3

1.2K 118 4
                                    

Di balik dinding-dinding tebal bersama pilar-pilarnya dan pintu yang tertutup rapat, di sebuah ruangan yang menjadi saksi pertemuan-pertemuan rahasia paling penting di middle-earth, duduk dua orang elf. Salah satunya, terpasang diadem perak di kepalanya dan yang lain tanpa tanda dari kekuasaan yang diembannya. Keduanya duduk dalam keheningan yang familier, tidak pula salah satu dari mereka ingin mengakhirinya. Mungkin karena waktu yang berlalu punya arti berbeda bagi elf, dimana sekian detik hanya bagai debu yang dihembuskan angin. Membuat perkataan selalu diucapkan hati-hati, karena dendam tidak hanya dipendam satu dua hari, tapi ribuan tahun.

Maka, wajarlah jika sang lord elf berkata dengan penuh pertimbangan saat mengakhiri keheningan diantara mereka, "Kau menunjukkan dirimu di depan Hurin." Mata abu-abu sang lord elf mengamati dengan seksama, walau tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Masih dengan tatapan penuh pemikiran mendalam, Aesar hanya menjawab dengan gumaman. Pandangan ia lemparkan kekejauhan dengan telapak tangannya menangkup dibawah dagu, gestur seperti sedang berpikir keras, "Dan kau tidak berpikir dua kali membuatku menjadi pendampingnya," matanya yang perak berkilat familier menatap lord Erlond dengan cara yang sama seperti saudara laki-lakinya—semoga bintang-bintang menyinari jiwanya dialam keabadian.

Pandangan mata sang lord melembut, "Kukira itu yang kau inginkan."

"Hm..." ia kembali memandang ke kejauhan, "Bukannya aku protes. Tapi apa yang membuka kartu-ku?"

Sang lord elf menelengkan kepala, "Selama ribuan tahun, tidak pernah sekalipun, sekali saja, kau keluar dari ruangan hanya untuk menyambut tamu. Tidak untuk utusan paling penting atau pertemuan paling penting." Dalam kalimat itu ada pertanyaan yang mengantung, tapi dari cara sang lord mengutarakannya, menunjukkan bahwa ia tidak memaksa Aesar menjelaskan apapun. Dari itu saja sang lord telah menunjukkan penghormatan luar biasa yang tidak akan ditunjukkan pada sembarangan elf, tidak pada seorang pangeran elf atau raja dari golongan manusia. Tapi hanya pada mereka yang sebanding dengannya.

Sang elf yang misterius tersenyum dari balik tirai rambut peraknya yang jatuh disisi kepalanya.

Sang lord elf menambahkan, "Lagi pula, kau memanggilnya sire," nada penasaran itu terdengar jelas.

"Tentu kau memperhatikan simbol pada jubah yang disandangnya, bukan?"

Sang elf lord mengangguk, "Ya, tapi siapapun bisa memakai jubah dengan simbol,"ekspresinya penuh teka-teki, tapi juga waspada.

"Hm..." Aesar mengusap ujung jari dibibirnya, matanya setengah menutup, "Tidak yang ini, simbol itu tanda House of Peverell," terdengar suara terkesiap, "atau lebih tepatnya mengandung simbol House of Peverell, mengingat ada sedikit perubahan disana."

"Tapi—"

"Ya, keluarga itu sudah lama hancur bersama Royal House of Noldor, bersama Fingolfin!" mata perak yang mistis itu menatap sang lord elf dengan tajam, "Tapi tentu kau tidak senaif itu menganggap jika tidak ada seorangpun dari mereka yang tersisa, lagi pula aku salah satu buktinya."

Sang lord mengangguk, menjaga napasnya pada berita bahwa ada yang tersisa dari kehancuran adik kembarnya, Elros. "Jika memang seperti itu maka sumpah lama bangkit kembali."

Aesar mengangguk, "Frodo dan Hurin. Tidak mengherankan jika lady Galadriel sudah melihatnya; para pembawa angin perubahan," jika kalimat itu tidak cukup sebagai tanda, maka senyum miring yang tersembunyi di balik tirai perak itu mungkin bisa jadi peringatan.

Harry tersentak kaget pada suara pintu diketuk singkat tiga kali dan Aesar masuk sambil membawa keranjang berisi pakaian. Tanpa bicara apapun ia menghamparkannya di atas tempat tidur. Harry mendekatinya saat ia selesai menata lapisan ketiga, berupa jubah berwarna emas lembut yang jatuh memanjang hingga kaki ranjang. Pria itu menatapnya, mengamati tetesan air yang jatuh dari anak-anak rambut basah dan mengangguk puas mengetahuinya telah membersihkan diri. Kebiasaan Harry untuk mandi sebelum pergi ke aula besar untuk makan malam membuatnya melakukan itu, dan seandainya saja ia tahu kebiasaan itu hanya dipraktekan sebagian kecil ras manusia di Middle-earth pada masa ini. Sanitasi bukan hal umum kecuali pada mereka yang berkebudayaan tinggi. Bahkan diantaranya pun hanya sedikit bangsawan manusia yang benar-benar menjadikannya sebagai gaya hidup.

The Art of WarWhere stories live. Discover now