BAGIAN 2

814 25 0
                                    

Sementara itu di angkasa, dua burung rajawali raksasa masih melayang-layang di atas lembah padang rumput itu. Dua pendekar muda yang menungganginya, selalu memperhatikan ke bawah. Di situ, terlihat lima orang duduk melingkari api unggun kecil, di bawah pohon yang cukup besar dan rimbun. Rangga yang duduk di punggung Rajawali Putih, mengalihkan perhatian pada Intan Kemuning. Pada saat yang sama, gadis itu juga memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bisa mendengar pembicaraan mereka, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Tidak. Jaraknya terlalu tinggi," sahut Rangga.
"Tapi kau sudah menguasai aji 'Pembeda Gerak dan Suara', kan?"
"Ajian itu bukan untuk mendengar dari atas, Intan. Tidak akan berarti apa-apa, meskipun telah kusempurnakan."
"Apa itu salah satu kelemahannya, Kakang?"
"Benar. Aji 'Pembeda Gerak dan Suara' hanya bisa digunakan kalau kaki menyentuh tanah. Karena, dari tanahlah sumber segala yang ada di alam ini, sehingga dapat mengirimkan getaran-getaran sehalus apa pun juga," jelas Rangga.
"Kau tidak bisa menggunakan udara, Kakang?" tanya Intan Kemuning. Rangga menggeleng.
"Kenapa?"
"Setiap orang punya kelemahan, Intan. Dan aku bukan dewa yang bisa segalanya. Aku tidak tahu, apakah nantinya bisa mempergunakan udara sebagai penghubung, atau tidak," sahut Rangga merendah.
"Kau sudah pernah mencobanya, Kakang?"
"Sudah, tapi belum bisa memecah suara yang datang."
"Kalau begitu, kau pasti mampu mempergunakan udara sebagai penghubung. Aku yakin, Kakang."
"Terima kasih."
Mereka memang tetap berada di udara, dan terus memperhatikan lima orang yang duduk melingkari api unggun kecil di lembah bawah sana. Sayang sekali, Pendekar Rajawali Sakti belum mampu mempergunakan udara sebagai penghubung lewat aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Jadi, pembicaraan lima orang itu tidak dapat didengarkannya.
"Tampaknya mereka akan pergi, Kakang," kata Intan Kemuning.
Lima orang itu memang bergerak memencar meninggalkan lembah ini, menuju lima arah mata angin. Gerakan mereka begitu cepat dan ringan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah lenyap tak terlihat lagi. Hilang ditelan kerimbunan pepohonan lebat di sekitar bukit yang mengelilingi lembah ini.
"Ayo kita turun, Intan," ajak Rangga.
"Untuk apa?" tanya Intan Kemuning.
"Dari sana kita bisa langsung ke Kerajaan Galung dengan jalan kaki."
Intan Kemuning tidak membantah. Lembah ini memang masih termasuk wilayah Kerajaan Galung. Dan memang tidak mungkin bila masuk ke kotaraja menunggang rajawali. Hal ini akan menarik perhatian orang banyak. Dan tentu saja bisa menyulitkan ruang gerak mereka nantinya.
Putri Rajawali Hitam menyuruh rajawali tunggangannya untuk mengikuti Rangga yang sudah meluncur turun bersama Rajawali Putih tunggangannya. Kedua burung rajawali raksasa itu meluncur cepat bagaikan kilat seperti ingin saling susul. Sehingga dalam waktu sekejap saja, kedua pendekar muda itu sudah melompat turun dari punggung rajawali tunggangan masing-masing.
"Kau boleh pergi, Rajawali Putih," ujar Rangga seraya menepuk leher Rajawali Putih.
"Khrrr...!"
"Tidak perlu khawatir. Kalau kau kuperlukan, pasti aku akan memanggilmu," kata Rangga, seakan-akan bisa mengerti arti suara burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung membumbung tinggi ke angkasa. Dan pada saat yang bersamaan, Rajawali Hitam juga melesat naik menyusul. Rangga dan Intan Kemuning memandangi kedua burung raksasa itu sampai lenyap di batik awan.
"Sampai di mana kita tadi, Intan?" tanya Rangga ingin menyambung pembicaraan mereka yang terputus tadi.
Intan Kemuning tidak langsung menjawab. Mungkin sudah lupa dengan pembicaraan yang terputus tadi, karena kemunculan perempuan tua berjubah biru yang tidak dikenal sama sekali.
"Kakang.., sepertinya empat orang yang tadi berkumpul di sini kukenali," kata Intan Kemuning dengan nada suara terdengar ragu-ragu.
"Kau benar-benar mengenali mereka, Intan?" desak Rangga ingin memastikan.
"Dari pakaiannya, mereka seperti Empat Dewa Keadilan dari Selatan," pelan sekali suara Intan Kemuning.
Gadis itu masih belum yakin, karena jarak dari tempat ini tadi begitu jauh sekali. Dan lagi, malam begitu pekat. Sehingga, sulit untuk melihat dengan jelas.
"Kalau memang benar, lalu siapa yang seorang lagi?" tanya Rangga.
"Entahlah.... Aku baru melihatnya tadi," sahut Intan Kemuning, tidak yakin dengan dirinya sendiri.
"Sebaiknya kita ke kotaraja sekarang saja, Intan," usul Rangga.
"Tidak menunggu sampai pagi nanti, Kakang?"
"Kalau berangkat sekarang, pagi-pagi nanti sudah sampai di kotaraja."
"Lalu?"
"Ya..., kita langsung saja ke istana."
"Itu sama saja bunuh diri, Kakang."
"Kenapa? Bukankah mereka ada di dalam istana semua?"
"Memang benar, Kakang. Tapi, kau harus ingat. Mereka rata-rata memiliki kemampuan tinggi. Sebaiknya cari jalan yang terbaik dulu, lalu kita bebaskan mereka yang menjadi tawanan. Kalau Gusti Prabu dan keluarganya sudah selamat, baru kita hadapi iblis-iblis keparat itu, Kakang," saran Intan Kemuning.
"Baiklah," Rangga menyerah.
Dan memang, saran dan rencana yang diajukan Intan Kemuning lebih kecil risikonya. Dan lagi mereka memang harus memikirkan lebih dahulu keselamatan. Tanpa banyak bicara lagi, kedua pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat ini.
Mereka mendaki bukit dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepat dan indah sekali, sehingga dalam sebentar saja mereka sudah berada di tepi puncak bukit. Mereka terus bergerak, berlari cepat menembus lebatnya hutan.

50. Pendekar Rajawali Sakti : Gerhana Kembang KedatonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang