BAGIAN 7

724 28 0
                                    

Pendekar Rajawali Sakti memperlambat larinya ketika Pandan Wangi menyentuh tangannya.
“Perlahan sedikit, Kakang,” pinta Pandan Wangi.
“Ssst... Jangan bersuara, Pandan,” Rangga memperingati gadis itu.
Pandan Wangi segera terdiam. Pandangannya langsung tertuju ke arah yang ditunjuk Rangga. Sebentar kemudian ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, lalu kembali beralih ke sebuah mulut gua yang cukup besar menghitam, agak terlindung oleh semak dan pepohonan.
Di sekitar depan mulut gua itu terlihat puluhan orang berpakaian seragam prajurit. Tampaknya mereka siap berperang. Senjatanya sudah terhunus dari sarungnya. Rangga menunjuk ke arah lain. Pandan Wangi segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Dari tempat yang agak tinggi ini, memang bisa melihat jelas. Di tempat yang cukup tersembunyi, tampak beberapa orang berpakaian putih. Mereka seperti menunggu perintah saja, dan selalu mengawasi orang-orang yang berpakaian prajurit itu.
“Jumlah mereka banyak sekali, Kakang,” ujar Pandan Wangi setengah berbisik.
Rangga hanya menggumam saja perlahan.
“Sisa prajurit Prabu Galung, pasti tidak akan mampu menandinginya, Kakang,” kata Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya menggumam pelan. Namun pandangannya tidak lepas ke arah orang-orang berpakaian prajurit di depan mulut gua itu. Sementara tidak jauh dari tempat ini, tampak sebuah lembah yang berwarna merah menyala bagai terbakar. Itulah yang disebut Lembah Neraka, yang kini menjadi tempat tinggal Putri Rajawali Hitam.
“Rasanya, kau perlu menggunakan aji 'Bayu Bajra' untuk mengusir mereka,” kata Pandan Wangi lagi.
“Ajian itu akan menimbulkan banyak korban, Pandan,” sahut Rangga menolak menggunakan ajiannya untuk mengusir para prajurit gadungan itu.
“Kenapa harus dipikirkan? Toh mereka orang jahat, Kakang. Kalau pun tertangkap hidup-hidup, pasti Prabu Galung akan menjatuhkan hukuman mati. Sama saja, Kakang. Di mana-mana, seorang pemberontak akan dihukum mati.”
“Tidak semua, Pandan. Ada juga yang dikenakan hukuman buang, atau penjara seumur hidup. Bahkan ada juga yang diampuni dan tidak dituntut hukuman. Tergantung dari sejauh mana keterlibatannya,” jelas Rangga.
“Lantas apa yang akan kau lakukan?” tanya Pandan Wangi tidak mau mendebat.
Gadis itu memang enggan menyanggah Pendekar Rajawali Sakti. Karena sudah yakin tidak akan mungkin bisa menang kalau bersilat lidah. Apalagi menyangkut ketatanegaraan. Tidak bakalan bisa menang. Rangga lebih tahu soal tatanegara daripada dirinya. Dan itu sangat disadari Pandan Wangi. Makanya gadis itu langsung membelokkan pembicaraan, dan tidak ingin banyak bicara lagi.
“Harus menggunakan cara yang lebih halus, dan tidak sampai jatuh korban. Kalaupun ada, tidak begitu besar. Paling-paling hanya beberapa orang saja,” sahut Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya pada prajurit-prajurit gadungan di depan mulut gua itu.
“Apa...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
Rangga tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sendiri masih memikirkan cara yang tepat untuk menjauhkan para prajurit gadungan itu dari sana. Dan cara yang diinginkannya adalah tidak mengandung bahaya tinggi. Apalagi sampai menimbulkan banyak korban. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada dua orang laki-laki tua yang mengenakan pakaian yang bentuknya sama persis. Bentuk tubuh, wajah, dan potongan rambutnya juga sama. Bak pinang dibelah dua saja. Sukar membedakannya.
Hanya dari warna pakaian saja yang membedakan kedua orang tua itu. Yang seorang mengenakan baju warna merah, dan seorang lagi berwarna kuning gading. Di sebelah yang berbaju merah, berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Dia mengenakan baju warna putih ketat. Pas sekali dengan kulitnya yang kuning langsat, bagai kulit wanita.
“Hm..., mereka semua memiliki orang-orang yang mengenakan seragam prajurit,” gumam Rangga seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
“Hanya beberapa saja yang palsu, Kakang. Kebanyakan adalah para prajurit yang memberontak,” celetuk Pandan Wangi.
“Jangan asal menuduh, Pandan,” Rangga memperingati.
“Aku tidak menuduh, ini kenyataan. Ada beberapa pembesar yang terlibat dalam pemberontakan ini. Tapi, otak utamanya sampai sekarang belum diketahui. Prabu Galung sendiri yang mengatakannya padaku, Kakang.”
“Oh..., benarkah itu...?” Rangga agak terkejut juga.
Sama sekali tidak disangka kalau ini merupakan suatu pemberontakan yang sudah gawat. Bahkan melibatkan beberapa pembesar kerajaan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Pandan Wangi dalam-dalam, seakan mencari kepastian dari pernyataan si Kipas Maut itu.
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Intan Kemuning tidak mengatakan yang sesungguhnya...?” kembali Rangga menggumam, bicara dengan dirinya sendiri.
“Intan Kemuning...? Kau sudah bertemu dengannya, Kakang?” kali ini Pandan Wangi yang terkejut
“Sudah,” sahut Rangga.
“Di mana dia sekarang?” tanya Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah tahu kalau keberadaan Rangga di Kerajaan Galung ini karena mendapat panggilan dari Intan Kemuning melalui Rajawali Putih. Rangga yang mengatakannya sendiri sebelum berangkat ke sini. Dan waktu itu, Pandan Wangi memang sedang menghadapi suatu persoalan. Dia hanya mengatakan akan menyusul setelah persoalan yang dihadapinya selesai. Tapi kenyataannya, selesai lebih cepat dari yang diduga.
Bahkan si Kipas Maut juga telah berhasil membebaskan Prabu Galung dan seluruh keluarga serta para pembesar kerajaan yang ditawan Empat Dewa Keadilan dari Selatan serta konco-konconya.
“Intan Kemuning dalam perawatan,” jelas Rangga.
“Maksudmu...?”
“Dia terluka dalam suatu pertarungan. Aku membawanya ke tabib...,” Rangga kemudian menceritakan kejadiannya dengan singkat, namun jelas sekali.
Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Bahkan tidak menyelak sampai Pendekar Rajawali Sakti menyelesaikan ceritanya mengenai Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam.
“Oh.... Jadi Intan juga sudah bertemu si Empat Dewa Keadilan itu...?” nada suara Pandan Wangi seperti ingin ketegasan.
“Benar. Waktu aku dan Intan sedang melayang di angkasa bersama Rajawali Putih dan Rajawali Hitam,” Rangga membenarkan.
“Sayang sekali, Prabu Galung justru mengharapkan Putri Rajawali Hitam bisa menumpas para pemberontak itu, dan mengembalikan keadaan seperti semula,” Pandan Wangi agak mengeluh.
“Itulah gunanya jago-jago berkepandaian tinggi dimasukkan ke dalam jajaran prajurit, Pandan. Sebuah kerajaan tidak akan bisa bertahan hanya mengandalkan prajurit saja. Kalau menghadapi orang-orang rimba persilatan seperti ini..., dalam sekejap saja sudah hancur berantakan.”
“Aku juga tidak tahu, Kakang. Kenapa Prabu Galung tidak memperkuat prajuritnya dengan jago-jago persilatan berkepandaian tinggi...?”
“Dia terlalu percaya pada kekuatan prajuritnya yang besar. Tapi, tidak mempedulikan kelemahan para prajuritnya. Kemampuan para panglimanya saja masih tergolong rendah. Bisa dihitung dengan jari tangan, yang memiliki kepandaian tinggi. Salah satunya, Patih Giling Wesi. Tapi orang terakhir yang terkuat di kerajaan ini juga sudah tiada lagi.”
“Mungkin dengan kejadian ini Prabu Galung bisa berubah pikiran, Kakang.”
“Mudah-mudahan saja,” Rangga berharap.
“Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Pandan Wangi.
“Hm.... Aku akan memancing mereka. Sementara, kau menyelinap ke dalam gua. Bawalah semua orang yang ada di sana keluar,” sahut Rangga menjelaskan rencananya.
“Ke mana lagi aku harus membawa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi
“Ke istana,” sahut Rangga tanpa berpikir lagi.
“Ke istana...?” Pandan Wangi terbeliak.
“Hanya di dalam istana tempat yang aman, dan mudah untuk melindungi mereka.”
“Baiklah...,” Pandan Wangi kembali menyerah.
“Cepatlah kau ke sana, melalui jalan memutar, Pandan.”
“Baik.”
Pandan Wangi segera pergi, lalu melesat cepat, ke atas pohon. Gerakannya begitu ringan dan cepat sekali. Gadis itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain, mendekati mulut gua dengan jalan memutar. Sementara Rangga memperhatikan si Kipas Maut beberapa saat, kemudian perhatiannya kembali tertumpah pada orang-orang yang berada di depan mulut gua. Tampaknya mereka sudah tidak sabar lagi.
“Hm..., Pandan Wangi sudah dekat. Ini kesempatanku sekarang,” gumam Rangga.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melentingkan tubuhnya, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Rangga terus meluruk cepat ke arah mulut gua itu.

50. Pendekar Rajawali Sakti : Gerhana Kembang KedatonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang