kejutan

18 2 0
                                    

Tyaga terbangun. Tak ada kejadian yang ia ingat, selain rentetan tembakan yang terjadi, malam sebelumnya? Ah, berapa lama ia pingsan? Tanggal berapa ini? Bahkan ia sendiri tidak tahu. Tyaga mengerang, kepala bagian belakangnya terasa sakit, ia menyentuhnya dan menyadari bahwa ada jahitan di kepalanya,

"Sudah bangun ternyata..." Seorang laki-laki berkata,

"Siapa?" Tyaga bertanya, matanya berkunang-kunang, berusaha menyesuaikan dengan lampu ruangan itu yang sangat terang,

"Duduk dulu, pelan-pelan," Orang itu melanjutkan, membantu Tyaga untuk duduk di atas bangsal. Ia baru menyadari bahwa bagian atas tubuhnya tidak terbalut apa-apa, namun ada perban yang melintang di dadanya,

"Luka, tergores benda tajam," suara yang lain menyahuti,

"Aria, psikolog," Suara pertama berkata,

                "Aria, psikolog," Suara pertama berkata,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tarisa, dokter, spesialis... apapun yang kau mau, aku bisa semua," Tarisa berkata sambil tertawa, rambut merahnya terlihat sangat terang di bawah lampu neon khas rumah sakit. 

                "Aku ada di mana?" Tyaga bertanya,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku ada di mana?" Tyaga bertanya,

"Headquarter-nya KLANDESTIN, kita berada di Jakarta, tepatnya," Tarisa menjawab. Sontak Tyaga membulatkan bola matanya, seingatnya, KLANDESTIN adalah perusahaan yang bergerak di bagian arms trafficking, dan merupakan salah gun runner yang berada di piramida paling puncak. Sebagai 'informan' salah satu perusahaan terbesar di dunia, Tyaga tak asing dengan nama KLANDESTIN. Dalam ketegangannya ini, Tyaga mencoba meredakan detak jantungnya yang tidak beraturan dan bertanya,

"Jakarta itu luas, di mana tepatnya?"

"Bersebelahan dengan kantor Taraksa Corp. dihubungkan oleh lorong bawah tanah, oh, sebagian kantor juga ada di bawah tanah," Tarisa menjelaskan, senyuman terpatri di wajahnya yang, cantik?

Udara langsung terasa dingin, Tyaga menggigil, kenapa adikku terlibat dalam urusan mafia seperti ini? Pikirannya langsung dihentikan saat mendengar pintu ruang rawatnya dibuka, koreksi, dibanting.

"Si anjing itu sudah bangun?" suara yang Tyaga kenal sebagai Taraksa itu bertanya, dingin dan kasar.

"Sudah, masih kaget," Aria menjawab.

"Taraksa... Aku di mana? Mengapa tiba-tiba aku di sini?" Tyaga bertanya, masih terkejut, bahkan mengabaikan bahwa adiknya memanggilnya anjing.

"Kau terlalu banyak bicara, kak," Taraksa menatap Tyaga.

"Tapi-" suara tamparan menggema kencang, membuat Tarisa maupun Aria meringis. Taraksa menepukkan tangannya, seakan telah menyentuh sesuatu yang menjijikan, setelah menampar kakaknya tepat di pipi kanannya.

"Sudah kubilang kau terlalu banyak bicara. Diamlah, aku masih berbaik hati mau menyelamatkanmu, kau bisa mati kapan saja jika aku mau," Taraksa berkata sebelum membalikkan badannya dan keluar dari ruang rawat, tak lupa membanting pintu.

Tyaga menatap pintu dengan nanar, tak menyadari pipinya berdarah terkena goresan kuku Taraksa,

"Hey, pipimu berdarah, aku obati dulu," Tarisa berkata dengan lembut. Tyaga hanya menganggukkan kepalanya, air mata menumpuk di pelupuk matanya. Aria yang melihatnya langsung menghampirinya dan mengusap punggungnya,

"Aku buatkan teh dulu," Aria berkata, dan menyeduh sebungkus chamomile tea, menaruhnya di nakas.

Tak terasa air mata Tyaga jatuh selagi Tarisa mengobatinya. Tarisa paham, pasti Tyaga masih terkejut dengan semua kejadian ini, mulai dari penembakan, fakta bahwa adiknya terasosiasi (entah bagaimana) dengan mafia, hingga tamparan kencang di pipinya. Tarisa mengusap air matanya, dan mulai mengobati lukanya,

"Ini memang pasti mengagetkan untukmu, aku tahu. Kita berdua ada di sini, saat kamu butuh, aku juga paham kamu belum bisa percaya seutuhnya kepada kami setelah rentetan kejadian-kejadian ini," Aria tersenyum, menyodorkan chamomile tea kepada Tyaga, yang menatapnya dengan curiga,

"Aku tidak meracuninya kok, tenang..." Aria tertawa kecil melihat wajah Tyaga.

"Ada lagi yang kau butuhkan?" Tarisa bertanya. Tyaga menggelengkan kepalanya,

"Kalau begitu kita siapkan dulu makan, kamu sudah pingsan empat hari," Tarisa melanjutkan.

"Jangan tinggalin..." Tyaga berbisik,

"Tenang, ada yang nemenin kok, aku sama Tarisa keluar dulu, kamu pasti seneng sama orangnya," Aria berkata. Tak lama Aria berkata, seseorang pun masuk ke dalam ruang rawatnya. Ia terlihat muda, wajahnya menggemaskan,

"Hai! Aku Keenan!" ia tersenyum dan langsung duduk di ujung kasur.

                "Umurmu berapa?" Tyaga bertanya, hatinya menghangat melihat Keenan yang sangat menggemaskan, a ball of sunshine

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Umurmu berapa?" Tyaga bertanya, hatinya menghangat melihat Keenan yang sangat menggemaskan, a ball of sunshine.

"23 tahun! Umurmu berapa?" Keenan bertanya, matanya berkilat penuh keingintahuan,

"27 tahun," Tyaga menjawab. Keenan membulatkan bibirnya,

"Wuaaah, kau terlihat sangat muda!"

"Terima kasih," Tyaga tertawa kecil, tawa pertamanya sejak ia datang ke tempat ini.

Setidaknya ia bisa melupakan masalahnya untuk sementara.


KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang