Doll

33 0 0
                                    

Hari hari selanjutnya telah berlalu. Malam sunyi ini aku akan berkunjung ke rumah sakit menemui ayah. Setelah bersiap aku meraih bonekaku yang terletak di atas kasur. Aku menggendong dan mengelus-elus setiap inci bulu boneka Rabbit ini, yang merupakan boneka karakter kelinci di serial kartun Winnie The Pooh, memiliki dua telinga panjang yang berdiri tegak, berwarna kuning di sekujur tubuhnya menyisakan warna putih diantara bawah hidung hingga ekor. Aku menatapnya senang, ia memiliki gigi yang sama denganku, gigi kelinci. Inikah mengapa ayah membelikanku boneka ini satu hari yang lalu?

Dalam perjalanan aku menggendong bonekaku dengan hati hati tapi sibuk memainkannya sampai aku lupa bahwa aku sedang berada di atas sepeda motor yang dikemudikan oleh kakakku. Merasa ada pergerakan kakak segera menegurku.

“Jangan banyak bergerak nanti jatuh, bonekanya nanti saja” Ucapnya dengan nada penuh penekanan seperti memperingatkanku agar menuruti perintahnya.

Di kamar ayah, ternyata ayah sudah tidur. Tinggal ibuku yang rupanya sedang menungguku. Sedari tadi aku memainkan bonekaku, menjeweri telinga panjangnya, mengajaknya bicara seolah ia hidup, telah membuat ibuku tertawa melihat tingkahku.

Pagi dini hari sekitar jam tiga subuh, suara suara gemuruh telah mengganggu telingaku. Karena terusik aku mulai mengucek mataku, meregangkan otot otot tangan dan membuka mata perlahan. Ada sesuatu yang terjadi diluar! Aku bahkan mendengar suara sirine ambulance sangat sangat jelas menembus telingaku. Entah bagaimana? Tapi kakiku serasa menuntunku menuju dapur. Disana, aku melihat ibu sedang kalang kabut mencari sesuatu di belakang pintu.

“Ibuuu...” Aku menunjukkan raut bahagiaku melihatnya sudah pulang.

“Nak, k-kamu jangan kemana mana, ibu mau cari pinjaman dulu” Dengan nafas terengah engah, dada yang naik turun mengontrol pernafasan,serta keringat yang bercucuran di pelipisnya, belum lagi matanya yang merah sembab dengan kantong mata hitam layaknya panda tak menghentikan niatnya untuk mencari sesuatu yang diinginkan. Hingga sampailah kedua tangan itu berhasil meraih periuk besi berukuran besar.

“Nak, ibu mau jual wajan ini dulu ke tetangga sebelah, nanti disini banyak orang, jangan khawatir” Belum sempat aku bertanya, punggung sempitnya sudah menghilang begitu saja dari pandanganku.

Aku lupa apa yang terjadi setelahnya pada hari itu, daya ingatku tak begitu tajam untuk mengingatkan kejadian menyakitkan ini tapi seluk beluk insiden ini hampir setiap hari terngiang dikepalaku. Yang ku tau, ternyata seseorang yang sangat berarti dihidupku telah meninggalkanku untuk hari ini,besok dan selamanya. Namun saat itu aku sangat polos. Memang apa yang aku tahu tentang arti kematian? Seakan aku berfikir bahwa ayah akan kembali lagi. Saat itu, guruku di sekolah dasar serta teman teman sekelasku secara bergerombol mengunjungi rumahku. Kata tetanggaku ini namanya takziah yaitu datang dan mendoakan untuk menyatakan turut berduka cita dan berbela sungkawa kepada kediaman yang tertimpa musibah. Kulihat keranda mayat itu siap untuk memberangkatkan ayah ke pemakaman. Sebelumnya aku kasihan melihat ayah dibalut kain putih.

Bagaimana ayahku bisa bernafas?
Ayah akan dibawa ke pemakaman untuk apa?

Aku pendam pertanyaanku melihat situasi dirumah sangat terguncang. Ku tunjukkan senyumku pada setiap orang yang datang ke rumah. Boneka yang ada di genggamanku telah kucengkeram erat, melihat mereka menangis dan bersedih tidak membuat senyumku luntur. Lagipula anak yang tidak tahu apa apa sepertiku mana mungkin bisa menangis sebelum tahu arti kematian yang sebenarnya.

Aku menghampiri ibu di ruang tengah yang sedang melipat baju. Ini sudah satu bulan setelah peninggalan ayah.

“Bu, kenapa ayah tidak pulang? Sudah lama tak berjumpa dengannya?” Ibu menerjapkan matanya beberapa kali, menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian dibalasnya pertanyaanku dengan sebuah senyuman.

“Ayahmu sedang naik haji nak, nanti ia kembali dengan membawa uang sekarung” Hatiku sumringah mendengarnya.

“Benarkah? Nanti kalau ayah pulang kita ke pasar ya bu?” Ibu mengelus rambutku dan berkata.

“Iya..iya tentu..”

“Yeeeeeyyy..horee..” Aku meloncat loncat girang sambil mengangkat bonekaku dan berputar putar riang.

“Yeeeyy..kita nanti ke pasar” Monologku.

Selanjutnya hari demi hari, bulan demi bulan, pertanyaan yang kuajukan tetap sama. Pada akhirnya aku menemukan jawaban yang pasti bahwa,

'AYAH TAK AKAN PERNAH KEMBALI
‘SELAMANYA..'

To be continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue

AYAH [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang