Bab 3 | Mencoba Bangkit

11 4 0
                                    

Bel sekolah telah berdering sekitar sepuluh menit yang lalu. Kini aku berada di shelter Trans Jogja, menunggu datangnya bus yang ingin kunaiki. Tadi waktu pembelajaran, orang asing itu kembali mengirimi aku pesan.

Harap bertemu denganku di daerah shelter dekat tugu.

Sampai saat ini, aku masih heran, kenapa orang tersebut ingin bertemu denganku, bahkan aku tidak mengenalnya, apa aku kesana? Atau segera balik kerumah? Aku bingung.

"Jalur 1A." Teriak penjaga shelter tersebut. Aku segera memasukkan handphoneku. Mendekati arah pintu masuk bus. Shelter ini agak senggang karena memang sekolahku pulang lebih awal dari biasanya. Aku baru beberapa kali menaiki Trans Jogja, biasanya aku dengan Riyan, pergi maupun pulang sekolah. Sepertinya aku akan mampir ke makam Riyan lalu bertemu dengan orang asing tersebut, lalu pulang. Aku memutuskan untuk menemui orang itu, aku ingin tahu alasan kenapa dia mengajakku bertemu padahal aku tidak mengenalnya.
"Shelter Mangkubumi 1." Ucap bapak yang menjadi pramugara di bus yang ku tumpangi ini. Aku segera berjalan ke arah pintu bus, katanya google shelter yang paling dekat sama tugu jogja, ya shelter Mangkubumi 1 ini. Aku akan merubah sedikit rencana ku diawal tadi, setelah bertemu dengan orang ini, aku akan ke makam Riyan, lalu kembali pulang, atau kalau perlu aku akan mengajak Rezya untuk menemaniku ke makam Riyan.

"Risya Larasya."

Aku menoleh ke orang yang memanggil lengkap namaku. Dari mana dia tahu? dan siapa dia?

"Maaf apa kita pernah ketemu?"

Ia berjalan kearah tempat duduk umum yang berada disana, aku ragu untuk mengikutinya.

"Kamu siapa?"

Dia hanya diam, aku bingung, apa ini kerjaan Reta, astaga jangan fitnah Risya, ngucap.

"Duduk."

Aku duduk disampingnya.

"Namaku Zian Gibran."

Aku diam, aku ra kenal koe as-

"Aku tidak mengenalmu."

"Makanya kita kenalan."

Aku mengerutkan keningku, "gak perlu dan gak penting."

Pria ini tampak menawan, mengenakan jeans, dan alamamater kampusnya, serta jam tangan yang melekat ditangan kanannya.
Ia tertawa kecil, "Mau aku anterin pulang?"

Hah?, yang benar saja, aku bahkan hanya mengetahui namanya.
"Maksudmu apa?, apa maksud dari kamu mengajak aku bertemu disini, aku tidak mengenal kamu." Jawabku ketus dengan penuh penekanan.

..... hening

"Hei, jawab."

"Iya, aku temannya Riyan."

Temannya Riyan? Aku tidak pernah mengetahui kalau Riyan punya teman anak kuliahan dan bernama Zian.

"Kamu jangan bohong, aku tahu siapa saja temannya Riyan."

"Aku kuliah di Bandung, ke Jogja untuk menghadiri pemakaman Riyan."

"Sudah cukup sandiwaranya, kamu siapa?! Aku bahkan tidak melihatmu dipemakaman Riyan."

"Yasudah kalau tidak percaya, Riyan hanya menitipkanmu padaku."

"Kamu kira aku barang, aku tidak mau dititipkan pada orang yang bahkan tak ku kenal sekalipun." Ucapku penuh emosi. Apaan ini, dia kira aku barang.

"Yasudah, aku hanya menyampaikan wasiat Alm. Riyan."
Ia beranjak pergi dari tempat itu. Setelah beberapa langkah dia menoleh kearahku dan mengatakan, "Aku bukan orang jahat. Aku hanya menjalankan wasiat Riyan, menjaga kamu dengan baik. Mau aku antar pulang?"

Aku menggeleng, "gak, aku gak mau."

"Baiklah." Ia meninggalkan ku begitu saja, membuang waktu ku dengan sia - sia. Aku segera menghubungi Rezya untuk menjemputku, mood ku sudah ambyar karena orang tadi. Aku tidak peduli apa katamu, intinya aku sedang kesal.

Setelah sekitar 10 menit menunggu, Rezya datang.
"Ayo cepetan." Katanya sambil memberikan ku helm.

"Iya. "

Dalam perjalanan hening, hampir saja aku lupa dengan rencanaku tadi.

"Rez, mampir ke makamnya kak Riyan boleh?"

Saat ini kami sedang menunggu lampu hijau.

"Rezya sibuk kak."

Bohong, dia pasti bohong. Ini sudah hampir akhir semester. Harusnya sudah tidak ada tugas lagi. Seperti sekolahku.
Aku hanya diam, meremas ujang jaket Rezya, menahan emosiku.

Rezya melanjutkan perjalanan pulang setelah lampu bewarna hijau. Aku kesal dengan Rezya.

***

"Udah pulang juga."

"Kak Dion." Aku langsung memeluk erat dirinya. Aku kaget dengan keberadaannya yang tiba - tiba sudah dirumahku. Aku merindukannya.

"Adek kakak dah dewasa ya." Aku hanya tersenyum melihatnya.
Akan aku jelaskan sedikit.
Dion Putra, anak dari kakak ayahku, apa namanya? Aku tak tahu intinya dia anak dari kakak ayahku dan jarak kami sekitar tiga tahun. Dia juga tinggal di Jogja, tapi ia sangat amat jarang bermain kerumah kami setelah ia duduk dibangku kuliah.

"Mama sama papa kemana kak?" Tanya Rezya.

"Pergi keluar kota, kalian dititipkan sama kakak."

Mama dan papa, selalu seperti itu. Ah sudahlah.

"Udah sana kalian ganti baju, makan, sholat, kakak tahu kalian belum ada yang sholat."

Perkataannya sedikit mirip dengan perhatian Riyan samaku.

"Iya kak." Jawab Rezya. Aku berjalan menuju kamarku. Ingat, walaupun kak Dion datang, aku masih sebal dengan Rezya. Aku bisa pergi ke makam Riyan sendiri, lihat aja.

***
Salam.
Shn.elhn.

Red StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang