Part 1

9.2K 500 14
                                    

"Kamu mending pulang, Lin. Nggak perlu ke sini lagi."

Lina membeku. Ia menatap lekat wanita berpakaian putih dengan jilbab berwarna serupa di depannya. Wanita berusia lanjut yang tampak menatapnya kecewa.

"Bu, saya—" suara Lina tercekat pilu.

Perawat senior itu menghela napas panjang. Kecewa mengumpal di dadanya. "Semula Ibu pikir rumor kamu sering telat masuk itu bohong. Ibu terus mempertahankan kamu, tapi hari ini Ibu tau sendiri,"

Hantaman kuat terasa menyapa dada Lina. Mulutnya tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, akibat lidah yang kelu. Lina tertunduk, meremat ujung seragam putih kebanggaan yang susah payah ia dapatkan.

"Maaf, Bu."

Marni melirik ke arah lain. Di balik dinding, tak sengaja ia melihat beberapa perawat mengintip sambil mengulum senyum puas.

Pandangan Marni kembali terpusat pada Lina. Kelopak mata Marni terkulai. Ia kecewa sekaligus menyayangkan. Gadis berjilbab putih berkulit sawo matang itu tergolong rajin dan selalu cekatan merawat pasien, tetapi cela yang di buatnya membuat semua pujian itu pupus.

"Ibu, maaf. Saya janji nggak akan terlambat lagi." Sahut Lina. Gadis itu mendongak, menatap penuh harap.

Degup jantungnya meningkat. Tubuhnya terasa panas dingin sambil terus meremat tangan, berusaha menyalurkan kegundahan hati yang terbendung.

Jika ia di pecat, darimana ia akan membayar sekolah Rani dan Ari? Terutama ... darimana ia akan membiayai pengobatan ayahnya setelah kecelakaan setahun yang lalu?

Semula, Lina pikir turut bekerja home care akan menambah uang yang masuk ke kantongnya, tetapi nyatanya malah menimbulkan masalah. Ia hanya berusaha mencari peluang untuk mendapat uang.

"Kenapa kamu bisa jadi sering telat?"

Pertanyaan Marni menyentak Lina. Hawa panas bercampur dingin semakin terasa. Lina menarik napas dalam, menetralisir kegugupan. "Saya ... nerima tawaran Bu Dana,"

Kerutan muncul di kening Marni. Ia melihat ke arah lain, mengingat seorang perawat yang sudah pensiun menawarkan Lina untuk bekerja di home care yang buka. Sejujurnya Marni kecewa. Ketika pertama kali Dana menawarkan pekerjaan itu, Lina menolaknya, tetapi kenapa sekarang Lina menerimanya?

Lina semakin tertunduk tak berani bersuara. Ia takut, satu kata yang keluar dari mulutnya bisa membuatnya di depak dari Rumah Sakit negeri ini. Sulit baginya untuk bekerja di Rumah Sakit. Kebanyakan Rumah Sakit membutuhkan perawat lulusan D3 atau S1, sedangkan dirinya hanya lulusan SMK.

Jika bukan karena ia belajar dengan keras saat UjiKom, mungkin ia tidak akan pernah di rekomendasikan untuk bekerja di Rumah Sakit ini.

"Lin, nggak salah kamu jadi perawat di RS sekaligus di home care, tapi kamu harus tau aturan. Kamu udah empat hari telat terus. Kamu tau kan peraturan di sini?" Marni bertanya.

Spontan Lina mendongak. Kedua matanya melebar kaget. "Bu, jangan! Saya janji, saya nggak bakal telat lagi."

Marni hanya terdiam, menatap Lina yang mulai berkaca-kaca. "Kamu mending pulang aja, Lin."

Bahu Lina merosot. Ia sudah tidak mampu lagi bicara dan terus tertunduk. Hatinya berusaha kuat, membangun mind set semua akan baik-baik saja. Mungkin, memang salahnya yang terlalu rakus mengambil pekerjaan.

———

Lina pulang dengan lesu. Langkah kakinya terhenti ketika menatap rumah minimalis bercat kuning yang telah pudar. Genteng yang berlumut dan tanaman liar di depan teras yang harus di pangkas.

Lina menghela napas sendu. Semenjak kematian sang ibu, hidupnya seakan di jungkir balikkan.

Tawa yang selalu menghias dalam kasih sayang, kini terasa hanya duka yang bersemayam. Lina merindukan ibunya. Seandainya ia bisa mencegah ibunya untuk tidak mengantarkan kartu ujiannya yang tertinggal saat TO pasti ibunya masih ada. Terhitung sudah tiga tahun sejak hari itu.

Rasa sakit dan penyesalan itu masih ada sampai saat ini.

"Kok balik lagi Kak?"

Lina tersentak. Pandangannya terangkat dan menemukan Ari yang tengah menatapnya bingung. Lina mengulas senyum tipis. "Kenapa nggak sekolah dek?"

Ari—adik bungsu Lina tersenyum kecil. "Libur dulu, Kak. Gurunya lagi pada rapat."

Mulut Lina terbuka membulat. Ia tersenyum lalu membuka pagar rumah, masuk. "Rapat dadakan? Yaudah, yuk masuk. Ayah gimana? Bilang sakit lagi nggak?"

Ari menggeleng. "Ayah lagi sama Kak Rani. Alhamdulilah nggak, Kak."

"Alhamdulilah. Yuk masuk!"

"Iya, duluan aja Kak. Mau beli telor dulu," cengir Ari.

Kening Lina berkerut. "Loh kok beli telor? Emang telor yang waktu Kakak beli kemana?"

Senyum Ari tampak bengkok. "Maaf Kak." Ia tertunduk lesu. "Telornya jatuh semua pas Ayah mau ngambil minum di dapur,"

Lina terdiam.

"Kak Rani lagi sekolah. Aku juga, Kak. Jadi ... "Ari tidak meneruskan. Ia pikir tanpa harus menjelaskan, kakak tertuanya itu pasti akan mengerti.

Lina tersenyum simpul. "Yaudah nggak papa. Mau telor kan?"

Ari mengangguk. "Pergi dulu ya kak!"

Pandangan Lina terus terarah pada Ari yang perlahan menjauh, sampai Ari tak lagi terlihat, Lina baru mengalihkan pandangan. Sendu menghampiri.

Lina kembali melangkahkan kaki, melepas sepatu lalu mengucap salam. Sahutan terdengar cukup kencang dari dalam. Dengan langkah cukup lunglai Lina berjalan ke arah kamar sang ayah.

Pemandangan ayahnya yang tengah di ganti balutan yang membungkus kakinya. Setahun yang lalu, Kurnia mengalami kecelakaan tunggal di tempat kerjanya. Sebuah kecelakaan yang membuat kaki kanan Kurnia patah.

"Kak kok udah pulang?" Kening Rani berkerut dalam. Ia meraih perban, memberesi peralatan dan berdiri mendekati Lina. "Kak?"

Lina hanya diam, tersenyum tipis seraya mengusap puncak kepala Rani. "Bikinin Kakak teh manis dong. Boleh nggak?"

Kening Rani masih berkerut dalam, menatap lekat pada senyum Lina yang membuat hatinya di liputi tanda tanya. Namun ia memilih mengangguk, menurut.

Pandangan Lina bergulir. Dadanya sesak ketika menatap raga sang ayah yang ringkih. Kecelakaan itu tidak hanya merenggut keutuhan kaki Kurnia, tetapi juga semangat hidup lelaki bertubuh kurus itu. Matanya kosong, memandang tak menentu.

Lina duduk di tepi ranjang, sambil diam memperhatikan. Mata Lina tertuju pada kaki Kurnia. Kembali, sesak mengusai dadanya.

Butir air mata Lina jatuh. Apa yang harus ia lakukan? Ia sendiri. Pengeluaran uang semakin meningkat, biaya sekolah Rani dan Ari semakin membengkak karena terlalu sering menunggak.

Lina tertunduk pilu. Ia menggenggam tangan sang ayah. "Ayah, Lina harus apa?" Lirihnya parau.

———

Cahaya matahari menyelinap masuk. Ruangan bercat putih itu terang, tanpa harus menggunakan lampu. Aroma apel sesekali tercium ketika penyemprot menyala.

Lina tengah duduk termenung. Ia tahu ini salah, melamun ketika bekerja, tetapi ia hanya ingin rehat sejenak.

"Lin,"

Sebuah suara menyapa. Lina menoleh dan tersenyum. Gadis berjilbab putih dengan lesung pipi saat ia tersenyum berjalan mendekat padanya.

"Ada klien nih. Buruan siap-siap." Seru Naina. Gadis itu berseru semangat.

Lina hanya tersenyum dan mengangguk. Ia bangkit dari kursi lalu berjalan keluar. Namun sebelum ia mencapai pintu, Lina kembali berbalik. "Siapa nama kliennya?"

Naina menyengir. "Cogan, Lin."

"Iya. Siapa?"

"Namanya Farabi Zafir Al-Ikhsan."

Ketika Hati MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang