penjelasan

11 1 0
                                    

Keenan masih mengobrol dengan Tyaga, bocah itu berhasil membuat Tyaga sedikit melupakan masalahnya,

"Kamu di sini sebagai apa?" Tyaga bertanya pelan,

"Sniper, pretty good at martial arts too," Keenan menjawab. Tyaga menganggukkan kepalanya dengan kaku. Keenan tertawa,

"Tidak usah terlalu dipikirkan, sembuh dulu," Keenan berkata, menggenggam kedua tangan Tyaga yang terjalin di atas pangkuannya.

"Aku tahu pasti ada banyak pertanyaan dalam benakmu, tahan dulu," Keenan melanjutkan.

"Taraksa... Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang hal ini?" Tyaga bertanya.

"Sudah lama, bahkan mungkin saat ia mulai kuliah. Ini bukan bisnis baru, bisnis ini diwariskan," Keenan menjawab. Tyaga membulatkan matanya,

"Cukup, Keenan, biarkan nanti Aksa sendiri yang memberi tahu Tyaga," entah dari mana, Aria berkata diikuti Tarisa yang mengacak rambut Keenan.

"Udah sana pergi... Tyaganya mau istirahat, jangan digangguin," Tarisa mencubit pipi Keenan dengan gemas.

"Ih, tapi aku masih pengen ngobrool!" Keenan memanyunkan bibirnya, membuat ketiga orang dewasa di ruangan itu tertawa dengan gemas,

"Nanti kan bisa ngobrol lagi, Keenan sekarang ke training hall aja, gimana?" Aria bertanya, membungkukkan badannya dan mengelus surai toska milik Keenan.

"Ya udah, tapi di sana sama siapa? Nanti aku sendiri lagi," Keenan memainkan ujung baju Tarisa,

"Nanti aku panggilin Baskara, gimana?" Aria bertanya, berusaha membujuk Keenan. Sesaat mata Keenan langsung berbinar,

"Wah, boleh! Ayo sekarang!" ia berseru seraya menarik lengan baju Tarisa, meninggalkan Tyaga dan Aria berdua di bangsal.

"Dasar... Anak kecil," Aria tertawa kecil melihat Keenan,

"Sejak kapan dia di sini?" Tyaga bertanya,

"Keenan orang pertama yang direkrut Taraksa, in a gang fight. Anak itu udah sekarat, dan Taraksa merawatnya, dan menjadikan Keenan tangan kanannya hingga saat ini," Aria menjelaskan. Tyaga mengangguk-anggukkan kepalanya, berusaha untuk tidak kaget, sudah sejauh ini terlalu tolol kalau aku kaget.

"Sekarang tidur aja dulu, ada banyak yang harus dibahas saat kamu sembuh nanti," Aria tersenyum sebelum menekan sebuah tombol di layer sentuh, mengubah langit-langit bangsal menjadi pemandangan langit saat malam, Tyaga mengangakan bibirnya,

"Selamat tidur," Aria berkata, dan pergi ke pintu dan segera menutupnya dengan pelan.

Kini Tyaga sendiri.

000

Sudah terhitung seminggu sejak Tyaga berada di dalam markas bawah tanah KLANDESTIN. Luka-lukanya mulai sembuh, namun ia sama sekali tak melihat batang hidung adiknya sama sekali. Tentunya Tyaga penasaran, tapi ia tak berani untuk menanyakannya pada siapapun.

"Ada berapa orang di sini?" Tyaga bertanya suatu hari pada Tarisa,

"Banyak, inti dari KLANDESTIN adalah dua puluh enam orang, unit A dan unit F, A dua puluh satu orang, F lima orang. F (fighter) adalah unit dari petarung terbaik, sedangkan ada beberapa bidang dalam unit A. Contohnya aku, Aria, dan satu lagi bernama Bhatara, menjadi bagian medis di KLANDESTIN. Pelan-pelan kau akan mengenal mereka semua, tidak usah khawatir..."

"Kalau begitu kenapa aku terlibat?"

"Kami tidak tahu, tapi aku yakin Taraksa akan memberitahumu di saat yang tepat, jangan khawatir," Tarisa mengacak rambut Tyaga (setelah mengetahui bahwa Tyaga lebih muda dua tahun darinya).

Tiba-tiba pager Tarisa berbunyi, menandakan bahwa ada pasien yang menunggunya di ruang medis,

"Siapa pasiennya?"

"Taraksa..."

notes: Bhatara

notes: Bhatara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


KLANDESTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang