Part 6

3.9K 342 12
                                    

Wasti masuk kedalam kamar Misha dengan pintu yang sebelumnya sudah di ketuk terlebih dahulu.

Kepalanya masuk dari celah pintu yang terbuka sedikit dan memperlihatkan Misha yang sedang menatap langit-langit kamar.

Kedua tangannya berada diatas perut dengan nafas teratur. Wasti masuk kedalam kamar lalu duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Misha.

“Sore, Bu," sapa Wasti dengan senyum lembut.

Misha yang melihat Wasti pun dibuat senang, terlihat dari air mukanya yang berubah. Wasti mengusap punggung tangan Misha dengan lembut, melihat nyonya nya berbaring seperti ini membuat Wasti tidak tega, namun di sisi lain Wasti juga ingin Lina keluar dari rumah ini.

“Ibu cepat sembuh.., Sekarang yang jagain Ibu si Lina, Tini sudah di pecat oleh pak Zafir karena Lina tiba-tiba datang dan mengatakan bisa merawat ibu,” ujar Wasti dengan raut wajah muram.

Misha yang mendengar itu dibuat terkejut atas pernyataan yang baru saja Wasti katakan. Berani beraninya! Siapa Lina itu sebenarnya! ujar Misha dalam hati.

Kedua bola mata bergerak ke kanan-kiri melihat Wasti yang menyeka air mata, membuat Misha semakin meradang.

Dibalik emosi yang meletup-letup di perlihatkan oleh Misha, Wasti saat ini tengah memberikan senyum kemenangan atas rencananya yang berjalan mulus.

Jangan senang dulu Lina, tunggu sampai ibu sehat, lalu kamu akan di tendang dari rumah ini, sama seperti Tini yang di berhentikan secara tiba-tiba. Girang Wasti.

“Tapi ibu jangan pikirin yang berat-berat dulu, biar ibu cepat sembuh setelah itu bisa–” bisa usir Lina secepatnya! Kedua mata Wasti melihat kearah Misha lalu tersenyum hangat. “Biar bisa kumpul lagi ngobrol di taman belakang sama saya dan pak Naryo,” sambungnya dengan senyum manis.

“Saya panggilin Lina dulu ya Bu, biar Ibu di bersihkan dulu, pasti ibu gerah karena belum mandi,” ujar Wasti.

Sudut bibir Misha tertarik sedikit membuat senyum yang selalu di nantikan oleh penghuni rumah.

Dalam hati Wasti bersyukur karena nyonya nya masih bisa meresponnya dengan senyuman walaupun hanya sedikit.

Senyuman yang selalu membuat suasana rumah terlihat berbeda seperti sekarang.

Namun di dalam hatinya yang meradang, Wasti akan tetap terus melakukan niatan awalnya untuk mengusir Lina keluar dari rumah ini, tidak perduli bagaimanapun caranya.

“Saya tinggal sebentar ya Bu,” ujar Wasti yang bergegas pergi mencari Lina yang terakhir kali pergi menemui pak Zafir di ruang kerjanya.

Melangkahkan kaki menuruni tangga, Wasti berbelok ke kanan menyusuri lorong lalu berhenti tepat di depan pintu kayu hati bercat hitam dengan gantungan nama di daun pintu yang terbuka lebar.

“Zf.Room!”

Awalnya Wasti ingin langsung berdiri di depan pintu, namun segera di urungkan saat mendengar suara obrolan yang awalnya biasa menjadi kearah lain. Dahi Wasti mengerut, saat mendengar suara Zafir yang terdengar sangat bersahabat dan juga lembut, berbeda saat berbicara dengan nya yang terdengar tegas dan mengatur.

Wasti memajukan sedikit wajah nya agar telinganya dapat mendengar dengan jelas perbincangan antara Zafir dan Karlina.  Tubuhnya di rapatkan pada tembok yang ada di belakang nya, dengan tangan kanan menahan agar rambutnya tidak ikut maju ke depan dan ketahuan oleh Zafir, atau nasibnya akan sama dengan Tini yang di pulangkan tanpa pemberitahuan.

Mengingat hal itu, membuat Wasti semakin geram. Rasanya ingin menendang keluar Karlina saat ini, detik ini juga dari dalam rumah tempat dimana ia bekerja.

Ketika Hati MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang