10. Apapun Pertanyaannya, Inilah Akhirnya (End)

1.4K 61 25
                                    

10. Apapun Pertanyaannya, Inilah Akhirnya.

Hujan mengguyur. Dari kala aku memasuki bandara Sultan Thaha hingga kini duduk manis dalam pesawat menunggu take off, udara masih juga terasa dingin. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan seraya memalingkan wajah keluar. Selain pohon serta tetanaman di sisi kiri, aku bisa melihat orang-orang melambaikan tangan dari sebuah ruangan berjendela kaca. Banyak yang tersenyum gembira namun ada pula yang terlihat sedih...

Ah, betapa sepuluh tahun lalu ketika meninggalkan kota ini aku begitu berharap Riko ada disana. Menerobos masuk ke lapangan dan menghalangi aku pergi, atau setidaknya, seperti orang-orang itu, cukuplah melambaikan tangan sambil tersenyum bahagia tanda perpisahan.

Aku memang tak mendapatkan bahkan salah satunya, tapi kini aku menjadi tahu beberapa hal:

Riko mencintaiku, dan aku melukainya.

Riko kecelakaan, dan dalam kurun waktu satu dekade, bisa-bisanya aku tak mengetahuinya.

Riko muncul sebagai Erik dengan wajah sesempurna porselen, dan aku, sekali lagi, melukainya.

Ah, sesungguhnya aku tak cuma melukainya. Aku mengubah kepribadian dan wajahnya. Menghancurkan masa depannya...

Aku menggelengkan kepala. Cukup, jangan ada air mata lagi, Corona. Matamu sudah sembab sekali, dan kau sudah bersikeras ingin menunjukkan wajah ceriamu saat bertemu Erik nanti kan?

Well, kemarin, saat pertama kali mengetahui kebenaran itu, hatiku berusaha memberontak. Aku bergegas menelepon nomor Ibu Erik dan menanyakan masa lalu putranya itu.

"Justru itu yang mau tante beritahukan ke kamu dari kemarin., Corona." katanya lirih.

"Jelaskan." ujarku dingin. Ya, dingin, sebab rasa-rasanya kala itu hatiku sudah membeku.

"Di Jogja saja ya, Corona. Akan panjang dan lama sekali. Dan lagipula, tante rasa kau juga harus mempersiapkan diri..."

"Aku sudah siap." ujarku lagi. "Apa benar...Erik amnesia? Apa benar, ia dulunya tinggal di Jambi? Dan, apa benar, dulu ia pernah menjalani operasi plastik?" kelu mendadak menjalari lidah ketika kusebutkan dua kata terakhir.

Gerangan diseberang terdengar kaget. Bahkan dari suaranya ia pasti masih tercekat saat menjawab,

"Maaf tante nggak menjelaskannya dari dulu..." saking merasa bersalahnya, ia bahkan tak menanyakan bagaimana aku dapat mengetahui semuanya.

Aku menelan ludah. "Jadi, jelaskanlah sekarang."

Dan memang benar apa yang terjadi. Operasi plastik berkali-kali, amnesia dan terapi penyembuhan hingga kini. Dan ternyata ada lagi yang terjadi, yang belum aku ketahui. Ada kerusakan kecil namun permanen pada otak yang membuatnya sering melakukan hal-hal di luar kendali. Kesulitan bersosialisasi serta mencintai...

Apa lagi, tanyaku dengan nada bergumam, seolah pernyataan-pernyataan tadi belum cukup mengejutkanku. Well, jika sudah begini, habiskanlah. Remukkanlah dada ini. Aku sudah lebih dari siap untuk dapat menerima kemungkinan terburuknya. Seburuk apapun...

"Erik tak pernah berkata menyukai seseorang sampai ia bertemu denganmu. Ia bilang, ia suka namamu dan bagaimanapun ia harus menikah denganmu.. Well, Corona, setelah mendengar ini pasti kau akan murka, iya kan? Tante mengerti, maka dari itu..."

"Lanjutkan." potongku cepat. Dan ya, benar aku murka. Aku marah pada diriku sendiri, dan barangkali karena itu aku terisak kembali. Bukankah sudah pernah kubilang, ketika marah aku selalu menangis?

"Erik selalu pulang malam untuk menjalani terapi. Dan selalu pula berakhir di bar karena ia merasa gagal. Ingatannya tak pernah kembali dan kepalanya terasa pusing sekali. Yang Erik inginkan cuma kau, Corona. Ah, bukan. Kau kebutuhannya, sebab...sebab, kaulah penyembuhnya."

Mesin Waktu, AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang