3. Yang Tak Terhapus Itu, Rindu Atau Foto Kelabu?

1.3K 32 4
                                    

3. Yang tak terhapus itu, rindu atau foto kelabu? Mengapa bagiku, bahkan tak salah satu?

"Kau...apa suka aku?"

Pertanyaan itu-entah bagaimana-terlontar begitu saja. Mendengar itu, mendadak Riko membetulkan posisi duduknya yang tadi bersandar santai pada bahuku.

Ia menatapku lama penuh tanda tanya, lalu menegakkan tubuhnya tegap-tegap. Poni tipis yang menutupi dahinya mendadak tersibak oleh hembusan kipas angin, dan ketika itu pula baru aku sadari jidatnya mulai basah oleh peluh.

"Apa?" akhirnya ia menyahut. Dari nadanya, jelas ia ingin memastikan bahwa telinganya baik-baik saja.

"Apa kau cinta aku?" ulangku, namun nyatanya kali ini malah jauh lebih pelan dan perlahan.

Ia tertawa. Riko, pria yang sangat kucintai itu melepas rasa geli pada tubuh dengan memamerkan sederet gigi putihnya. Ah, dagu tegas yang menukik lancip itu, mengapa tampak begitu indah? Bekas luka jahitan di sekitar pipi dan keningnya akibat seringnya kebut-kebutan itu pun, mengapa justru meningkatkan aura seksualnya?

Ia mengacak rambutku. Lalu aku-tak mau kalah-menjulak tubuhnya dan berpura-pura sebal.

Ah. Apa jangan-jangan aku tidak berpura-pura? Mengapa rasa-rasanya...ya?

***

Matahari bersinar terlampau terik. Cahayanya yang menyilaukan bahkan menembus mataku yang tadinya terpejam. Kubuka mata perlahan seraya berusaha menyesuaikan diri dengan suasana.

Setelah termenung sejenak, aku pun bangkit dari ranjang. Kusibak tirai lalu kubuka jendela kamar. Udara di kota ini ternyata semakin panas, lalu lintasnya pun tampak lebih padat. Ada puluhan mobil yang melintas--ah, ternyata bukan. Mereka tengah terjebak macet.

Selang beberapa menit, tanganku yang telapaknya bertumpu pada sisi bawah bingkai jendela kutegangkan. Aku berjinjit dan mengeluarkan kepalaku sedikit. Ketika sudah mendapatkan posisi yang pas, barulah kuhirup dalam-dalam udara kota ini.

Mengenyampingkan perkembangan teknologi, dampak arus globalisasi maupun globalwarming itu, bau kota ini...hmmm...tak berubah. Kadar oksigennya barangkali sudah tak sebanyak dulu. Anginnya yang menyejukkan pun pasti sudah bercampur baur dengan debu dan asap kendaraan yang kian menjamur. Tapi, ya itu. Aroma itu-entah tanah, udara, atau suasananya-tetap sama.

Aku kenal betul aroma ini. Aku yang berjalan kaki menuju maupun pulang dari sekolah. Harum masakan nenek yang tercium hidung begitu aku memasuki rumah. Dan..ah, pertemuan pertamaku dengan Riko, si sinis bertampang melankolis itu di bawah tudung teras sebuah toko kaset. Saat itu gerimis turun dengan manis, seromantis gandengan tangannya yang mengajakku berlari dalam hujan...

Percaya atau tidak, akhirnya aku sampai juga di kota ini. Kota Jambi. Kuhabiskan waktu sehari lebih di perjalanan menggunakan bis dan kapal secara nyaris non-stop, kemudian berada disinilah aku, di sebuah kamar hotel sederhana dengan jendela menghadap langsung ke jalan raya.

Astaga. Aku mungkin memang sudah gila. Meninggalkan suami dan pergi

sesuka hati tanpa tujuan yang pasti. Mencari Riko? Itu terdengar konyol sekali. Barangkali mencari kembali jati diri jauh lebih sopan dan beretika.

Yah, okelah. Aku sedang menenangkan hati dan melakukan pencarian kembali jati diri. Tapi...bagaimana?

Tiba-tiba seulas senyum melesat dalam kepala. Itu milik Riko.

Ah. Sial.

Aku benar-benar harus mencarinya.

***

Perempuan berambut pendek dihadapanku ini pasti adalah Dona. Semburat pipi tembamnya yang kemerahan dan matanya yang sipit sama sekali tak berubah. Hanya rambutnya saja yang sudah dipangkas sebahu.

Sayangnya, meski aku seratus persen mengenalinya, ia sepertinya sudah lupa padaku. Buktinya, sudah hampir dua menit setelah pintu dibukakan, ia masih saja menatapku penuh rasa heran. Dari matanya, aku bisa lihat ia berusaha mengingat.

Namun apa boleh buat. Ingatan, nalar, maupun tingkat kecerdasan Dona sedari dulu memang sangat buruk. Jika tidak, tentu waktu ulangan sejarah dulu ia tak bakal salah mengenali Pangeran Antasari sebagai Pak Raden.

"Ah itu sih aku sengaja jawab 'gitu. Biar lucu sikit.." katanya waktu itu dengan wajah bersemu.

"Bah! Itu sih emang kau yang idak belajar samo sekali! Toh sekarang lagi bahas Bab Perjuangan Kemerdekaan, mana mungkin ado Pak Raden!" balasku menyekaknya sambil tertawa.

Ia cuma bisa terdiam, berusaha berpikir harus berkata apa lagi. Wajah itulah yang ditunjukkannya lagi saat ini, di depan pintu, di hadapanku.

"Err...siapa?" tanya Dona, akhirnya.

"Pak Raden ada?" ujarku sambil tersenyum jahil. Sontak Dona memperlebar kelopak matanya.

"Astaga! Corona? Ternyata benar itu kamu? Aku daritadi udah nebak, tapi ragu-ragu. Soalnya kamu kan udah pindah..."

Ya ampun ini anak. Memangnya setelah pindah aku tak mungkin kembali lagi?

"Ah alasan. Memang dasarnya ingatanmu kok yang payah! Aku sedang liburan. Boleh masuk nggak? Mau ngobrol nih..."

"Wah, cara bicaramu udah sopan banget. Nggak kayak dulu. Kuliah dan Jogja udah membentuk kepribadianmu nih ceritanya?" ujar Dona tersenyum gembira.

"Haha. Yang iyo nian aku udah dewasa, Donaaa" dengan gemas kucubiti pipi tembamnya. Ia mengerang tak terima, tapi pada detik berikutnya kami sudah tertawa bersama.

***

"Riko?" Dona bertanya dengan nada suara tercekat.

Aku mengangguk, mengiyakan.

"Maksud kamu, kamu minggat dari rumah untuk balikan sama Riko?" tanyanya, menelan ludah.

Aku menggeleng cepat.

"Aku kesini mau mencarinya." jawabku sambil menghirup teh panas yang dihidangkan Dona untukku.

"Terus kalo udah ketemu?"

Aku terdiam. Kuletakkan cangkir tehku di meja, berpikir sebentar, lalu baru menjawab singkat, "Nggak tahu."

"Gila." Dona memberi tanggapan cepat dan cendrung keras. "Kau tahu tidak, dari dulu kau memang tidak jelas, tapi sekarang kau tidak waras."

"Tidak jelas? Tidak jelas dimananya?" aku memprotesnya, namun dengan nada santai.

"Ya tidak jelas!" bentak Dona tiba-tiba. "Kau orang paling tidak konsisten yang pernah aku temui. Kau masa tidak ingat bagaimana kau bisa putus dengan Riko?"

Wew, kenapa ia jadi marah?

Dan..Oh God! Sekarang kenapa matanya ikut berkaca-kaca?

"Hei..kau kenapa.."

"Corona, sebaiknya kau pergi saja. Kau dulu memang teman akrabku, dan aku berhutang banyak padamu. Tapi ini...terlalu menyakitkan. Sorry..." mendadak Dona bangkit dari kursinya dan membukakan pintu.

"Nah, kau boleh pergi." katanya lagi dengan dingin.

Aku terkesiap. Apa-apaan ini? Apa Dona hanya main-main? Ah, sepertinya tidak. Ia tak biasa bercanda, dan lagi, mengapa matanya penuh dengan amarah?

"Hei Riko itu, waktu itu dengan aku--"

"Corona! Sudahlah. Jangan bicara lagi! Lupakan Riko! Lupakan dia atau kau akan menyakitinya lebih dalam lagi!"

Dengan cepat Dona menarik tanganku, mendorongku keluar, dan... BLAM! Pintu terbanting rapat.

Aku mengetuk pintu dan berteriak memanggil namanya. Tapi tak ada jawaban.

"Aku butuh penjelasan, Dona!!" pekikku keras-keras.

Jika Dona-temanku yang pelupa itu-bisa mengingat sesuatu dengan baik, pastilah hal itu adalah hal yang amat sangat pelik.

***

Mesin Waktu, AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang