5. Tentang Aku Dan Riko (II)

1.1K 30 2
                                    

5. Tentang Aku dan Riko (II)

Aku menatap layar ponsel lama-lama, mencoba mencerna apa yang barusan kubaca.

Rumah sakit? Rumah...tempat... orang yang tidak sehat dirawat...kan?

Rasa kaget dan bingung masih saja bersemanyam di dalam raga, ketika kusadari ponsel di genggaman ini bergetar. Tidak hebat, tapi nyatanya aku terperanjat juga tatkala merasakannya. Dibalik getaran ini pastilah ada panggilan. Dibalik panggilan ini...mestinya ada kecaman.

Dari Mama. Sudah kuduga. Aku harus mengangkatnya....ya kan? Tapi..Bagaimana kalau pura-pura tak tahu saja?

Dahiku berpeluh lagi. Shit. Kenapa begini?

1 missed call. Sudah dimatikan.

Tidak bergetar lagi.

Aku memang jahat.

Kenapa tidak kuangkat saja? Erik masuk rumah sakit, dan Mama meneleponku barusan, jelas untuk memberikan aku informasi mengenai keadaannya. Menyarankanku untuk cepat pulang. Sudah, mudah, itu saja. Dia tidak akan memarahiku karena dalam pikirannya aku tengah liburan. Apa susahnya menekan gambar hijau ponsel itu? Mengapa aku membiarkannya saja? Ah, bukan, untuk apa aku menolaknya?

Merasa bersalah?

Mendadak sekelebat wajah Erik melesat cepat dalam kepala. Ia dengan kemeja kusutnya pada pukul dua. Bibirnya yang menciumku paksa. Tubuhnya yang sekuat tenaga menekan bawah. Desahannya yang tak kunjung usai. Tawanya yang renyah. Senyumnya yang ramah. Tatapannya yang mengandung sejuta makna. Kilau matanya yang aku rasa, entah dimana, pernah aku jumpa...

Sial. Apa yang baru saja kupikirkan tentangnya?

Segera kubuang pikiran itu jauh-jauh, kemudian memaksa otak mencari jawaban sesuai logika. Tak lama kemudian aku sudah mendapatkannya: aku bukannya merasa tak nyaman, hanya saja...tak aman. Erik mungkin masuk rumah sakit, tapi aku cuma kasihan padanya.

Ya, boleh juga. Mengasihani, bukan mengasihi. Kasihan, bukan kasih.

Setelah berhasil menanamkan jawaban tersebut dari kepala ke dada, aku pun membuka 'lock' ponsel, mencari nomor Mama, dan meneleponnya.

Langsung diangkat.

"Corona!!! Kenapa baru telepon sekarang? Daritadi Mama nelpon kamu! Erik masuk rumah sakit!" kata yang diseberang dengan volume keras, geram.

"Maaf ma. Aku tadi lagi tidur. Erik masuk rumah sakit? Kenapa?"

"Kau ini!! Bisa-bisanya berkata santai seperti itu ketika suamimu masuk rumah sakit! Memangnya kau nggak cemas? Erik pingsan tiba-tiba, dan sekarang belum sadarkan diri!" bentaknya keras-keras.

Aku tertegun beberapa saat, berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk melanjutkan pembicaraan.

"Apa..dia baik-baik saja?"

Terdengar desah nafas lelah dari seberang sana.

"Menurutmu orang yang tidak sadarkan diri itu bagaimana?" katanya kesal. "Pokoknya,kau cepat pulang saja. Jangan buat malu Mama."

Mendengarnya, perutku mendadak bergejolak mulas. Meninggalkan kota ini tanpa hasil sama sekali. Tidak menemukan Riko, tidak mendengar kabarnya, bahkan sekarang bertengkar dengan Dona. Betapa nihil.

"Corona?" Mama memanggil namaku dengan nada pasrah yang melukakan telinga serta jiwa.

"Aku..."

"Ibu Erik juga ingin bicara denganmu." ujar Mama lagi. "Katanya penting sekali."

Ibu...Erik? Oh, God. Malapetaka. Nyonya kaya itu jelas ingin menyudutkanku. Bertanya mengapa aku pergi tanpa mengucap permisi. Melontarkan kata-kata yang menusuk hati. Memaksaku untuk melayani Erik semaksimal mungkin atau cerai...

Mesin Waktu, AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang