8. Tentang Aku, Riko, dan Dona (II)
Mataku dan mata Dona bertemu. Milikku berkaca-kaca tak percaya, sedang miliknya, kiranya berair karena lelah. Letih menutupi semua perasaannya. Bosan berpura-pura. Sudah terlalu banyak luka. Sudah terlalu lama bersarang disana.
Aku berdiri-menyejajarkan diri dengannya-kemudian meraih bahunya.
"Maafkan aku. Aku tidak menyadari perasaanmu sejak aw--"
"Sudahlah." ia meraih tanganku, menyingkirkan dari pundaknya. "Itu semua sudah berlalu."
"Aku memang...bukan sahabat yang baik." kataku lirih.
Aku menatapnya lagi, dan mendapatinya sudah menangis. Keras-keras. Dipanggilnya nama Riko sekencang-kencangnya. Aku terkesiap. Begitu besarkah cinta Dona kepada Riko?
Semenit kemudian tangis itu telah berubah jadi isak histeris, sementara itu aku masih diam terpaku, tanpa tahu harus berbuat apa. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Haruskah aku rangkul bahu dan menangis bersamanya? Atau, mungkinkah berlutut di depannya adalah pilihan terbaik? Beritahu aku, Dona, jalan mana yang dapat membuatmu lega.
Soalnya, aku...aku juga tersiksa.
"Aku tahu ini menyakitkan. Maafkan aku!" kutundukkan kepala sambil menahan tangis. "Aku menyakitimu terlalu dalam, jadi maafkanlah aku!"
"Aku tidak sakit..." pekik Dona. "Yang sakit adalah Riko. Ia yang paling menderita. Ia yang paling terluka!"
Kalimatnya barusan langsung membuatku mendongak kembali dan menatapnya tajam-dalam.
"Ap-apa maksudmu?"
Tak ada penjelasan. Dona masih menangis kencang.
Kuraih sekali lagi bahunya, kemudian kuguncang-guncangkan.
"Apa yang terjadi dengan Riko? Beritahu aku!"
"Aku..aku tak mau bicara denganmu lagi.." ucap Dona diantara isak tangisnya. "Itu terlalu menyakitkan. Kau...kau tidak punya perasaan..."
Aku baru saja ingin meraih bahunya, ketika secepat kilat ia berbalik masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
***
Hari itu, tertanggal 15 Desember 2002, pukul enam petang, di kamar kos Riko.
Aku dan Riko baru saja pulang dari makan malam di warung nasi dekat sana. Sebelumnya pun kami juga sudah mampir-tanpa membeli-ke toko kaset, menumpang baca di toko buku Gloria, dan terakhir, pergi ke tepi sungai Batanghari, menikmati hembusan angin dan sebatang jagung bakar.
Di ruangan sempit itu, kami-seperti biasa-duduk di tepi kasur dan mendengarkan lagu. Aku tengah menikmati alunan intronya sambil bertopang dagu pada tangan yang menyilang, ketika kusadari Riko telah daritadi memandangiku. Raut wajahnya sulit diterka: pencampuran antara heran, prihatin, merasa bersalah, dan semoga, cinta.
"Kencan tadi.." Riko agaknya merasa canggung menyebutkan kata yang pertama. "..apa menyenangkan?"
Aku membuyarkan lipatan tanganku, lalu menoleh-menatapnya nanar. Kukembangkan senyum di pipiku dengan letih. Ia tampaknya cukup kaget dengan ekspresiku barusan. Pelan-pelan ia mendekat, mengangkat tangan, lalu meletakkan telapaknya di dahiku. Secara tidak sadar, kepalaku pun ikut mendongak, memberikan telapak tangan dan jemari lentiknya tempat datar yang nyaman.
Ah, hangat. Berlama-lamalah hinggap di dahi ini...
Sayang sekali ia tak dapat mendengar suara hatiku, sehingga tiba-tiba saja telapak tangan itu sudah terangkat pergi.
"Kau tidak demam." gumamnya.
"Memang tidak." jawabku.
"Lalu," ia menunduk dan memainkan jemari-membunyikannya, sehingga timbul bunyi 'pletak-pletok' ringan. "kenapa kau meminta kencan tadi?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mesin Waktu, Aku
Roman d'amourCorona menikah dengan Erik, dan ia tidak bahagia. Hampir gila, akhirnya ia memutuskan pergi dari rumah (suaminya) untuk mencari Riko, sang cinta pertama...