KHILAF ( part 3)
Mereka bilang, hidupku bahagia. Mereka selau berkata, rumahku adalah syurga. Namun, tidak! hunian mewah yang setiap hari kupijaki, nyatanya tak lebih dari neraka yang mengantarku pada petaka demi petaka.
Dialah wanita, yang lebih kuinginkan menjadi ibunda. Memiliki seorang putra purnama, shaleh dan bijaksana. Mereka sederhana, sesederhana takdir ini membawaku pada sebuah luka. Luka yang tak pernah ada obatnya. Luka, yang tak seorangpun ingin merasakannya.
===================================Bel pulang menebar rasa bahagia. Tanpa tujuan, kusapukan pandangan ke seluruh ruangan. Di jendela, sinar mata terperangkap disana. Revan melambaikan tangannya. Kulesatkan senyum, tanda aku menyetujui untuk menemuinya.
Guru mengucap salam terahir, diikuti jawaban serentak dan hamburan para siswa menuju pintu keluar.
"Vania, main ke rumahku, yuk," ucap Revan, setelah aku berdiri di depan badannya.
"Em, rumah kamu? Ngapain?"
"Main aja. Ketemu sama mama."
"Mama? Mama kamu, Rev?"
"Iya, Mama siapa lagi? mau, ga? Mamaku pengen ketemu."
"Buat apa?"
"Ketemu aja, aku sering cerita kamu ke Mama, jadi Mama penasaran aja pengen ketemu.”
Kutarik nafas dalam, antara takjub dan penasaran. Tersipu, dibalut puluhan tanda tanya.
“Mau ga?” bisiknya, meninggalkan jejak geli di telinga.
Pandangan mata, terpaksa menekuni tiap retak rambut di dinding kelas, entah untuk apa. Yang pasti, aku takkan kuat menatap siswa yang sedang menatap mesra.
“Yaudah, tapi anterin aku pulang kerumah nanti, ya!"
“Cuma itu, syaratnya?”
“Ada lagi. Kamu harus janji ga bakal macem-macem sama aku!”
Tawa renyah terdengar diudara, “Yaelah emang kamu pikir, badan rata kamu tuh bikin napsu?”
Eh, sialan emang!
Aku melangkah cepat, mendahului tanpa kata, menunjukkan aura tak suka. Suara jejak sepatu rapat, memberiku tanda bahwa Revan sedang mengejar dan semakin mendekat.
Beberapa langkah kedepan kami berjalan beriringan. Menyusuri lorong, menuruni anak tangga, hingga sampai di gerbang keluar, menuju halaman yang difungsikan sebagai parkiran. Revan memberi intruksi padaku untuk menunggu di pos security. Kulihat badannya berlalu, mengeluarkan sebuah kunci dan berjalan pelan, melewati puluhan motor yang terparkir rapi. Tak lama, dia kembali bersama honda blade hitam. Tak berkata lagi, aku menginjak steper kiri, lalu membebankan badan di jok belakang.
***
Revan menghentikan laju kuda besi, tepat di sebuah bengkel kecil pinggir jalan. Aku turun, lalu mengamati dua ban yang baik-baik saja menurut prediksi mata."Bocor, Van?" tanyaku ragu.
Tak ada jawaban. Lelaki itu, justru masuk ke dalam. Aku duduk di kursi plastik yang disediakan untuk tamu. Bola mata terus berkelana mengamati tempat yang belum familiar bagiku. Ruangan yang mungkin hanya berukuran enam kali tiga meter itu, tertoreh noda hitam dimana-mana, terutama lantai keramik putihnya. Sepertinya, ini adalah teras rumah yang di sulap menjadi tempat usaha.
Revan kembali dari dalam, "kamu malu, punya teman, tukang tambal ban?” katanya sambil menyodorkan satu gelas minuman.
Kuterima gelas belimbing penuh air berwarna kuning. Orange juice, mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAMIL DENGAN JENAZAH ( Judul Lama : Khilaf )
Non-FictionBukan horor alam lain, melainkan horor dalam sebuah keromantisan hubungan. Manusia memang memiliki kesempatan menyusun rencana untuk mencapai tujuan mereka. Tapi, terkadang mereka lupa bahwa Tuhan lebih berkehendak atas segalanya. Hamil di luar nika...