Rangga memandangi perempuan tua berbaju lusuh yang tengah membalut luka di bahu kiri Intan Kemuning. Perempuan ini bernama Nyai Paringgih. Jarang yang tahu kalau perempuan tua itu adalah seorang tabib yang sangat ahli dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Bahkan Intan Kemuning yang hidup di Kerajaan Galung pun tidak tahu.
“Kau harus beristirahat di sini, paling tidak tujuh hari,” kata Nyai Paringgih setelah selesai membalut luka di bahu kiri Intan Kemuning.
Putri Rajawali Hitam itu melirik Rangga. “Jadi aku tidak boleh pergi sekarang, Nyai?” tanya Intan Kemuning lebih jelas lagi.
“Kau bukan anak kecil lagi, bukan...?”
Intan Kemuning terdiam. Dia tahu, kalau selama tujuh hari tidak mungkin bisa meninggalkan pondok kecil tabib ini. Kembali matanya melirik Rangga yang berdiri di dekat pintu. Sementara Nyai Paringgih membenahi peralatannya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak kayu.
“Bagaimana, Kakang?” Intan Kemuning meminta pendapat pada Rangga.
“Turuti saja, demi kesembuhanmu,” sahut Rangga
“Tapi..?”
“Aku akan mencari Prabu Galung. Kalau sudah bertemu, aku pasti cepat ke sini memberi kabar padamu, Intan,” janji Rangga.
“Hhh... Jaka Keling keparat..!” keluh Intan Kemuning kesal.
“Jangan salahkan orang lain, Intan. Kau sendiri yang menyerang lebih dulu, bukan?”
Intan Kemuning terdiam. Entah kenapa, di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, dia tidak pernah bisa menang dalam berbicara. Setiap kata yang diucapkan Rangga, selalu saja sukar dibantah lagi. Intan Kemuning merasakan kalau Rangga tidak pernah salah. Sikap dan tutur kata Pendekar Rajawali Sakti melebihi seorang brahmana. Begitu lembut, dan selalu berpikiran panjang.
“Aku pergi dulu, dan jangan membuat repot Nyai Paringgih,” pamit Rangga seraya berpesan.
“Ke mana kau akan pergi?” tanya Intan Kemuning.
“Yang pasti tidak keluar dari Kerajaan Galung,” sahut Rangga.
“Baiklah. Kalau aku sehat lebih cepat, pasti aku menyusul. Kau tidak perlu ke sini lagi, Kakang”
“Asal jangan memaksakan diri. Kalau Nyai Paringgih belum mengizinkan, kau tidak boleh memaksa,” kembali Rangga berpesan.
“Baik, Ayah...,” seloroh Intan.
“Dasar, setan kecil!” balas Rangga.
“Heh! Apa...?”
Intan Kemuning ingin bangkit, tapi malah meringis kesakitan. Sedangkan Rangga sudah lebih dahulu kabur. Intan Kemuning jadi tersenyum sendiri. Jarang gadis itu mempunyai kesempatan indah seperti ini. Tapi tak berapa lama, senyum di bibir gadis itu menghilang. Wajahnya langsung berubah mendung. Dia teringat ayahnya yang telah tewas. Intan Kemuning menyesal, karena tidak sempat mengubur jasad ayahnya. Amarahnya begitu bergolak, sehingga harus mengejar si pembunuh secepatnya.
“Maafkan aku, Ayah. Bukannya aku tidak menghormatimu,” desah Intan Kemuning lirih.
Tanpa terasa, setitik air bening menggulir jatuh dari sudut matanya. Intan Kemuning buru-buru menyeka air matanya saat mendengar suara batuk kecil. Wajahnya berpaling menatap Nyai Paringgih yang duduk di dekat jendela. Sungguh tidak disadari kalau perempuan tua itu masih ada di ruangan ini.
“Apa yang kau tangisi, Intan?” tanya Nyai Paringgih dengan suara serak dan agak kering.
“Aku ingat ayah,” sahut Intan Kemuning pelan.
“Aku kenal, siapa ayahmu. Dia sering datang ke sini, hanya untuk melemaskan ototnya saja. Tidak banyak seorang patih seperti ayahmu, Intan. Sayang sekali kalau nasibnya begitu buruk,” kata Nyai Paringgih juga pelan suaranya.
“Dari mana Nyai tahu?” tanya Intan Kemuning.
“Rangga yang menceritakan padaku, ketika kau tidak sadar diri tadi.”
Intan Kemuning terdiam. Gadis itu memang sempat tidak sadar sebentar. Luka-luka di dalam tubuhnya memang cukup parah. Lebih parah lagi, luka di bahu kiri. Tulang bahunya patah, sehingga membuat sebelah tangan kirinya seperti lumpuh, tidak dapat digerakkan. Kalaupun bisa, sakitnya tidak tertahankan.
“Belum lama ini, juga ada seorang gadis yang datang bersama seorang laki-laki tua yang terluka. Tapi hanya luka luar saja. Kelihatannya seperti terkena senjata tajam,” jelas Nyai Paringgih.
“Siapa, Nyai?” tanya Intan Kemuning.
“Sayang, aku tidak menanyakan namanya. Tapi gadis itu seperti seorang pendekar. Dia membawa pedang dan...,” Nyai Paringgih berhenti.
“Dan apa, Nyai?” desak Intan Kemuning.
“Seperti sebuah kipas dari perak,” tambah Nyai Paringgih, agak ragu-ragu suaranya.
“Kipas...?” Intan Kemuning tercenung. “Apakah dia memakai baju biru, Nyai?”
“Benar.”
“Pandan Wangi...,” desis Intan Kemuning, bisa mengenali. Dia yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. ”Lalu, siapa laki-laki tua yang dibawanya ke sini...?” Intan Kemuning menanyakan langsung pada perempuan tua itu.
“Prabu Galung.”
“Siapa...?!” Intan Kemuning terkejut setengah mati.
Dipandanginya raut wajah tua itu seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pandan Wangi membawa Prabu Galung ke sini..? Bukankah Rangga mengatakan kalau Pandan Wangi punya urusan sendiri? Tapi... Intan Kemuning jadi tidak mengerti. Dia mencoba bangkit, tapi seluruh tubuhnya begitu nyeri. Gadis itu kembali terbaring. Terdengar keluhan panjang yang terdengar begitu berat.
“Nyai, apakah hanya mereka berdua saja yang ke sini?” tanya Intan Kemuning lagi.
“Benar, hanya mereka berdua saja,” sahut Nyai Paringgih.
Intan Kemuning tidak bertanya lagi. Gadis itu sungguh menyesal, karena Rangga tidak tahu tentang ini semua. Kalau saja tahu, tentu tidak begitu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mencari di mana kini Prabu Galung berada. Tapi yang menjadi pemikirannya saat ini, benarkah yang membebaskan Prabu Galung itu Pandan Wangi?
KAMU SEDANG MEMBACA
50. Pendekar Rajawali Sakti : Gerhana Kembang Kedaton
ActionSerial ke 50. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.