5

1.4K 108 12
                                    


Ruang makan pagi itu lebih penuh dari biasanya karena kedatangan para elf dari Mirkwood yang akan segera disusul oleh perwakilan dari ras manusia dan Dwarf. Rupanya, nasib artefak setan itu berada di tangan setiap ras yang ada di Middle Earth. Suatu hal yang kurang praktis untuk memutuskan nasib sebuah benda yang dikutuk, karena siapapun tahu jika kebenaran itu relatif. Dan kepentingan selalu mengaburkan tiap keputusan penting. Tapi paling tidak, disini tidak ada yang melemparkan masalah mereka pada anak-anak dan sembunyi tangan.

Harry menyengkeram lengan Aesar, saat mendengar namanya dibisikkan tiap ia melangkah. Sang elf menelengkan kepala. Sesaat matanya yang prespektif menyapu sekitar; pada para elf yang menoleh dua kali saat melihat rombongan mereka dan bisikan-bisikan penasaran akibat kasak kusuk berita dari surat-surat yang dilayangkan di antara ketiga realm elf di Middle Earth tentang Peverell terakhir.

Aesar melingkarkan lengannya ke pinggang Harry dan menuntunnya menjauhi kerumunan. Mereka berakhir pada beranda berpatio; tempat terbuka berupa taman kecil lengkap dengan meja dan kursinya. Aesar membantunya duduk, sementara Legolas memilih duduk di depannya.

Mata biru Legolas yang selalu jeli, memperhatikan, saat para pelayan elf menyajikan makanan, mereka mencuri-curi pandang pada interaksi tanpa suara yang dilakukan oleh Aesar dan Conin; bagaimana mata Aesar yang prespektif memperhatikan kebutuhan Conin sebelum diminta. Tidak hanya itu! Rupanya mereka berbicara lewat benak! Jika gelengan dan kedutan senyum diujung bibir Aesar adalah buktinya. Legolas menebaknya sebagai mind magic. Jadi rumor soal kutukan itu benar. Ya, ia merasakan sihir gelapnya membelenggu di leher sang lord muda. Tapi tak pernah ia sangka, jika sihir itu segelap ini. Sungguh keberuntungan, kutukan itu tidak merenggut nyawanya.

Legolas tidak menyalahkan rasa penasaran dari banyak elf, karena Lord Conin Peverell memang lebih elok dari yang digambarkan dalam legenda. Sekedar catatan tangan tidak lah mampu menangkap keindahan garis keturunan Peverell. Banyak yang merasa kagum pada gambaran nyata dari apa yang dituliskan tentang warna kulit pucatnya yang bersinar bagai rembulan, atau rambut hitamnya yang lebih gelap dari langit malam. Tapi tidak pernah ada yang mampu melukiskan raut lembut wajahnya saat bibir merah delima itu mengulumkan senyum dan warna emerald kelopaknya yang berkilau saat ia merasa senang. Sudah terlalu lama makhluk di Middle Earth tidak menjadi saksi keindahan anak keturunan Iminye; ibu dari para elf. Bahkan seandainya darah itu makin mengabur dan menjadikan Conin sekedar manusia mortal, kecantikan tersohor leluhurnya masih tampak disana. Hal yang berat mengetahui kegelapan telah menodai kecantikan abadi itu. Tiap hati merasakan duka saat mereka tak bisa mendengar gelak tawa yang seharusnya menghiasi tiap jengkal dan ruang di Rivendell setelah sekian lama.

Tidak ada yang tahu tentang bagaimana sang lord mendapatkan kutukan itu atau siapa yang menyerangnya. Namun, bukan rahasia lagi jika itu adalah kisah yang dijaga benar oleh sang lord, sehingga tidak ada yang cukup berani untuk mengungkitnya. Tapi itu tetap tidak menghentikan spekulasi, bahwa selama ini sang lord muda telah disekap di tempat paling rahasia, hingga takdir membuatnya bertemu Estel. Itu spekulasi yang masuk akal, terutama bagi mereka yang telah melihat luka-luka lamanya yang tampak seperti luka penyiksaan.

Hal lain yang diketahui oleh para elf di Rivendell adalah bahwa lord Conin Peverell bukanlah orang yang bertarung menggunakan pedang. Itu tampak dari sikap disiplinnya yang berbeda dengan pengguna pedang atau ketidakmampuannya dalam menunggang kuda. Mungkin karena ia punya bakat yang sama sekali berbeda. Seperti sihir misalnya. Ya sihir. Ada banyak kejadian menakjubkan yang melibatkan sihir. Sesuatu yang tampaknya tak cukup disadari oleh sang lord untuk menyembunyikannya dari kasat mata elf yang selalu mengamati.

Sihir bukan hal yang baru di Middle-Earth. Tapi tidak ada yang tahu jika ada pengguna sihir dalam keluarga Peverell. Lagi pula banyak sejarah terlupakan karena perang, dan yang tersisa hanya rumor semata. Entah rahasia apalagi yang akan terungkap bersama dengan munculnya Peverell terakhir.

The Art of WarWhere stories live. Discover now