IT WAS IN THE BRIDGE

4.4K 267 2
                                    

CHAPTER I

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER I

°•°•°


Melangkah santai sambil terus memegangi tali tas ranselnya. Ingin pergi ke tempat les piano katanya.

Kegiatan yang sudah rutin dilakoni semenjak pemuda manis bernama Park Jimin itu mengenal keindahan suara dari tiap tuts yang di tekan sesuai irama.

Kira-kira kalau tidak salah, semenjak Jimin memasuki sekolah dasar, dikelas tiga.

Dulu Jimin kecil tidak tahu apa itu piano, sebuah benda besar bermatrial hampir seluruhnya kayu yang Ayahnya simpan di Paviliun belakang rumahnya. Saat bermain di sana Jimin kecil sama sekali tidak menghiraukan keberadaan benda itu.

Jimin tidak langsung mengikuti kelas musik tambahan di rumah guru Kang. Sebelumnya ia belajar di rumah lebih dulu, tepatnya sebelum Ayahnya benar-benar sibuk.

Karena keinginan menggebu-gebu seorang Park Jimin, akhirnya  sang Ayah mengizinkannya mengikuti les piano dengan syarat tidak mengganggu kegiatan belajarnya juga nilai akademik di sekolah.

Jimin yang senang bukan kepalang meng-iyakan begitu saja, meski beberapa bulan belakangan ini Jimin sering melewatkan waktu tidur malamnya akibat mengejar ketertinggalan di sekolah.

Utungnya sampai saat ini nilai Jimin masih stabil. Tidak masalah, Jimin punya penghibur dikala lelahnya menyergap yaitu pergi kerumah guru Kang, melepas rindu dengan piano putih disana. Bagaimana pun juga, otaknya butuh refreshing sebagai manusia.

Semilir angin meniup lembut helaian rambut Jimin, membuat beberapa kali poni hitamnya tersingkap.

Jimin menapaki jembatan Mapo, berjalan di area pejalan kaki yang sudah disediakan. Seragam sekolah masih melekat rapih di tubuhnya, tidak butuh waktu lama sampai di rumah guru Kang jadi Jimin memilih untuk langsung kesana daripada membuang waktu pulang dulu kerumah guna mengganti baju, karena dekat juga alasan Jimin memilih berjalan kaki.

Menikmati suasana di sekitarnya, menikmati lembutnya angin sore menerpa tubuhnya.

Jalanan sedang lengang hari ini, padahal sudah sore. Apa belum masuk jam pulang kerja? Entahlah, Jimin tidak begitu paham tentang sistem jam kerja, nyatanya yang ia tahu Ayahnya juga terlalu sering tidak bertemu dengannya sebab sibuk bekerja.

Awalnya tenang-tenang saja, mestinya memang begitu, seperti biasanya, Sampai netra Jimin melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sorenya, tidak lagi terlihat indah.

Disana, seseorang tengah berusaha memanjat pagar pembatas jembatan.

Jimin tidak tahu pasti apa tujuan orang tersebut, tetapi pikirannya terus saja mengatakan, kalau hal buruk akan terjadi jika ia tetap diam. Jimin hanya tidak percaya sesuatu yang biasa ia lihat dalam acara berita di televisi akan terjadi di depan matanya sendiri. Mengingat bagaimana presenter menjelaskan kejadian yang menjadi topik berita saja sudah membuat Jimin merinding apalagi sampai melihatnya langsung, dengan mata kepalanya sendiri.

THE LAST MIXTAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang