1-The Girl with Her Dimples

14 1 0
                                    

"Hei Joe, lihat tuh! Dia manis ya?"

"Pelayan di ujung situ? Bilang saja kau ingin mendekatinya."

"Haha, kau memang sahabat pengertian. Permisi, Nona!"

Kaki jenjang yang dialasi heels hitam itu berjalan cepat menuju asal suara. Harum tubuhnya yang melintas menjalar kemana-mana, membuat banyak mata tertuju padanya. Sekarang ia berhadapan dengan meja 2 orang pemuda tampan. Semakin erat nampan bundar yang dipeluknya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Aku pesan dua cold brew, dan... bisakah aku memesan tempat di hatimu?"

Tatapan gadis itu bingung, sedikit tidak enak. Ini bukan pertama kalinya gadis itu diberi gombalan aneh-aneh. Berkali-kali ia dapatkan kalimat—kurang lebih—seperti itu, membuat dirinya mematung dan bingung harus bereaksi apa. Dengan cepat dia balas dengan senyum canggung. Tentu saja agar pria itu tidak malu jika 'kalimat aneh'-nya dibiarkan begitu saja. Disaat situasi seperti ini, gadis itu harus menunjukkan sikap profesionalnya. Harus, atau terus terjebak dengan situasi canggung ini.

"Saya anggap pertanyaan Tuan sebagai pujian. Apa ada yang Tuan butuhkan lagi?" tanya gadis itu hati-hati. Ia bersiap apabila pria itu tidak mau melepaskannya dari hadapannya.

"Kalau begitu aku butuh nomormu. Apa kau tidak keberatan?"

Astaga, aku harap aku tidak bertemu orang seperti ini lagi, ungkap  gadis itu dalam hati. Saat ini otaknya dipaksa untuk berpikir keras, apa yang harus dilakukannya. Pria yang sedari tadi tutup mulut akhirnya memecahkan keheningan. Lebih tepatnya, menyelamatkan si gadis dari situasi yang membuatnya kurang nyaman.

"Ah, aku haus. Bisakah kau cepat-cepat membuat cold brew-nya?" pintanya sedikit sarkas. Tapi ketahuilah, gadis itu benar-benar bersyukur bisa pergi dari situ.

"Joe, bagaimana kalau tadi ia benar-benar memberi nomornya? Lagi-lagi kau merusak suasana."

"Bodoh, kau tidak lihat ekspresi muka gadis itu seperti apa? Jangan membuat malu dirimu sendiri."

Temannya hanya terkekeh. Ia mengambil sebatang rokok dan pemantik. Mulai dihisapnya benda yang membuat candu itu. Asap beracun mulai tertiup angin, bisa diketahui mereka duduk di area bebas merokok. Tak lama kemudian, pelayan pria datang membawa 2 gelas cold brew yang dialasi nampan. Ia membungkuk dan meninggalkan mereka.

"Judith bilang kau terlalu fokus bekerja? Ibumu selalu berpesan padaku untuk mengawasi anaknya yang gila kerja ini. Jangan paksakan dirimu."

Pria yang dipanggil Joe itu menghela napas. Cold brew-nya diteguk sedikit. Asam dan pahitnya bercampur. "Kenapa pesan kopi ini?"

"Hahaha! Ini kopi yang populer di zaman sekarang. Sekali-kali harus dicoba. Apa perlu aku pesankan kopi yang lain lagi?" seringai temannya.

"Tidak. Aku akan kembali ke kantorku setelah ini. Tak perlu cemaskan aku."

Meski sedikit tidak suka, Joe meneguk semuanya hingga habis. Ia menahan rasa aneh di tenggorokannya. Sialnya, rasanya membekas di mulut. Sekarang ia merutuki temannya diam-diam.

"Kau benar-benar gila. Sebegitu cintanya ya dengan pekerjaanmu. Menikah saja dengan pekerjaanmu nanti, jadi aku bisa menikahi Judith."

"Sebagai kakaknya aku tidak akan membiarkanmu. Bahkan ketika aku mati akan kuhantui kau."

Lagi-lagi temannya terkekeh. Senang sekali mengusili si gila kerja ini. "Aku pergi duluan. Lain kali aku yang traktir." pamit Joe. Dirinya bergegas pergi.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang