Ayana tidak berhenti menggerutu sepanjang jalan, ia terbangun pukul satu pagi karena alarm yang sebetulnya memang sudah diatur.
Itu merupakan hasil dari permintaan seseorang. Sampai rela menyetir mobil terburu-buru ingin segera sampai ke tempat yang dituju, suasana dan keadaan jalan yang sepi dan lengang sangat amat berguna saat ini. Setelah berjibaku dengan jalanan, dalam sepuluh menit, ia tiba dengan selamat.
Mesin mobil berhenti di samping mesin, menekan tombol untuk kartu parkir. Palang pembatas pun terangkat ke atas. "Gue baru tidur dua jam, sumpah ini anak kelakuannya ya." Akses ini hanya terdapat di belakang gedung, jalurnya pun dengan satu tujuan saja yaitu untuk lantai lima.
Area parkir tepat di atas gedung. Walaupun ini bukan kali pertama Ayana menjadi supir dadakan. Tetap saja rasanya seperti spot jantung. Memutar kunci mobil, bergegas keluar sambil celingukan di sekitarnya,
"mana sih, biasanya udah nunggu depan situ. Pintunya cuman disana kaaan. Aduh...serem, remang-remang." Ayana menyikap pasmina asal-asalan ia tidak sempat mengatur dengan benar hijabnya sebelum pergi, wajahnya saja masih terlihat khas orang yang baru bangun tidur ditambah dengan piyama tidur merah jambu. Ibu jarinya bekerja keras cepat-cepat menekan nomor yang sama berkali-kali namun tidak ada jawaban. "Angkat telepon gue Chaeng, angkat...ini dia ngapain sih. Kayaknya udah kobam nih anak."
"Halo," setelah panggilan telepon kelima kali, baru ada hasilnya. Suara Rosie terdengar olehnya.
"Gue udah di parkiran, buruan keluar, sumpah ya Chaeng, gue ngantuk banget. Jam tujuh pagi ini, gue mesti ikut sepeda santai acara kantor. Tega bener deh ah. Mahal masuk ke dalam sanaaaa. Buang-buang duit gaji gue aja."
"Masuk aja kalau lama nunggu, tanggung nih."
"Yakali gue kesana pakai kerudung. Edan ya Andaaa. Buruaaannnn keluar, kalau nggak keluar juga. Gue caw pulaaanggg aja." Ancam Ayana karena sangat kesal, dirinya menjadi pusat perhatian pengunjung club yang baru keluar atau akan masuk ke tempat itu.
"Permisi."
"Ya Allah kageeetttt. Astagfirullah." Ayana menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya karena terkejut, tiba-tiba suara serak basah plus berat seseorang menegurnya, lehernya menoleh takut-takut dikira penguntit, pria itu menahan tawanya, dengan tangan menutupi bibirnya. "Maaf saya tadi denger semuanya, biar saya bantu, posisi teman mbak di room atau di hall. Nanti saya yang kesana."
"Hah." Ayana lega sih ada pertolongan, tapi masih was-was. Wanita ini menggeleng, tidak pernah tahu bagaimana keadaan dan bentuk ruangan di dalam sana. "Dia gak bilang ada dimana, bingung juga nih."
"Oke, gini aja. Biar saya hubungi pakai hp saya. Boleh lihat nomornya."
"Seriusan....," seperti angin segar lagi untuk Ayana.
"Matikan aja dulu teleponnya."
"Oke, wait." Setelah itu Ayana menyebutkan nomer Rosie, dan pria yang tidak ia ketahui namanya menggunakan ponsel pribadi untuk menghubungi Rosie.
"Maaf, saya jadi ngerepotin. Oh iya, sebentar..."
Ayana mengeluarkan satu kartu debit dari dompetnya, "pake ini mas bayar masuknya."
Namjoon mengangkat kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk penolakan, tersenyum manis, dalam keadaan setengah remang saja, kedua lesung pipi pria itu sangat jelas dilihat oleh Ayana. "Biar pakai uang saya aja, kebetulan saya ada urusan juga disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flor Blanca Fría [NamRosé] [END]
FanfictionWhat essential is invisible to the eye. Baik Namjoon dan Roseanne sama-sama mengubah pola kehidupan mereka seratus delapan puluh derajat berbeda dari kepribadian mereka sebelumnya. Tetapi tetap pola itu bertolak belakang tidak bisa menyatu satu sam...