"Ra, temenin Eyang di sini ya?" Kata Eyang dari ujung telfon
"Insya allah yang, nanti Kirana kabarin kalau Rara mau ke sana. Eyang sehat-sehat ya?" Jawabku lalu mengucap salam dan menutup telfon.
20. Ini sudah ke 20 kalinya dalam bulan ini Eyang menelfon hanya untuk minta ditemani di Balikpapan.
"Ma, emang Wa Kiki sibuk banget ya di sana sampai Eyang minta Rara ke sana mulu?" Tanyaku pada Mama yang sedang menyiapkan dessert untuk acara 4 bulanan Kak Karin.
Mama menyuruhku minggir dari atas meja tempat dia mau menaruh hasil panggangan kuenya. Aku turun dari atas meja dan membantu Mama mengambil panggangan-panggangan lain dari dalam oven.
"Ya, Wa Kiki kan ada kegiatan juga pasti, toh? Apalagi sekarang kan Om Bagus baru diangkat jadi danyon, makin sibuk lah mereka," jawab Mama.
Mama meminta icing kue yang ada di sampingku. Kuambil plastik bening berisi icing warna warni itu lalu kuberikan ke Mama.
"Lagian, Wa sama Om mu juga belum dikasih kepercayaan untuk punya anak, mungkin Eyangmu kangen cucu-cucunya aja. Kamu kan yang paling kecil dan belum menikah, makanya Eyang minta kamu ke sana," jelas Mama. "Padahal tuh ya, Mama udah bilang sama Eyang buat pindah sini aja, biar bisa ketemu cucu-cucunya tiap hari, tapi tetep aja kekeh di sana."
Semua orang di keluarga kami sebenarnya tau alasan Eyang tidak mau ikut anak-anaknya pindah ke luar kota. Dia mau selalu dekat dengan pusara suaminya, Eyang Kakung yang meninggal sebagai pati dan dimakamkan di kota terakhir beliau bertugas.
"Secinta itu Eyang Putri sama Eyang Kakung, Ma? Tanyaku sambil bersandar pada meja dapur.
Mama menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan senyuman lembut. "Kalau kamu udah agak gedean, pas Eyang Kakung meninggal. Kamu pasti tau gimana cintanya mereka berdua sampai sampai Eyang Putri itu 3 hari 3 malam gak ada tidur karena nemenin Eyang Kakung yang sebentar-bentar batuk-batuk, terus muntah-muntah," jelas Mama. "Mama tuh selalu berdoa supaya Mama sama Papamu juga bisa kaya gitu, saling ada saat di antara kita sakit"
Eyang Kakung meninggal saat aku masih berumur 2 tahun, waktu itu tahun-tahun terakhir Eyang jadi Pati di salah satu kota. Eyang terkena meningitis dan hanya dalam waktu 6 bulan, kanker ganas tersebut berhasil membunuh Eyang dalam tidurnya.
"Jangan dong Ma. Semoga Mama Papa bisa sehat terus, sampai tua banget, bisa ngeliat Kak Arka, Kak Karin, sama aku bercucu kalau bisa," kataku dengan bahagia.
Mama tertawa. "Amin, amin. Kamu mikirin cucu. Nikah aja belum," goda Mama.
Aku hanya bisa nyengir, karena sudah beberapa lebaran ini aku di teror satu keluarga untuk cepat-cepat menikah. Berhubung, hampir seluruh perempuan di keluargaku menikah muda. Mereka juga ingin aku cepat menuyusul.
"Sabar ya Ma. Ini skripsi belum kelar-kelar."
"Makanya jangan kerjaannya nonton aja terus. Unair loh tinggal berapa blok aja dari rumah ini, Ra. Malah yang paling sering kamu datengin Mall setengah jam dari sini," kata Mama kembali ke mode cerewetnya seperti biasa.
"Tinggal revisi terakhir kok, Ma. Dosennya juga lagi liburan panjang. Katanya nanti kalau dia balik baru bisa tanda tangan," belaku. Dasar dosen kampret emang. Udah tau muridnya ngejar lulus tahun ini. Dengan dia ambil libur 2 bulan dengan alasan ngunjungin anaknya di Amrik, anak-anak farmasi yang bulan ini mau wisuda harus nunda dan baru bisa lulus tahun depan. Sabar. Sabar
Mama menghela nafas. "Ya udah, cepet-cepet deh, segerakan. Biar cepat juga kerja, punya duit sendiri, habis tu nikah. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara (A Lieutenant And A Socialite)
ChickLitTentang kisah asmara yang tidak diinginkan awalnya. Semua tokoh, jalan cerita, dan tempat kejadian hanya fiksi. Dan sekali lagi cerita ini tidak diambil dari kejadian nyata (all pictures used on the cover are NOT MINE)