7. Tentang Aku, Riko, dan Dona (I)
Bingung. Kesal.
Rasanya dua kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Kesal karena harga makanan yang bisa dibilang lumayan mahal. Dompet ini memang masih cukup tebal sih, namun tetap saja, buang-buang uang tanpa hasil sama sekali itu lumayan bikin berang. Lalu, bingung, yang tak lain dilatarbelakangi oleh beberapa hal: 1) aku tidak tahu kemana lagi harus mencari informasi tentang Riko, 2) aku masih bingung akan kemarahan Dona, 3) aku masih tak habis pikir, mengapa aku harus memikirkan semua ini.
Dan lagi, sampai susah-susah bolak-balik sana-sini mencari informasi. Untuk sepersekian detik, aku sempat merasa jijik. Tapi mau bagaimana lagi. Orang-orang itu kan acapkali berkata: untuk melakukan sesuatu, kita tidak sepenuhnya perlu alasan baku. Asal senang, ya sudah, untuk apa susah-susah mempertanyakan atau memperbincangkan.
Namun, pertanyaannya sekarang, memangnya aku senang? Keadaan ini justru membuat suasana hatiku tidak karuan.
Ah, ya..kini aku mulai menemukan titik terangnya. Ternyata yang aku cari bukan senang, tapi...tenang.
Disela-sela monolog-ku, ternyata sedari tadi HP-ku sudah bergetar-getar. Aku merogohnya dari dalam saku dan membuka kuncinya.
1 missed call dan 2 messages received.
Yang pertama, dari Mama:
[Corona. Kapan kau akan pulang?]
Yang kedua, ah, nomornya asing:
[Halo Corona. Tadi tante coba telepon tp kmu tdk angkat. Jadi, tante beritahu dsini saja. Ada banyak hal yg harus tante ceritakan sama kmu. Hal ini menyangkut Erik, kmu, dan tentu saja pernikahan kalian. Cepatlah pulang, karena ini sangat penting. Nb: tante nggak menyalahkanmu sama sekali atas sakitnya Erik. Tante mengerti.]
Usai membacanya, aku bisa rasakan banyaknya air ludah yang menjalari tenggorokan. Berkali-kali aku menelannya, namun leher ini tetap saja terasa kesat. Tercekat.
Naluriku dapat merasakan adanya aura mengerikan dari kata-kata dalam pesan tadi. Seorang nyonya kaya yang dalam sekilas pandang saja baru aku jumpa dan kenal, tiba-tiba meng-SMS-ku demikian panjangnya. Aku mengerti bahwa Erik, anak semata wayangnya itu sedang sakit, sehingga ia pastinya panik dan memancingku-sebagai menantunya-untuk segera pulang.
Ya, mungkin ini salahku menerima lamaran Erik dengan begitu spontan, tapi..."Aku mengerti"? Ia mengerti kondisiku? Yang benar saja.
HP-ku mendadak bergetar lagi. Seseorang menelepon. Nomornya asing. Ibu Erik.
Aku memasukkan benda bergetar itu ke dalam saku sambil menghela nafas panjang.
Sori, tapi sepertinya kalau sekarang, aku belum siap.
Sorry, Mama. Sorry, Ibu Mertua. Sorry, Erik.
Ah, sekarang kenapa aku benar-benar merasa bersalah?
Guna mengalihkan pemikiran, kucoba mengingat kembali percakapanku dengan Riko yang barangkali-kini-bisa menjadi kata kunci. Ketika dekat dengannya dulu, kami memang tak banyak mengorek privasi satu sama lain. Alasannya sederhana saja: hubungan kami didasari-tulus-hanya oleh rasa ingin bahagia. Jika saling mengetahui latar belakang malah dapat menimbulkan masalah, ya untuk apa. Kalau rasa ingin memiliki cuma akan menciptakan tali pengikat yang menyakiti, ya lebih baik tidak usah. Yah, awalnya sih begitu. Sayangnya aku yang masih muda dan cendrung kekanak-kanakkan itu pada akhirnya agak mengingkarinya juga. Waktu itu, rasa yang ada di hati-selain mencintai-ingin pula memiliki.
Kuyangkan pandanganku ke jalan raya. Biasanya inspirasi bakal cepat datang kalau aku memperhatikan orang-orang. Ada yang lagi menyeberang, sibuk bergandengan tangan, dan...ah, itu ada seorang mahasiswa dengan jaket universitasnya. Ketika ia mendekat, kuperhatikan nama dan alamat kampus yang tertera disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mesin Waktu, Aku
RomantizmCorona menikah dengan Erik, dan ia tidak bahagia. Hampir gila, akhirnya ia memutuskan pergi dari rumah (suaminya) untuk mencari Riko, sang cinta pertama...