Harry Potter berlari di tengah lesatan sihir dari berbagai arah. Suara teriakan dan ledakan bersamaan dengan gemerisik kerikil terdengar dari hamparan luas tanah gersang berbatu. Jubah Aurornya berkibar sementara ia berlari sekuat tenaga sambil sesekali membisikkan mantra yang membuat para pelahap maut dengan topeng new Nazi terhempas ke belakang. Sebelum ia sempat mencapai ujung ward, jubahnya ditarik dengan hentakan keras oleh tangan-tangan kasar berotot yang membuatnya terhuyung bersamaan dengan lesatan hijau sihir terlarang. Harry merunduk, merasakan energi panas melesat melewati puncak kepalanya sebelum menabrak ward—mata hijaunya terbelalak—dan memantul, "tidak—" desis energi itu menelan suaranya. Saat avanda kadavra mengenainya, ia sudah berada dalam pusaran keras apparated.
Harry terhempas ke atas tanah berlumpur, sebelum berguling-guling jatuh di jalanan terjal dan berakhir membentur akar-akar pohon raksasa. Ia merintih tanpa suara pada hutan yang sepi, seakan hutan itu ikut menahan napas. Membuatnya berada dalam keheningan total yang menekan batin. Ia mengerjapkan matanya yang buramnya dan berair. Hidungnya yang menyentuh tanah mencium bau lembab tanah hujan—aneh, padahal sekarang musim panas. Dentuman rasa sakit di kepala akibat benturan keras, membuatnya menggertakkan gigi. Ia bisa merasakan lebam disekujur tubuhnya, seandainya bisa pun, pada rambutnya. Tapi tak ada yang bisa menghentikannya bersyukur karena sekali lagi terhindar dari kutukan terlarang. Ia tidak tahu konsekuensi apa kali ini yang harus ia tanggung karena selamat dari avanda kadavr. Mengingat pengalamannya, punya maniak sebagai musuh bebuyutan atau berakhir ke stasiun hantu, bukan kemungkinan paling buruk.
Derak ranting terinjak terdengar bersamaan dengan gesekan daun, memberitahunya ada yang datang. Tapi tubuhnya yang tak berdaya, menghianati benaknya yang panik. Ia bahkan tak bisa menggerakkan jari untuk meraih tongkatnya. Dimana tongkatnya?
Sentakan keras mendorong tubuhnya terlentang dan rasa dingin besi menyentuh tenggorokannya. Matanya terbuka. Jakunnya naik turun saat ia menahan napas, menyadari rasa dingin itu berasal dari ujung pedang. Pria asing itu berdiri menjulang diatasnya, ekspresinya yang waspada dibingkai janggut kasar dan mantel yang menutupi mata.
"Siapa kau?" Tanyanya. "Mata-mata?" suaranya berat dan curiga.
"..." Harry membuka mulut tapi tidak ada suara yang terdengar. Tangannya seketika melayang ke tenggorokan, membuat pria itu beringsut mendekat dan bilah pedang ditekan makin dalam; lebih dalam lagi maka ia pasti tersayat. Tapi pria itu berhenti sebelum bisa menyakitinya, menyadari bahwa Harry hanya memegangi tenggorokannya kesakitan. Pria itu menyibak jubah Aurornya dan terkesiap.
Dibalik jubahnya, kemeja tipis musim panas kini tidak lagi putih, tapi merah gelap karena darah. Harry baru menyadari jika sebagian tubuhnya mati rasa saat pria itu memeriksa pinggang dan kakinya, seolah mencari senjata. Saat pria itu tidak menemukan apapun, Harry menjadi panik karena itu berarti ia kehilangan tongkatnya.
Pria itu, yang salah mengerti kepanikannya sebagai ketakutan, melembutkan pandangan, "Apa kau memahami perkataanku?"
Harry tersedak saat ia mencoba menjawab.
YOU ARE READING
The Art of War
FantasyBanyak rahasia yang perlu diungkap Harry begitu ia menjejakkan kaki ke Bumi Tengah. Ini bukan lagi tentang dirinya sebagai seorang pahlawan, atau martir yang disuguhkan diatas piring perak. Jika ia sungguh ingin memahami dirinya, sekaranglah waktuny...