Mas Gavin melenggang, menempati kursi set di ruang makan. Kali ini, gelora amarah tak lagi tertahan. Langkah kaki, kuayun untuk menghampiri. Mataku hampir tak mampu berkedip, melihat ayam bakar yang sedang dia nikmati.
"Mas! Kok kamu ga bilang, kalau udah pesan makanan? Aku lagi hamil loh, cape - cape ke depan, beliin kamu lauk buat makan. Sedikitpun, ga kamu lihat, apa yang kubawa? Jahat kamu, Mas!" cercaku.
Mas Gavin menatap datar, memperhatikan lingkar mataku yang telah tergenang.
"Masalahnya dimana? Emang aku nyuruh kamu ke depan?" ucapnya, menyesakkan dada.
Kutatap tajam wajahnya. Dia santai, menikmati tiap suap ayam, sambal, sayuran dan nasi. Lincah tangannya menyatukan kombinasi. Namun, tiap gerak kunyahan bibirnya, menimbulkan lara. Hingga tak mampu lagi kutahan air mata.
"Ceraikan aku, Mas!" jeritku.
"Cerai? Gimana orang tua kita?" jawabnya, berbalik tanya.
"Aku ga peduli!"
"Tapi, aku peduli. Kalau kita cerai, orang tua kita sedih, dan anak di kandunganmu itu, juga jadi korbannya! Mikir!"
Kutarik nafas panjang bersama netra memejam. Dalam kalbu, aku ber-istighfar, "ya Allah, apa yang baru kuucapkan? meminta perceraian? harusnya, aku lebih bersabar. Bukankah sikapnya inipun, karena aku yang berbuat kesalahan fatal?"
***
Alarm gawai, menarikku dari alam mimpi. Kuraih benda komunikasi itu, untuk menghentikan bunyi yang mengganggu. Angka satu, tertera di ikon chating berwarna hijau.
0813××× [ Mba, hari ini aku ngajak ketemu Mas Gavin untuk bicara berdua, di taman legenda. Kirana ]
Kantuk hilang seketika. Kirana?
Baru saja akan kuketik balasan, Mas Gavin masuk ke kamar. Aroma kuat parfum, menyeruak indera penciuman. Kututup layar percakapan, lalu menyembunyikan ponsel ke bawah bantal.
Pria itu, telah mengenakan baju kerja rapi. Sebuah pemandangan tak biasa, pada pukul lima pagi.
"Mau kemana, Mas?" tanyaku, basa-basi.
"Kerja," dustanya.
"Bukannya ini hari sabtu?"
"Over time. Ga usah bawel!"
Rasa cemburu menguasai kalbu. Kawatir mereka berbuat lebih, dibelakangku. Ah, tidak! Jika itu terjadi, bagaimana anakku?
Kutatap lekat, pria yang sedang sibuk dengan kancing-kancing bajunya. Lagi lagi, pemandangan tak biasa. Dimana Mas Gavin berlama-lama di depan kaca.
Istri mana yang tak meradang, mengetahui suami hendak menemui sang mantan?
.
Bantal bergetar. Kuambil ponsel dibawah sana. Satu pesan kembali masuk, dari nomor Kirana.
[ saya akan kasih Mas Gavin undangan pernikahan saya, Mba. Semoga dengan begini, dia bisa lupain saya dan fokus sama Mba Vania. ]
Sedikit Lega. Mungkin, memang ini satu-satunya cara, agar suamiku tak lagi mengejar Kirana.
"Baiklah, aku harus berlapang dada. Meng-iyakan kebohongannya. Setelah ini, dia akan patah hati karena Kirana. Semoga setelah ini, dia lebih bisa fokus sama aku dan anak ini."
Dalam hitungan detik, aku bangkit. Berjalan pelan menuju dapur, menyiapkan Mas Gavin sarapan. Diam. Seolah tak mengetahui kebohongan yang sedang dia lakukan.
.
Pukul enam.
Mas Gavin menempati kursi di meja makan. Sepiring nasi goreng kuhidangkan. Sakit di hati, menekan tenggorokan hingga membekukan rahang.
![](https://img.wattpad.com/cover/208035167-288-k840369.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HAMIL DENGAN JENAZAH ( Judul Lama : Khilaf )
Não FicçãoBukan horor alam lain, melainkan horor dalam sebuah keromantisan hubungan. Manusia memang memiliki kesempatan menyusun rencana untuk mencapai tujuan mereka. Tapi, terkadang mereka lupa bahwa Tuhan lebih berkehendak atas segalanya. Hamil di luar nika...