BAGIAN 6

691 27 1
                                    

Ki Ganda terpental deras ke belakang. Punggungnya langsung menghantam sebatang pohon, hingga bergoyang bagai dilanda angin topan. Laki-laki tua berbaju hitam itu menggeliat, mencoba bangkit berdiri. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja, berdiri tegak sambil menatap tajam. Perlahan Ki Ganda berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Napasnya begitu tersengal, seakan-akan ada sebongkah batu besar mengganjal rongga dadanya.
“Aku masih memberimu kesempatan pergi dari sini, Kisanak,” kata Rangga dingin menggetarkan.
“Phuih! Keparat..!” geram Ki Ganda seraya menyemburkan ludahnya dengan sengit
Mata laki-laki tua itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya begitu menusuk. Sebentar dia membuat beberapa gerakan sambil mengatur pernapasan. Kemudian tongkatnya disilangkan di depan dada. Perlahan namun pasti, laki-laki tua berbaju hitam itu merentangkan tongkatnya ke depan.
Dan kini tongkat itu mengepulkan asap berwarna hitam pekat. Rangga bergegas menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dirasakan asap hitam itu mengandung racun yang sangat kuat dan mematikan. Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat beberapa gerakan dengan tangannya. Disumbatnya beberapa aliran darah yang peka terhadap racun. Rangga juga memindahkan jalan pernapasannya ke perut
“Sekarang kau akan mampus, Bocah Setan...!” desis Ki Ganda dingin.
Perlahan-lahan, Ki Ganda mengayunkan kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Asap yang keluar dan ujung tongkatnya semakin banyak dan menggumpal tebal. Sementara Rangga mulai menggeser kakinya ke kanan. Nampaknya racun itu semakin menyebar bersama asap, dan semakin bertambah kuat.
“Aku harus melenyapkan asap beracun ini sebelum menyebar terbawa angin,” gumam Rangga dalam hati.
Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti melakukan tindakan, mendadak saja Ki Ganda sudah melompat menyerangnya dengan cepat sekali.
“Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Bergegas Rangga melompat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan tongkat yang terus mengepulkan asap hitam beracun. Dan begitu tongkat itu lewat, cepat sekali tangannya dikibaskan ke perut.
Bet!
Tapi Ki Ganda cepat berkelit dengan menarik perutnya ke belakang. Dan kini malah melompat ke samping sambil mengibaskan tongkatnya. Rangga segera melentingkan tubuh ke udara. Dan dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', Pendekar Rajawali Sakti segera melakukan serangan yang diarahkan ke kepala laki-laki tua berbaju hitam itu.
“Hiya! Yeaaah...!”
“Ih! “
Bet!
Ki Ganda cepat mengibaskan tongkat, melindungi kepala dari sasaran kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melenting dan berputar dua kali. Dan dengan manis sekali, kakinya mendarat cepat di belakang Ki Ganda. Rangga langsung memutar tubuhnya sambil memberi satu sodokan sikut, dan tepat menghantam punggung Ki Ganda.
“Akh...!” Ki Ganda terpekik agak tertahan.
Laki-laki tua berbaju hitam itu kembali terhuyung ke depan. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah memberi satu tendangan keras menggeledek.
“Hiyaaa...!”
Des!
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Ki Ganda tersungkur mencium tanah. Dengan gerakan lemah, laki-laki tua berbaju hitam itu mencoba bangkit berdiri. Sementara Rangga kembali memberi kesempatan untuk mengumpulkan tenaga dan kekuatan lawannya.
“Aaa...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan melengking tinggi. Rangga dan Ki Ganda cepat menoleh ke arah yang sama. Tampak Nyai Caring terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya. Tampak darah mengucur deras dari perutnya. Sebentar kemudian Nyai Caring ambruk ke tanah, dan langsung tak bergerak lagi Malam ini nasib Nyai Caring benar-benar sial, karena nyawanya harus terbang ke neraka.
Kematian Nyai Caring membuat hati Ki Ganda dan Nyai Kunir jadi bergetar. Selama ini mereka berempat adalah tokoh persilatan yang tidak pernah gagal dan sangat ditakuti lawan maupun kawan. Dengan tewasnya dua orang, itu sudah merupakan satu pertanda kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang tidak bisa diukur. Padahal, mereka masih tergolong muda.
“Hup...!”
Ki Ganda melompat menghampiri Nyai Kunir. Sedangkan bukan Rangga yang menghampiri Pandan Wangi, tapi malah gadis itu yang mendekatinya dengan kaki terseret ringan. Mereka kini saling berdiri berhadapan, bertatapan tajam penuh arti tersembunyi.
“Bagaimana, Nyai? Diteruskan, apa tidak?” tanya Ki Ganda berbisik.
“Sepertinya kita tidak mungkin menghadapi mereka lagi, Kakang. Sebaiknya kita cari saat yang tepat dulu. Kejadian ini harus diberitahukan kepada Nyai Walungkar,” sahut Nyai Kunir.
“Ayolah, jangan menunggu waktu lagi.”
Kedua orang tua itu langsung saja cepat melesat pergi, tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi hendak mengejar, tapi Rangga cepat mencekal tangan gadis itu. Si Kipas Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti hendak membiarkan saja mereka pergi.
“Mereka pasti kembali lagi, Kakang,” kata Pandan Wangi
“Itu sudah pasti, Pandan,” sahut Rangga. “Hm..., aku ada sedikit pertanyaan untukmu.”
“Aku tahu, kau pasti akan menanyakan bagaimana urusanku? Sudah beres apa belum? Kenapa tiba-tiba ada di sini, dan sampai bentrok dengan orang-orang tua itu. Dan kapan aku bertemu Prabu Galung, iya kan...?” Pandan Wangi langsung memberondong dengan tebakannya sendiri.
Rangga jadi terdiam. Pendekar Rajawali Sakti memang ingin menanyakan itu semua pada Pandan Wangi. Sedangkan, baru saja si Kipas Maut itu membeberkan semua pertanyaan yang masih berada di dalam benaknya. Rangga hanya mengangkat bahunya saja, kemudian melangkah perlahan meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau bisa jelaskan padaku, Pandan?” pinta Rangga
“Tentu saja bisa. Dan aku memang akan menjelaskannya padamu, tanpa diminta,” sahut Pandan Wangi enteng.
Rangga diam saja, dan terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti terus di sampingnya. Gadis itu juga masih tetap diam, seakan sengaja menguji kesabaran pemuda berbaju rompi putih ini.
“Kapan kau menjelaskannya, Pandan...?”
“Ha ha ha.... Rupanya kau tidak sabar juga, Kakang,”
“Sial!” rutuk Rangga merasa kena dipecundangi.
Pandan Wangi terus tertawa lepas tergerai. Rangga hanya diam saja, tapi akhirnya ikut tertawa juga. Pandan Wangi memang nakal, sering membuat ulah. Dan biasanya Rangga tidak bisa menduga kalau sedang dipecundangi gadis ini. Rangga benar-benar mengakui takluk, dalam arti kata lain.
“Aku langsung ke sini setelah urusanku selesai, Kakang. Kupikir, kau berada di Istana Kerajaan Galung. Makanya aku langsung saja ke sana,” Pandan Wangi memulai mengisahkan perjalanannya hingga sekarang berada di Kerajaan Galung ini.
“Lalu...?” Rangga minta diteruskan.
“Kalau sudah ke istana, tentu kau akan terkejut, Kakang.”
“Aku memang sudah ke sana.”
“Enam orang berpakaian prajurit langsung menyerang begitu aku sampai di depan pintu gerbang istana. Aku sendiri jadi heran. Setelah melumpuhkan mereka, aku lalu memeriksa ke dalam. Ternyata yang kutemui hanya mayat bergelimpangan,” lanjut Pandan Wangi.
“Bagaimana kau bertemu Prabu Galung?” tanya Rangga ingin tahu.
“Waktu memeriksa sekitar istana, aku mendengar suara rintihan. Dan suara itu datang dari kamar pribadi Prabu Galung. Di sana, seorang panglima tergeletak di lantai dalam keadaan terluka sangat parah. Dia hanya sempat mengatakan kalau Prabu Galung dan seluruh keluarganya berada di dalam tahanan. Hanya itu saja yang diucapkan, kemudian meninggal,” lanjut Pandan Wangi.
“Dan kau langsung ke kamar tahanan?”
“Memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sana, Kakang. Aku langsung ke kamar tahanan, dan kutemukan Prabu Galung bersama keluarganya di sana. Juga beberapa puluh prajurit, pembesar-pembesar istana beserta keluarganya. Semua kamar tahanan terisi penuh. Mereka kubebaskan tanpa kesulitan sama sekali.”
“Memangnya tidak ada yang menjaga?”
“Ada beberapa, tapi bisa kulumpuhkan.”
“Kau menewaskan mereka?”
“Hanya kulumpuhkan saja, Kakang.”
Rangga menarik napas panjang. Rupanya Pandan Wangi juga telah mulai tidak bermain tangan besi lagi. Dan ini memang menyenangkan hati Pendekar Rajawali Sakti. Berarti Pandan Wangi benar-benar sudah berubah. Tidak lagi bersikap semaunya, dan tidak lagi bertangan besi dalam menghadapi lawan-lawannya, jika tidak dalam keadaan terpaksa.
“Di mana mereka sekarang berada?” tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
“Di tempat yang cukup aman,” sahut Pandan Wangi.
“Kapan kau datang ke sini?” tanya Rangga lagi.
“Kemarin malam,” sahut Pandan Wangi lagi
“Kemarin malam...?”
Jawaban Pandan Wangi tadi tentu saja membuat Rangga terperanjat. Sedangkan dia sendiri baru kemarin malam berada di Kerajaan Galung ini. Dan itu berarti Pandan Wangi membebaskan Prabu Galung dan keluarganya di saat Empat Dewa Keadilan dari Selatan sedang tidak berada di istana. Karena Rangga tahu, kalau mereka berada di lembah bersama Nyai Walungkar.
Rangga yakin kalau orang-orang yang berada di lembah waktu itu adalah Empat Dewa Keadilan dari Selatan dan Nyai Walungkar. Pendekar Rajawali Sakti, mendesis kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kini baru disadari keadaan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sudah pasti, antara Empat Dewa Keadilan dari Selatan, Nyai Walungkar, si Kembar dari Utara, Jaka Keling, dan Raden Manggala pasti memiliki satu hubungan dan tujuan yang sama. Dan mereka benar-benar membuat sebuah gerhana di Kerajaan Galung. Hanya saja mereka bersiasat dengan melibatkan si Kembang Kedaton, Putri Ratna Kumala.
“Aku yakin kalau alasan mereka menghancurkan kerajaan ini tidak sesepele itu. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini...,” desah Rangga menduga-duga.
“Kau bicara dengan siapa, Kakang?” tegur Pandan Wangi.
“Oh, tidak.... Aku bicara sendiri,” sahut Rangga.
“Sudah gila, barangkali. Bicara sendiri....”
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya, diikuti Pandan Wangi. Tampak dari arah depan, beberapa orang berkuda menuju ke arah mereka. Ada enam orang penunggang kuda berbaju putih. Dan nampaknya yang berkuda paling depan adalah Prabu Galung.
Prabu Galung bergegas melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan dan indah sekali. Lima orang yang berkuda di belakangnya, segera mengikuti. Mereka menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang menunggu saja tanpa menggerakkan kakinya sedikit pun juga.
“Syukur kalian cepat kembali,” ujar Prabu Galung dengan napas agak terengah.
“Ada apa, Gusti Prabu?” tanya Pandan Wangi melihat raut wajah laki-laki setengah baya itu memerah penuh keringat dan debu.
“Aku tadi bermaksud menyusul kalian. Dan mereka sudah mengetahui tempat kita, Pandan,” jelas Prabu Galung.
“Maksud, Gusti Prabu...?” tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.
“Si Kembar dari Utara. Mereka mengepung mulut gua dengan orang-orangnya yang berjumlah banyak.”
“Ke mana yang lain?” tanya Rangga, karena tadi Prabu Galung membawa cukup banyak prajurit yang berganti baju, tidak berseragam prajurit
“Mereka kutugaskan mengamati keadaan dari tempat yang tersembunyi,” sahut Prabu Galung.
“Mereka sudah melakukan tindakan?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Belum.”
“Hm..., ini aneh. Dari mana mereka tahu tempat itu...?” gumam Pandan Wangi pelan.
Gadis berbaju biru itu memandang Rangga. Dan yang dipandang hanya mendongakkan kepalanya saja seraya menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir keras. Bisa dibayangkan kalau orang-orang yang dibawa si Kembar dari Utara pasti berjumlah besar dan memiliki pengalaman di dalam pertarungan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut saja yang harus menghadapi dan menyelesaikan kemelut ini. Masalahnya, bukan hanya satu dua orang saja yang harus dihadapi. Tapi banyak. Dan masing-masing orang memiliki perangkat kekuatan sendiri yang tidak bisa dianggap enteng. Suasana seperti ini memang sangat sulit.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Jumlah prajuritku tidak cukup untuk menghadapi mereka. Apalagi prajuritku sudah benar-benar lelah,” keluh Prabu Galung seperti putus asa.
“Aku akan memancing mereka,” sahut Rangga. “Apakah sudah ada yang keluar dari dalam gua?”
“Sampai saat ini, belum.”
“Bagus. Itu berarti mereka masih menunggu kebenaran. Aku yakin, begitu ada yang keluar, mereka pasti menyerang.”
“Hanya ada dua puluh orang prajurit dan dua orang panglima di dalam gua,” lagi-lagi Prabu Galung mengeluh.
“Aku tidak bisa menjamin, Gusti Prabu. Ini baru usaha untuk memancing mereka meninggalkan gua saja. Tapi prajurit yang ada juga harus siap,” sergah Rangga.
“Aku percaya pada kalian. Hhh... Seandainya Putri Rajawali Hitam ada, tentu menambah kekuatan. Dan mereka akan terusir dari negeri ini,” keluh Prabu Galung lagi.
“Sudahlah, Gusti Prabu. Mudah-mudahan kami bisa mengusir mereka. Kalaupun terpaksa, mungkin terjadi bentrokan. Tapi aku akan berusaha melakukan perdamaian tanpa kekerasan,” janji Rangga.
“Terima kasih, Rangga,” ucap Prabu Galung.
“Ayo, Pandan,” ajak Rangga.
Belum juga Pandan Wangi mengangguk, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melesat pergi. Pandan Wangi bergegas melesat mengikutinya. Kalau saja Rangga mengerahkan seluruh tingkatan ilmu meringankan tubuhnya, pasti Pandan Wangi akan tertinggal jauh. Malah bukannya tidak mungkin akan kehilangan jejak.
Tapi Rangga seperti menunggu, karena memang tidak tahu jalan yang harus ditempuh. Pandan Wangi memang belum mengatakan tempat keluarga Prabu Galung dan yang lainnya bersembunyi dari incaran musuh-musuhnya. Si Kipas Maut itu berlari di samping Rangga yang tidak juga menghentikan lari cepatnya.
“Pandan, bukankah ini menuju ke Lembah Neraka...?” Rangga mengenali jalan yang dituju Pandan Wangi.
“Memang,” sahut Pandan Wangi singkat.
“Kau membawa mereka ke sana?”
“Bukan di Lembah Nerakanya, tapi tidak jauh dari sana,” sahut Pandan Wangi tanpa mengendorkan larinya.
“Maksudmu, di Gua Ular...?”
Pandan Wangi tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seraya berpaling sedikit. Dan Rangga mendadak menghentikan larinya, maka seketika Pandan Wangi juga ikut berhenti.
“Kau terlalu nekat membawa mereka ke sana, Pandan,” tegur Rangga yang kenal betul dengan daerah di sekitar Lembah Neraka.
Sebuah tempat yang sangat berbahaya dan jarang dimasuki orang. Cerita-cerita mengerikan sering didengungkan, membuat seluruh rakyat Kerajaan Galung tidak ada yang berani menginjakkan kakinya di sana. Benar dan tidaknya cerita tentang lembah maut itu, tidak bisa dibuktikan dengan nyata.
Tapi justru hal itu sudah begitu meresap di hati semua orang. Rangga sendiri tidak percaya kalau di sekitar Lembah Neraka dihuni berbagai macam jin, setan, dan segala bentuk makhluk halus lainnya yang tidak bisa membiarkan siapa saja yang masuk, bisa selamat kembali keluar.
“Aku tidak punya pilihan lain lagi, Kakang. Kupikir hanya tempat itu saja yang terbaik untuk persembunyian mereka,” Pandan Wangi mencoba membela diri.
“Bagaimanapun juga, kau telah merusak tempat itu jika sampai terjadi pertumpahan darah. Kau juga melanggar pantangan yang diberikan Putri Rajawali Hitam. Ah, Pandan.... Apa kau tidak tahu kalau di sana begitu banyak rahasia yang tersimpan, dan selalu dijaga rapi oleh Putri Rajawali Hitam...?” Rangga menyesali tindakan Pandan Wangi yang memilih sekitar Lembah Neraka sebagai tempat persembunyian.
“Maafkan aku, Kakang...,” rengek Pandan Wangi.
“Sudahlah. Urusan itu nanti aku yang bicara dengan Putri Rajawali Hitam,” ucap Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Mereka kemudian melanjutkan perjalanannya, dan kali ini tidak berlari. Mereka hanya berjalan cepat meskipun masih menggunakan ilmu meringankan tubuh. Walaupun kelihatannya berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orang yang berlari sekalipun.
“Kita harus cepat, Pandan. Jangan sampai terlambat.”
“Baik, Kakang.”

***

50. Pendekar Rajawali Sakti : Gerhana Kembang KedatonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang