1. Yang berasal dari cinta itu, luka atau bahagia? Mengapa aku sudah lupa?
Aku adalah perempuan yang tangguh. Bukan secara fisik, memang, sebab aku tahu wanita melawan pria pastilah kalah perang. Memalukan? Tidak juga. Wanita memang dikodratkan lemah-gemulai-agaklebai, tapi toh mereka biasanya memiliki tingkat kecerdasan diatas pria. Beberapa diantaranya: 1) Wanita gampang jatuh cinta, namun pandai pula berpura-pura. 2) Mereka memendam nafsu menggebu, tapi mereka, sekali lagi, seorang penipu bermutu. 3) Jika pria melawan jiwa wanita dengan raga, wanita melawan raga pria dengan jiwa.
Ya. Seperti itulah. Jika itu ternyata tidak benar, berarti teoriku hanya berlaku bagi diriku sendiri saja, dan itu menandakan pula satu hal: cuma aku saja manusia cerdas di bumi ini.
Jika secara raga wanita tidak dapat menang dari pria, maka secara jiwa, seharusnya bisa. Ya, aku percaya dan menganut prinsip tersebut selama beberapa lama, sampai akhirnya usia itu pun tiba.
Dua puluh lima. Di sisi laki-laki, angka itu sangatlah indah. Yang kubaca, mereka-para lelaki itu-bakal paling berjaya di angka dua puluh lima. Golden age. Masa-masa keemasan. Brankas mulai dipenuhi emas, hati mulai 'meng-emaskan' diri, dan barangkali sperma juga berupa cairan keemasan. Entahlah, aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Malu? Errr...mungkin lebih ke ragu. Mau bertanya pada siapa? Si brengsek Erik? Tidak sudi.
Sebaliknya, masa jaya seorang wanita-rasa-rasanya-mulai berakhir pada usia itu. Baru beberapa setelah tahun lulus S1, mencari kerja, mendapat gaji tetap, dan bersenang-senang dengan uang hasil kerja payah, eh, tiba-tiba kata 'menikah' dan 'berkeluarga' sudah terngiang di kepala.
"Kamu nggak ada pikiran buat nikah? Usia kamu udah dua lima lo" suatu hari, tanpa ada angin ada hujan, Mama bicara begitu. Padahal Mama termasuk orang tua yang memiliki pandangan modern, karena itu aku pikir seharusnya Ia tidak memprioritaskan perkawinan. Tapi nyatanya Mama bertanya juga, dengan nada suara agak memaksa dan mata lumayan berkaca-kaca pula.
"Kenapa?" tanyaku, gusar.
Ia tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan tatapan mata. Ya, matanya yang menelusuri jiwa dan membisik halus: "Menikahlah, nak. Bukan karena kau mau, tapi lebih sebab kau butuh."
Sialnya, binarnya berkata ia sangat benar, sehingga membuatku kurang sadar saat berkata: "Akan kupikirkan"
Ketika mengatakannya kepada orang yang paling mengasihi dan aku kasihi, kemungkinan besar hal itu memang akan terealisasi.
Dan memang terjadi. Aku mencari beberapa pria dan mengikuti kencan buta. Bagaimanapun, karena aku meyakini bahwa mengencani lalu bersetubuh dengan kawan sendiri itu akan amat jijik, menikahi pria gagah yang asing di mata tentu akan terasa mudah.
Di sebuah restoran perancis berkelaslah aku bertemu pertama kali dengan Erik. Pria kaya yang dari lagaknya, sepertinya cerdas. Ia membeli banyak sekali makanan aneh dan menjelaskan nama berikut sejarahnya padaku.
Aku sama sekali tak mengerti akan penjelasannya, rasa makanannya pun tidak cocok di lidah. Untungnya ia lumayan gagah. Erik memiliki bahu yang lebar dan jari-jemari yang panjang lentik. Melihatnya, fantasiku sudah terbang liar saja kemana-mana.
Dan belakangan aku tahu, fantasiku itulah yang mengelabuhiku.
Usia Erik sudah tigapuluh. Sudah mapan, sudah lewat dari masa-masa golden age. Karena itulah dengan entengnya ia melamarku. Kemudian aku-dengan bodoh-menerimanya. Dengan senyuman pula. Aku jijik sekali kalau mengingatnya.
***
Erik-tidak seperti perkiraanmu-adalah pria yang baik. Kelewat baik malah, sehingga ia tak membiarkanku bekerja. Gajiku sangat cukup untuk menafkahi keluarga ini, sayang, ucap mulut manisnya.
Aku memang berhasil dibujuk, tapi dengan sedikit paksaan. Coba dengar, ia berkata diam-diam Mama dan Papaku agar melarangku bekerja. Belakangan aku pun tahu ia bersekongkol dengan kedua orang tuanya untuk memaksaku cepat-cepat punya anak. Mewarisi garis keturunan, sayang, ucap mulut sok manisnya.
Maka, jadilah kehidupanku yang menjijikkan ini: pagi siang malam aku menyiapkannya makanan, ia pergi cepat ke kantor dan pulang malam setelah mampir ke bar. Menjamu tamu, katanya pelan. Kali itu tidak pakai embel-embel 'sayang' lagi. Karena kelelahan bekerja atau berselingkuh, aku tidak mau tahu. Yang pasti, yang sangat aku yakini, ia adalah pria dengan nafsu birahi kelewat tinggi. Ia tidak normal. Setelah setiap malam mesti menungguinya pulang, aku juga harus melayani keperluan malamnya. Padahal berada di rumah
seharian sudah merupakan siksaan batin untukku, mengapa aku harus menerima siksaan lahir pula darinya?
Oke, Erik tidak menyiksaku. Ia hanya menyetubuhiku, dan aku tak pernah bisa menikmatinya. Aku tidak tahu jelas mengapa. Dengan wajah tampan dan tubuh tegap itu, seharusnya ia bisa kan?
Karena auranya. Keegoisannya sebagai laki-laki berikut suami yang selalu ingin lebih daripada wanita, kata hati kecilku.
Ya, jawab hati terdangkalku.
Dan aku..aku dengan sangat tolol tidak mau membantah. Aku sebenarnya bisa, tapi aku terlalu pengecut untuk berani mengambil resiko.
Kemudian, suatu malam setelah berbenci (Erik menyebutnya bercinta) dengannya, aku berpikir lama dan akhirnya aku mengerti mengapa aku bisa sebegini tak menyukainya: karena pernikahan ini membunuh jiwaku yang berapi-api. Dia-lah air yang menyiram dan mematikan jalar api itu.
Ah, betapa kalau sudah begini aku jadi begitu merindukan Riko, cinta pertamaku saat aku kelas satu SMA. Riko yang lebih tua dariku lima tahun tapi memperlakukan aku sederajat dengannya. Riko yang mau dimanja namun juga sanggup menjaga. Sudah sepuluh tahun yang lalu, ya. Mengapa tidak terasa?
Aku adalah perempuan yang tangguh. Tapi itu dulu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mesin Waktu, Aku
RomanceCorona menikah dengan Erik, dan ia tidak bahagia. Hampir gila, akhirnya ia memutuskan pergi dari rumah (suaminya) untuk mencari Riko, sang cinta pertama...