Lost

75 0 0
                                    

Bagiku, kepulangan ayah hari itu sangat sulit dipercaya. Pria itu yang mulanya selalu muncul di depan pintu dengan wajah santai, seperti baru mendapatkan rezeki yang amat melimpah akibat kambing yang dipeliharanya laris manis di pasar, seolah tiada beban atau pun satu masalah sekarang sudah tak nampak lagi di depanku. Terakhir kali aku ingat, dia sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

Aku terus bertanya tanya dalam hati ada apa dengan ayah? Mengapa ibuku sering membawa ayah bepergian ke tempat seperti ini, dimana banyak hal mengerikan yang dapat kulihat, mulai dari jarum suntik yang benar benar mengkilat logamnya dan sangat tajam ujungnya tengah dibawa oleh seseorang perempuan berseragam putih rapi dengan trolinya. Belum lagi saat aku ingin menuju kamar rawat ayah terdapat ruangan gelap yang minim cahayanya pada malam itu. Sekilas aku melihat banyak orang pucat terbaring di dalamnya dengan selimut yang hendak ditutupkan ke wajah mereka oleh petugas kamar tersebut.

Sebenarnya mereka kenapa?
Kenapa ruangan itu begitu menakutkan?

“Itu kamar mayat!” Sontak aku mendongak menatap kakak laki laki ku yang rupanya sedari tadi memperhatikan arah lihatku.

“Kenapa mereka tidur disana?” Tanyaku polos yang tidak tau apa apa sebab aku sendiri masih berumur tujuh tahun pada kakakku yang jelas sudah dewasa saat itu. Aku rasa dia pasti tahu.

“Tidak tau” Sayangnya ia menjawab dengan rasa ke-tidak pedulian-nya pada sekitar sambil berjalan meninggalkanku. Kukira kakak akan memberikan jawaban yang pasti padaku. Dengan berlari kecil aku mengejarnya untuk menyamakan langkah kaki kami.

Ceklek..

Knop pintu yang diputar kakakku pun terbuka dan menampilkan tubuh ayah terbaring dalam keadaan yang sama seperti sebelumnya.

“Ehh...anak anakku sudah datang, kemari nak”, itu ibuku yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang ayah dengan melambaikan tangannya memandangku berkaca kaca.

“Sini sini ibu pangku nak”. Aku pun mendekatinya karena ia telah menepuk pahanya beberapa kali memberiku isyarat untuk duduk dipangkuannya.

Jelas aku merindukannya, berhari hari ibu sering meninggalkanku dirumah sendirian bersama kakakku dan istrinya serta satu bayi perempuan mereka. Sedikit rasa sedih di hatiku bahwa aku merasa terasingkan, tersudutkan dan sendirian ketika ayah dan ibu tidak ada disisiku.

Atensiku teralih kepada ayah yang sedang menatapku sayu. Tiba tiba senyum tipis dibibirnya melebar begitu saja, membuatku ikut tersenyum sambil menampakkan gigi besarku yang pastinya terlihat seperti kelinci baginya.

Dengan seperti ini apakah ayah akan tertawa? Seperti tiga minggu yang lalu saat aku menyembunyikan rokoknya di bawah bantalku, ia tengah melihatku. Karena ketahuan aku hanya meringis menunjukkan gigi khasku. Ia ikut meringis selanjutnya tertawa dan menggelitiku. Ayahku sangat tampan, melihatnya tertawa lepas adalah lebih dari tampan sama seperti karakter superhero di dongeng dongeng. Namun jawabannya tidak, senyumnya memudar kembali, tatapannya beralih pada suster yang berkunjung sambil membawa satu mangkuk bubur di atas nampan.

“Maaf mengganggu bu, ini sudah jam minum obat, saya mengantarkan buburnya.” Ibu meraih semangkuk bubur itu dan menaruhnya di atas nakas.

“Terima kasih sus.” Suster hanya mengangguk dan beranjak pergi keluar dari kamar ayah. Aku turun dari pangkuan ibu sebab ia harus menyuapi ayah. Kakak membantu ibu mendudukkan ayah. Sebelum sesuap bubur dilahapnya, ayah masih sempat menanyaiku.

“Yeni, sudah makan nak??” Mataku membulat besar setelah ayah bersuara dengan nada yang agak berat dan serak, karena ini pertama kalinya ia bersuara setelah dua minggu lalu.

Selanjutnya aku tersenyum girang dan mengangguk untuk mengiyakan. Ingin rasanya aku melompat dan memeluknya tapi aku harus menahan hingga akhirnya tiba saat dimana ayah telah lepas dari jeratan ranjang rumah sakit yang menyebalkan ini. Beberapa menit setelah ayah selesai makan, aku mengucek mataku mengusir rasa kantuk.

“Buu...besok Yeni sekolah, kami akan pulang dulu” Ujar kakakku terhadap ibu.

“Iya baiklah, hati hati ya nak jaga Yeni. Ibu harus menginap disini lagi menemani ayah. Yeni, dirumah baik baik sama kakak Ovan ya, jangan nakal.” Aku menjawabnya dengan sekali anggukan dan melambaikan tangan pada ayah dan ibu.

“Ayah ibu, aku pulang dulu, dadahhh...ayah cepat pergi dari sini ya? Ayah punya janji membuatkanku layangan heheheee..dahhh...” Aku mengembangkan senyum dan mengikuti kakakku dari belakang.

Perlahan aku menutup pintu sebelum akhirnya wajah mereka yang penuh senyuman hilang dari pandangan dan tergantikan dengan pintu kayu berlapis furniture coklat.

---

Esoknya aku bersiap untuk sekolah. Aku pandangi diriku di cermin, dengan rambut panjangku yang dikuncir berurai. Hal ini mengingatkanku hari dimana ayah membantuku bersisir saat ibuku tidak ada dirumah karena harus bekerja dengan keahlian memasaknya.

“Ayah? Kenapa ini jelek sekali? Ibu bisa mengepang rambutku kenapa ayah tidak?” Aku mempoutkan bibirku kesal melihat rambutku yang hanya dibiarkan terurai. Perihalnya, aku sudah biasa dengan rambut dikepang seperti yang ibu lakukan padaku setiap hari.

“Nak, maaf ayah tidak bisa mengepang rambut” Jawabnya berlanjut menyisiri ke setiap helai rambutku..

Hari ini tidak ada yang mengepang rambutku...

Sedikit menundukkan kepala sambil memainkan jari jari kecilku, aku keluar kamar dan berpamitan.

“Kak,aku pergi sekolah dulu ya?” Pamitku kepada kakak

“Iya hati hati nanti dirumah sendiri dulu, kakak mau menyusul istri dan anak kakak kesini”. Aku membalasnya dengan senyuman dan kepala yang manggut manggut.

Jarak sekolah dan rumahku sangat dekat. Sesampaiku dikelas, aku menghampiri teman sebangkuku. Aku mendudukkan pantatku di kursi sebelahnya.

“ Vindaaa.. aku belum mengerjakan PR..” Ia menelan ludahnya kasar, menyatukan kedua alisnya menyerngit dengan tatapan tajam.

“Wahhh?! Siap siap nanti dihukum” Tak kaget bagiku, pastinya aku akan selalu mendapatkan hukuman. Orang bodoh sepertiku mana mampu menyelesaikan apapun, pikirku.

“Apa kau tidak kapok?” Lantas aku menoleh dan menopang daguku dengan kedua tangan.

“Aku bukannya tidak mau tapi tidak bisa mengerjakannya” Tangan Vinda menepuk bahuku berusaha menenangkanku.

“Hmm...tak apa asal jangan suka menyontek”. Dapat kulihat senyum tulusnya menunjukkan rasa peduli terhadapku. Selanjutnya aku mengikuti pelajaran sampai akhirnya aku dihukum berdiri di depan kelas.

 Selanjutnya aku mengikuti pelajaran sampai akhirnya aku dihukum berdiri di depan kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continuee...

AYAH [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang