Part 5

7.2K 234 17
                                    

"Ingat kan, hitam diatas putih antara kita?"
"Maaf, saya ga tau kalau Vania anak tante!"

Bel istirahat menyentakku dari lamunan. Lagi-lagi, tentang Revan. Seminggu sudah kami menjauh, tak berhubungan. Hangat rindu di dada semakin mengental. Dia, bersamanya telah ada rasa. Rasa, yang kali pertama ada. Membuyar, membayang, mengacaukan!

.

Kuputuskan keluar kelas, berjalan pelan melewati lorong panjang. Sebuah ruangan yang kutuju telah melukis mata hitam pekatku, berharap Revan sedang di tempat itu.

Tiga IPS dua.

Kulesatkan sinar mata menembus kaca. Hanya ada beberapa siswa yang saling bergurau disana, menempati bangku dan meja. Salah satu diantara mereka, adalah Revan.

Nekat, kuterobos pintu, melonggarkan batas rasa malu.

"Revan!" panggilku.

Hening seketika. Semua mata mengarahkan sinarnya pada tubuh kecil yang entah akan berbuat apa.

"Ya?" Revan bangkit, berjalan lesu dan berhenti tepat didepan badanku. Dia palingkan wajah ke kanan, menghindari pendar mataku yang berisi sinyal kesedihan.

"Kenapa ga pernah nemuin aku lagi? Kenapa tiap pulang ga lewat security depan? Aku nunggu kamu, sampai siang. Sampai semua motor habis di parkiran!"

Revan mengusap wajahnya kasar, "sebaiknya, kita jangan ketemu lagi."

"Kenapa?"

"Kita beda."

"Bukan itu, kan? Karena ada sesuatu antara kamu sama mama? sebenarnya kalian ada apa?"

Revan menghela nafas, mengacak rambut depan kepalaku, "kamu ga perlu tau. Yang pasti, kita udah ga bisa bersama lagi. Demi kebaikan semua."

Bukan jawaban memuaskan. Aku terus melontarkan pertanyaan - pertanyaan yang hanya berbalas diam.

"Jawab, Revan!" pekikku saat tak lagi dapat bertemu kalimat tanya, yang tepat untuk menyibak rahasia itu.

"Suatu saat, aku kasih tau. Kalau aku udah siap dibenci sama kamu," ungkapnya, dua kalimat pendek sebagai penutup rentetan pertanyaan yang tak kunjung selesai kuajukan.

.

Dalam pedih, kuseka luncuran air mata. Sungguh, aku rindu kebersamaan bersama keluarganya.

"Terus kapan kita bisa bersama, kaya biasa lagi?" kali ini wajahku mulai kesemutan. Bola mata sudah tergenang.

"Pundakku memang ga selalu ada buat kamu, Vania. Tapi, percayalah, cintaku akan selalu ada, mengobati luka hatimu, cinta."

Sejuk, namun tak mampu menyingkirkan gundah dalam ruang rindu. Tak terasa, mata kami saling bertemu, bersama mengalunnya nada indah. Lagu yang hanya mampu didengar oleh dua kalbu. Dia dan aku.

"Untuk apa, kau datang dan membawaku pada keindahan yang nyata. Jika ahirnya, kau kembali menghempasku, saat baru saja kutau, jika cinta itu telah ada untukmu."

"Telah ada?"

"Ya, Rev. Aku, cinta kamu."

Kulihat pria bermata elang melipat bibirnya kedalam, menahan senyuman. Mengarahkan ibu jarinya ke sudut mataku, menyeka bulir bening yang terus bercucuran. Deras, melukis duka yang teramat dalam.

"Woi! Sok puitis lu!"
"Lebay!"
"Dah tancep! Ke kantin sekarang! Pajak jadian!"

Mataku membulat, begitupun lelaki yang sedang menatapku lekat. Kami terjebak, dalam sorakan dan kegaduhan ledekan. Revan menarik tanganku keluar, menyelamatkan diri dari nada riuh yang kian menggempar.

HAMIL DENGAN JENAZAH ( Judul Lama : Khilaf )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang