Raja Tertinggi dari Noldor, anak tertua dari Finwe dan Indis, yang paling kuat dan kejam bagi musuh-musuhnya, berdiri dengan kokoh dihadapan monster paling kejam di Middle Earth 'Morgoth'. Melukai Morgoth dengan tujuh tikaman mematikan, ia sadar kemenangannya hanya untuk menjemput ajal.
Ia membatukkan darah, tapi tak sedikit pun keinginan menyekanya. Malah, matanya menatap ke arah medan perang, mencari. Tapi, hanya tampak langit merah seakan mencerminkan hamparan tanah berselimut api, asap mengepul dan bersatu dengan bau menjijikkan daging-daging terbakar.
Dengan pedang sebagai penyangga akibat kakinya yang hancur terkena hantaman terakhir Morgoth, ia menarik langkahnya menuju tubuh yang bergelempang disana. Ia menarik jubah yang warnanya tak biru lagi, bercak merah kini menghiasi tempat dimana seharusnya simbol House of Peverell tersemat. Dengan tenaga terakhirnya, ia menghentak lepas helm perangnya, gerakan itu mengurai rambut hitam terkenal dari keluaga Peverell. "Iolanthe... Iolanthe ku..." bisik Fingolfin. "Maafkan aku, maafkan aku," ia terus berbisik sambil memeluk tubuh sahabatnya, belahan jiwa, kawan seperjuangan, saudara tanpa darah.
Dan disana ia bersumpah.
Sumpah yang akan disandang tiap mereka yang mengandung tetes darahnya.
"Tidak akan ada lagi darah tertumpah! Tidak akan ada lagi darah tertumpah dari PEVERELL! Karena dengan kuasaku!" petir menggelegar, "Dengan Kuasaku putra dari MAIA! Aku bersumpah untuk melindungi tiap keturunan PEVERELL dan semoga disana FINGOLFIN akhirnya menemukan kedamaian dan kejayaannya kembali!"
Suara menggelegar dari petir yang menyambar menyentak Aesar dari tidur terjaganya. Panca inderanya kembali terfokus, dan dari sana, ia sadar tidak berada di medan perang itu. Tapi rasa kesedihan itu, bau dan rasa pahit darah di mulutnya, terasa jelas bagai itu miliknya sendiri.
Sejak ia bisa mengingat, Aesar telah dihantui mimpi buruk itu. Awalnya ia tidak tahu untuk apa? Namun setelah ia bertemu dengan Hurin—atau siapapun nama aslinya—ia sekarang mengerti bahwa roda takdir kini bergulir kembali. Apa yang dimulai leluhurnya, kini adalah bagiannya.
Ia melompat keluar dari ranjang. Malam yang gelap tidak menghentikannya untuk mencari kedamaian dari bintang-bintang. Elf tidak membutuhkan tidur seperti ras manusia, mereka cukup mengistirahatkan benak tapi masih tetap terjaga. Sehingga tidak aneh saat di malam yang gelap ini, ia masih berpapasan dengan banyak elf yang memilih menghabiskan waktu istirahatnya dengan memandangi bintang.
Suara merdu yang familier membawanya ke bawah pohon rindang tempat Glorfindel, Lord dari House of Golden Flower, sedang meniup flute. Rambutnya yang pirang keemasan dibiarkan terurai dipermainkan angin. Ia sama seperti Aesar, mereka berdua adalah Gondolindri, para orang-orang tersembunyi, orang-orang tersisa yang mengalami kejatuhan akibat Morgoth.
Glorfindel adalah kesatria yang luar biasa, dimana namanya menggetarkan semua musuhnya. Orang yang pernah berduel dengan Balroq dan pulang hidup-hidup. Kisahnya diceritakan di banyak balairung istana, pada pesta-pesta makan malam dan pengantar tidur tiap anak keturunan elf. Kisahnya yang kembali dari kematian membuatnya lebih signifikan lagi, tapi juga membentuk banyak spekulasi. Bahwa alasan mengapa ia tidak lagi ikut aktif pada peperangan atau peristiwa-peristiwa penting adalah karena Valar membuatnya membayar nyawanya dengan menjadikannya seorang pengamat, dengan larangan untuk ikut campur dalam peristiwa-peristiwa yang mengikat takdir. Hal itu luar biasa, sekaligus terasa kesepian.
YOU ARE READING
The Art of War
FantasyBanyak rahasia yang perlu diungkap Harry begitu ia menjejakkan kaki ke Bumi Tengah. Ini bukan lagi tentang dirinya sebagai seorang pahlawan, atau martir yang disuguhkan diatas piring perak. Jika ia sungguh ingin memahami dirinya, sekaranglah waktuny...