Semburan jingga perlahan menghilang. Berganti warna gelap, sayup-sayup adzan maghrib mulai bersahutan.
Ada rasa tenang dan damai masuk ke dalam relung hati, dikala mendengar merdunya suara adzan.Beribu pilin pohon telah dilewati, jurang, perbukitan, jalan yang menikung, naik dan turun. Ingatanku tertuju pada keluarga di kampung.
Aku merindukannya!
Rindu saat main di empang bersama teman, mencari ikan seruang, untuk lauk di rumah, digoreng kering, makannya pakai kecap dan nasi yang uapnya masih mengepul. Uuuumm lezat!
Mencari jamur, membantu ibu memasak, mencuci di kali, menghalau burung saat padi mulai menguning, jalan berlubang, jalan bak bubur dikala hujan, dan ada banyak lagi.
Aku merindukan itu! Sangat rindu!***
Pikiranku kembali menerawang.
Belasan tahun meninggalkan rumah, merantau ke pulau seberang, demi mengepulnya asap di dapur emak.
Jangan tanya ayahku di mana? Semenjak umurku lima tahun dan emak mengandung adikku yang berusia tiga bulan. Ayah pergi meninggalkan kami. Bukan mati! Tapi, pergi bersama kekasih gelapnya.
Sejak saat itu emak berkerja sendiri, membanting tulang demi menghidupi aku dan adik. Membiayai sekolahku hingga tamat SMP.
Bermodalkan ijazah SMP, aku melamar kerja sebagai Asisten Rumah Tangga(ART).
***
Awal bekerja mereka berjanji akan memberi gajiku sehari sepuluh ribu, dan seminggu sekali memberi uang jajan. Waktu itu aku berpikir jika aku mengumpulkan uang 300.000 ribu perbulan pasti emak bisa sejahtera di kampung.
Sebulan pertama mereka menepati ucapannya. Dengan senang hati kukirim semua gaji ke kampung.
Berjalan dua bulan hanya gaji, bulan ketiga hanya separuh. Terus berlanjut hingga kadang aku tak menerima gaji.Pernah berniat meminta gaji namun, pukulan yang kudapatkan. Bukan hanya itu, kesalaha sedikit saja mereka langsung menghukum tanpa ampun.
Pernah aku dengan tak sengaja memecahkan piring kesukaan anaknya yang berusia tiga tahun, saat itu pula, punggungku digosok dengan setrika. Hingga saat ini bekas luka itu masih ada.
Bermacam-macam siksaan yang kuterima, ingin mengadu tapi, kepada siapa? Bahkan tak pernah diizinkan keluar rumah, dan tak diizinkan menelfon.
Aku hanya mampu meminta pertolongan kepada sang kholik, pencipta alam semesta.Mereka juga marah saat melihatku menggunakan kerudung panjang. Kami tak sepaham, walau satu akidah.
Aku selalu mengingat kata emak. Emak selalu berkata.
"Nduk, berkerudung itu wajib, walaupun kita bukan orang baik di mata manusia. Tapi, Insya allah di mata Allah kita baik." Halus, sehalus sutra suara emak saat mengatakan itu. Dan itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari mulut emak sebelum kepergianku."Kau! Dasar kampung! Yang boleh memakai kerudung hanya orang kaya, terpandang, dan yang sudah pergi ke Mekkah" teriak majikanku sambil menarik kerudungku.
Bibir ini sudah sering kali memohon dan mengiba agar tak memukul. Namun, tak sedikit pun mereka mendengarkan permohonanku.***
Aku tersenyum. Siksaan mereka bagaikan kaset yang berputar ditiap menitnya. Miris!
Saat pergi usiaku masi empat belas tahun, kini telah tiga puluh tahun. Enam belas tahun pergi, dan selama itu tak pernah sekali pun tersenyum lepas, senyuman dengan beban berat yang selalu kusuguhkan.
***
Beberapa hari yang lalu majikan dan anak-anaknya pergi keluar kota. Kesempatan emas bagiku.
Dengan membawa recehan uang dan beberapa potong baju aku kabur melalui pagar halaman belakang, menggunakan tangga.Terus berlari hingga tiba di terminal. Baru hendak melangkah menuju loket pembelian karcis, aku dikejutkan dengan penampakan yang ada di depanku. Adik majikanku ada di depan sana, sambil menunjukkan sebuah foto kepada orang-orang, dan itu adalah fotoku.
Cepat-cepat aku membalikkan badan mencari tempat persembunyian. Belum sempat mendapatkan tempat sembunyi mataku berserobok dengan sosok wanita bercadar, aku mendekatinya memohon pertolongan agar bersedia menjual satu cadarnya untukku.
"Jika kamu menginginkannya tak perlu beli, akan kuberi satu untukmu anggap saja hadiah," tangannya menurunkan ransel dari punggung. Sedikit merusak lipatan baju lainnya untuk menggapai benda itu, sekitar sepuluh menit baru ketemu.
"Sini aku bantu memakainkannya" matanya menyipit. Aku tau, dia pasti tersenyum. Aku menganggukkan kepala.
"Terima kasih, semoga Allah membalas kebaikanmu." Ucapku sambil menatapnya. Dia tersenyum lagi, aku berjalan meninggalkannya dan kulambaikan tangan, namun lagi-lagi dia tersenyum.
Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat saat berpapasan dengan orang itu, adik majikanku.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, seketika langkahku terhenti dan mematung. Rasa takut mulai menjalar, masi dengan posisi yang sama.
"Hey, kamu kenapa?" Tunggu! Itu suara perempuan, saat membalikan badan yang kutemukan adalah wanita bercadar tadi.huuf tenang rasanya.
"Aaaku.. itu.. sedang mencari bus jurusan ke kota C." Dengan sedikit gugup menjawabnya, rasa takutku belum sepenuhnya hilang.
"Mmm kamu taukan busnya yang mana kan?" Mungkin dia heran melihatku. Sedari tadi tidak masuk kedalam bus. Aku menggelengkan kepala, senyumnya kembali dihadiahkan untukku. Mungkin dia suka tersenyum ya?
"Kamu naik yang warna merah itu." Tangannya menunjukkan bus yang ada dihadapanku.
"Terima kasih banyak, hari ini kamu banyak menolongku." Tanganku terulur kearahnya, dibalas pula dengan uluran tangan serta senyuman.
Karena, tidak memiliki karcis supir dan kernetnya meminta harga lebih tinggi. Awalnya aku hendak turun lagi dan membeli karcis. Namun, aku teringat ada orang yang sedang mencariku. Lebih baik membayar harga lebih tinggi asalkan selamat, dari pada lebih murah namun celaka.
***
"Kita sudah sampai kota C, silahkan penumpang yang mau turun." Teriak kernet membangunkan lamunanku.
Bergegas turun dan mengucapkan terima kasih kepada sopir dan kernet.
Hari sudah pagi, memudahkanku mencari rumah emak. Sudah banyak perubahan di kampung ini, dulu belum ada ruko dan bangunan tinggi, bahkan listrik hanya dari mesin Diesel. Jalanan pun sudah bagus.
Kaki ini terus melangkah, tiada henti. Tatapan orang bertanya-tanya, ahh mereka pasti mengira aku pendatang baru. Hingga kaki ini berhenti di rumah tua. Enam belas tahun kutinggalkan, namun, hampir tidak ada yang berubah dari rumah itu.
"Assalamu'alaikum" ucapku sedikit berteriak.
"Wa'alaikumussalm, sebentar." Perempuan paruh baya keluar sambil memegang bakiak.
Air mataku luruh, saat melihat wanita itu.Dia emak!
Emak menatapku, keningnya berkerut.
"Mau cari siapa nduk?" Ahh suara emak memang tak pernah berubah, selalu halus.
"Emak, ini susi makk, emak ingatkan?" Aku berjalan mendekati. Tangan sebelahku menggenggam erat tangan emak. Dan sebelah lagi melepaskan cadar yang kukenakan.
Tangis emak pecah, emak menjerit, memelukku dengan erat sangat erat.
Tiba-tiba pandanganku mengabur, emak tetap memelukku, ini adalah pelukan pertama dan terakhir setelah enam belas tahun tidak bertemu. Dan seperti ada yang keluar dari tubuhku.
Semua menjadi gelap. Mungkin ini saatnya aku pulang kerumah. Rumah yang kekal, rumah abadiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Creepypasta_Gore
Kurzgeschichten"Lihat! Mereka ada di setiap sudut ruangan layaknya butiran debu yang berterbangan. Bersiaplah giliranmu akan tiba!"