Part 2

5.6K 428 23
                                    


Brak!
Zafir menggebrak meja kerjanya.
"Laporan apa ini?" Tanya Zafir dengan nada keras pada Anto manajer keuangan di perusahaannya.

"Keuangan perusahaan 3 bulan ini." Anto menunduk menahan takut. Walau Zafir 10 tahun lebih muda darinya namun posisi Zafir sebagai CEO Ikhsan Group membuat nyalinya menciut.

"Itu saya tahu. Kenapa angka-angkanya seperti ini?" Zafir melempar file bersampul merah pada Anto setelah sebelumnya menunjuk beberapa bagian di file tersebut.

"I ... tu yang saya dapat dari laporan bagian keuangan semua anak perusahaan."

"Sudah kamu cek kebenarannya?"

"Kredibilitas staf bagian keuangan tidak dapat diragukan." Sebagai manajer Anto membela divisinya.

"Periksa lagi semuanya! Cek setiap angka di laporan kamu!"

"Iya, Pak."

"Terutama di bagian pengeluaran. Ck...pemborosan!"

"Baik, Pak. Saya permisi!" Sambil menunduk Anto undur diri dari hadapan Zafir.

"Bodoh!" umpat Zafir pada Anto yang baru saja sampai di pintu.

Zafir meminum kopinya yang tinggal seteguk. Kopi sachet yang ia seduh sendiri.

Meregangkan tubuhnya yang pegal, Zafir kemudian menatap miris layar laptopnya yang menayangkan kurva harga saham Ikhsan Group di bursa saham.

Gawai Zafir berbunyi, sebuah pesan masuk. Panitia reuni akbar SMA nya mengirimkan undangan. Tawaran untuk membayar harga tiket masuk acara reuni sebesar tiga ratus ribu rupiah perorang.

"Ck... pemborosan. " Zafir mematikan layar gawainya.

Ia menatap foto sang ayah yang tergantung di dinding saat menerima penghargaan dari pemerintah sebagai salah satu pengusaha terbaik.

2 tahun lalu, sang ayah wafat karena serangan jantung dan meninggalkan Zafir sebagai pewaris satu-satunya Ikhsan Group. Zafir yang kala itu baru berusia 24 tahun dan sedang mengambil program magisternya di Inggris segera pulang lalu menggantikan posisi mendiang ayahnya hingga kini.

Tok! Tok!

"Masuk!"

"Pak, ini makan siangnya!" Shiren sekretaris Zafir menyerahkan piring dengan nasi bungkus di atasnya.

"Taruh di meja!" perintah Zafir sambil menunjuk meja oval yang ada di ruangannya.

"Iya, Pak." Shiren mematuhi bosnya.

"Kamu udah makan?"

"Belum, Pak."

"Makanlah, nanti sakit."

"Iya, Pak." jawab Shiren sambil tersenyum merona.

Ucapan Zafir membuat Shiren merasa diperhatikan, ia sangat mengagumi bosnya. Tinggi 180 cm dengan tubuh proporsional, kulit putih, hidung mancung dan mata tajam merupakan tipe lelaki yang sangat disukai Shiren.

"Kok masih di sini? Nunggu apa? Katanya mau makan."

"Permisi, Pak." Shiren pergi kembali ke mejanya.

Zafir duduk di sofa tepat di depan meja oval. Dibukanya nasi bungkus yang tadi diantarkan Shiren. Nasi padang dengan lauk telur dadar lengkap dengan daun singkong dan sambal hijau membuat perut Zafir terasa lebih lapar.

Zafir tidak suka makan di luar, apalagi di restoran ternama ia lebih suka makan di warung padang yang ada di kantin kantor karena menurutnya makan di luar itu pemborosan. Lebih baik makan di ruangannya dengan menu sederhana, hemat tenaga hemat biaya.

Selesai dengan makan siangnya Zafir meneguk air putih yang diambil dari dispenser di ruangannya.

Gawai Zafir berdering kali ini bukan pesan masuk melainkan panggilan dari nomor telepon rumahnya.

"Halo,"

"Tuan muda, nyonya pingsan." Tini asisten rumah tangga mengabarkan kondisi ibu Zafir

"Mommy?"

"Iya, barusan."

"Saya segera pulang."

Tanpa berkata apapun lagi, Zafir melesat mengambil kunci mobilnya dan menuju parkiran.

Satu tahun yang lalu sang ibu mengalami stroke dan kondisinya sering kali naik turun. Ketiadaan suami di sisinya membuat ia sering melamun dan kehilangan semangat hidup.

Zafir memacu Porsche Cayman berwarna biru metalik miliknya dengan kecepatan penuh, untungnya di jam setelah makan siang jalanan tidak terlalu padat. Mobil hadiah kelulusan saat ia diwisuda menjadi sarjana masih sangat baik performanya.

Zafir memarkirkan mobilnya asal di pekarangan rumahnya yang luas. Begitu keluar dari mobilnya ia langsung menuju kamar ibunya.

Ibunya terbaring lemah di ranjang masih dalam keadaan tidak sadar di sebelahnya ada Tini yang berusaha menyadarkan majikannya dengan menaruh minyak angin di sekitar hidung sang nyonya.

"Mommy,"

"Dari tadi belum sadar juga, Tuan Muda."

"Kita bawa ke rumah sakit saja!"

Zafir membawa ibunya beserta sang asisten ke rumah sakit terdekat.

Dokter memeriksa dengan teliti kondisi sang nyonya di ruang IGD. Dokter memutuskan nyonya Ikhsan harus dirawat selama beberapa hari.

Zafir mengurus administrasi perawatan ibunya. Satu-satunya ruang rawat yang kosong adalah kelas VVIP. Dengan berat hati Zafir mengisi formulir perawatan ibunya. Ia lebih sreg jika ibunya dirawat di ruang kelas I atau VIP saja agar lebih hemat tapi mau bagaimana lagi, pasien rumah sakit sedang membludak.

Selama beberapa hari nyonya Ikhsan dirawat di rumah sakit dan akhirnya membaik. Dokter meresepkan obat untuk dikonsumsi di rumah.

"Ibu Anda harus dirawat oleh perawat profesional bukan asisten rumah tangga biasa." ucap dokter Rizal pada Zafir setelah menulis resep untuk nyonya Ikhsan.

"Tini telaten dok merawat ibu saya."

"Tapi dia tidak paham medis, kalau terjadi hal darurat dia tidak bisa apa-apa."

"Dari mana saya bisa mendapat perawat untuk di rumah?"

"Saya bisa merekomendasikan lembaga perawatan home care yang berkualitas untuk ibu Anda. Ini!" Dokter Rizal menyerahkan sebuah kartu nama.


Ketika Hati MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang