukup besar itu, hanya ada seorang perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tengah duduk di kursi rotan. Dia ditemani seorang gadis muda mengenakan baju warna merah muda. Gadis itu juga duduk di kursi rotan di samping kanan perempuan setengah baya itu. Sedangkan di depan mereka, ada dua orang laki-laki yang duduk bersila di lantai. Tampak gagang golok menyembul keluar dari balik pinggangnya.
“Aku benar-benar menyesali sikap ayahmu yang keras kepala. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika saja dia bersedia mengalah sedikit,” terdengar lirih suara perempuan setengah baya itu.
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu disesali lagi. Ayah benar, dan aku bangga,” gadis di sebelahnya menyahuti.
Perempuan setengah baya yang usianya kelihatan lebih muda dari sebenarnya itu menarik napas dalam-dalam. Anak gadisnya dipandangi lekat-lekat, sepertinya tidak tampak adanya kesedihan di wajah gadis itu. Padahal baru dua hari yang lalu mereka ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang yang selama ini dicintai dan selalu melindungi. Ayah gadis itu baru saja meninggal, tapi gadis itu tidak berduka sama sekali.
“Entah kapan waktunya, mereka pasti datang lagi ke sini. Mereka belum mendapatkan apa yang diinginkan, Murasi,” tegas perempuan setengah baya itu lagi.
“Aku akan menghadapinya, Bu,” tekad gadis yang bernama Murasi mantap.
“Tidak, Anakku. Kau tidak boleh menghadapi mereka, karena tidak akan mampu. Apa yang akan kau andalkan...?” ada nada kecemasan pada suaranya.
“Kami semua akan menghadapinya, Nyi Enoh,” celetuk salah seorang yang duduk di lantai.
Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu seketika memandang dua orang laki-laki bertubuh tegap yang duduk bersila di lantai. Kedua orang itu memang sudah lama ikut bersama suaminya, sebelum Murasi lahir. Mereka begitu setia mengikuti ke mana saja Ki Enoh pergi. Bahkan rela mempertaruhkan jiwa dan raga bagi keutuhan keluarga ini.
“Mungkin kami memang tidak bisa mengalahkan orang-orang Siluman Kera itu. Tapi kami yakin bisa menyelamatkan Nyi dan Ni Murasi dari ancaman mereka,” tegas salah seorang yang memiliki kumis tebal seperti sapu ijuk.
“Tidak! Kalian tidak boleh mati. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup banyak korban, dan aku tidak ingin jatuh korban lagi,” sergah Nyi Enoh tegas.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya Murasi tidak mengerti atas sikap ibunya.
“Memberikan apa yang mereka inginkan,” sahut Nyi Enoh.
“Bu...?!” Murasi terkejut. Gadis itu memandangi ibunya dalam-dalam. Sungguh tidak diduga kalau ibunya akan mengambil keputusan seperti itu. Selama ini Murasi mengenal ibunya sebagai wanita yang tegar dan tabah, serta kuat dalam menghadapi segala macam peristiwa. Tapi sekarang ini..., Murasi seperti kehilangan sosok wanita yang selama ini didambakan dan dikaguminya. Sosok yang menjadi panutan dan pedoman dalam hidupnya.
“Bu! Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan dari Ayah. Bagaimana ibu bisa mengatakan akan memberikan yang mereka inginkan?” tanya Murasi, agak lunak suaranya.
“Mereka menginginkan Gelang Naga Soka,” sahut Nyi Enoh, terdengar pelan suaranya.
“Gelang Naga Soka...?” Murasi mengerutkan keningnya.
Murasi tahu gelang yang dimaksudkan ibunya. Gelang itu memang selalu dikenakan ayahnya tanpa pernah lepas, meskipun hanya sebentar saja. Namun, tentu saja ada pengecualian. Ketika si siluman akan datang menyerbu, Ki Enoh segera memerintahkan anak istrinya untuk mengungsi. Dan tentu saja sambil menyelamatkan Gelang Naga Soka.
Hal ini dilakukan agar si Siluman Kera jangan sampai mendapatkan sebelah jiwanya yang tersimpan dalam gelang itu. Karena berdasarkan wangsit, sebagian jiwanya berada di situ. Bentuknya cukup indah, dihiasi oleh ukiran seekor ular yang melingkar berwarna hitam pekat. Pada bagian ekornya yang melilit kepala, berwarna kuning keemasan.
Gelang itu sekarang memang berhasil diselamatkan Nyi Enoh setelah suaminya tewas dalam pertarungan melawan Siluman Kera yang datang bersama muridnya dalam jumlah cukup banyak. Semua murid-murid Ki Enoh tewas, dan hanya tinggal mereka berempat saja yang masih bisa selamat karena telah berhasil mengungsi lebih dulu. Dan sampai sekarang, Murasi tidak tahu, kenapa si Siluman Kera itu menginginkan Gelang Naga Soka. Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di dalam gelang itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menggaluti benak Murasi.
“Mengapa mereka menginginkan gelang itu, Bu?” tanya Murasi yang tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
“Gelang itu menyimpan sebagian jiwa asli si Siluman Kera. Dengan gelang itu, dia bisa merubah ujudnya kembali menjadi manusia biasa. Dan ilmu kesaktiannya akan menjadi berlipat ganda jika gelang itu dikenakan,” jelas Nyi Enoh.
“Kenapa ayah sampai bisa menyimpannya, Bu?” tanya Murasi lagi.
“Sebenarnya ayahmu hanya menjalankan amanat saja. Sepuluh tahun yang lalu, gelang itu milik seorang pertapa yang dicuri orang. Oleh orang itu, kemudian digunakan untuk melakukan kejahatan. Namun akhirnya, orang itu sadar dan menitipkannya pada ayahmu untuk diserahkan pada pertapa tadi. Dan pada kenyataannya, pertapa itu telah meninggal dunia.”
Nyi Enoh berhenti bercerita sebentar. Suasana kemudian menjadi hening, seperti menunggu perempuan setengah baya itu untuk melanjutkan ceritanya.
“Pada suatu malam, ayahmu bermimpi didatangi oleh pertapa yang memiliki gelang itu. Katanya, gelang itu telah dimasuki sebagian jiwa seseorang yang telah menganut ilmu hitam ‘Siluman Kera’. Maka, tentu saja orang itu akan merampasnya dari tangan ayahmu.”
Kembali suasana menjadi hening ketika Nyi Enoh menghentikan ceritanya sebentar.
“Dan sebenarnya, si Siluman Kera itu sudah tewas tiga puluh tahun yang lalu di tangan kakekmu, Murasi. Tapi rupanya, kematiannya tidak dalam arti yang sebenarnya. Ternyata sebagian jiwanya sempat dipindahkan ke dalam tubuh seekor kera, yang kemudian menjelma menjadi manusia kera. Sedangkan jiwanya yang lain masuk ke Gelang Naga Soka. Selama gelang itu tidak jatuh ke tangan si Siluman Kera, selamanya dia akan berujud setengah manusia dan setengah kera. Dia tidak akan bisa menjelma kembali menjadi manusia, selama sebagian jiwa yang berada di dalam gelang itu tidak menyatu bersama raganya yang sekarang,” tutur Nyi Enoh.
“Aneh...,” gumam Murasi.
“Di dalam dunia persilatan, tidak ada yang bisa dikatakan aneh, Murasi. Segalanya bisa terjadi tanpa dapat dimengerti akal sehat. Memang, hal itu bagimu terasa aneh. Tapi bagi kalangan rimba persilatan, sudah menjadi sesuatu yang wajar dan sering terjadi. Bahkan tidak jarang seorang tokoh rimba persilatan meninggalkan raganya yang sudah mati, dan masuk ke dalam tubuh seseorang, binatang atau ke sebuah benda. Bisa juga mereka menyusup masuk ke dalam tubuh muridnya. Tapi banyak juga yang menerima kodratnya sebagai manusia, dan kembali ke swargaloka,” kembali Nyi Enoh menjelaskan.
Meskipun sukar dimengerti, namun Murasi mencoba untuk bisa memahami. Dia memang sering mendengar cerita ayahnya tentang dunia persilatan. Baginya, menggeluti dunia persilatan adalah sesuatu yang unik dan sukar dimengerti. Tapi, itulah kenyataan salah satu sisi dunia kehidupan yang nyata. Sesuatu yang dianggap konyol bagi orang biasa, tapi kenyataannya memang ada dalam kalangan persilatan.
“Ibu yakin kalau si Siluman Kera itu akan kembali lagi ke sini?” tanya Murasi lagi.
“Pasti, sebelum mereka mendapatkan apa yang diinginkannya,” sahut Nyi Enoh.
“Dan Ibu akan menyerahkan gelang itu?”
“Ibu tidak punya pilihan lain lagi, anakku.”
“Itu berarti Ibu memberikan kesempatan padanya untuk merajalela menghancurkan dunia ini!” agak ketus nada suara Murasi.
“Kau tidak mengerti, anakku. Siluman Kera bisa berbuat apa saja pada kita...,” Nyi Enoh meminta pengertian anaknya.
“Meskipun telah memperoleh gelang itu, dia pasti akan membunuh kita juga, Bu. Apakah Ibu rela mati sebagai pengecut...?!” dingin sekali suara Murasi.
“Ibu tidak berpikir ke situ, anakku. Ibu hanya memikirkan keselamatanmu saja.”
“Dia harus melangkahi mayatku dulu kalau ingin merebut gelang itu!” tegas Murasi.
“Murasi...?!” sentak Nyi Enoh terkejut. “Kau harus hati­-hati bicara. Kalau dia tahu, kau akan celaka.”
“Jangan khawatir, Bu. Seandainya tidak mampu menghadapi mereka, kita bisa meninggalkan desa ini.”
“Kau tidak tahu, siapa si Siluman Kera itu, anakku.”
“Sudahlah, Bu. Sebaiknya aku saja yang mengenakan gelang itu, dan aku akan bertanggung jawab,” tegas Murasi, mantap suaranya.
Nyi Enoh begitu terharu sekali atas ketegasan sikap anaknya. Tapi hatinya juga khawatir. Kekerasan hati Murasi bisa mendatangkan bencana yang lebih besar lagi. Bukan saja akan mati terbunuh oleh anak buah si Siluman Kera, tapi desa ini akan hancur. Maka sudah dapat dibayangkan, tak ada seorang penduduk pun yang bisa hidup.
Nyi Enoh jadi teringat cerita mendiang suaminya sebelum mereka kedatangan si Siluman Kera. Suaminya itu hendak mengunjungi sahabatnya di Desa Gandus. Tapi kenyataan yang didapati, desa itu telah hancur. Saat itu juga Ki Enoh menduga apa yang bakal terjadi, karena tidak menemukan tongkat kayu putih yang disimpan sahabatnya itu di rumahnya.
Ternyata tongkat kayu putih yang menjadi senjata maut si Siluman Kera sudah lenyap. Dan Ki Enoh sudah menduga kalau Siluman Kera sedikit demi sedikit akan menyempurnakan kembali dirinya seperti dulu lagi. Dan Jika itu terlaksana..., tidak dapat dikatakan lagi, apa jadinya dunia ini.

49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang