PROMISE IN MAPO BRIDGE

866 127 3
                                    

CHAPTER 7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 7

°•°•°

Tangan Jimin mengulurkan sekaleng minuman isotonik pada orang di hadapannya. Kemudian menarik kursi untuk dirinya sendiri, menjatuhkan setengah badannya di meja. Jimin benar-benar merasa lelah, pagi-pagi sudah banjir keringat, rambutnya jadi sedikit lepek.

Sekarang Jimin ada didepan minimarket setelah selesai membantu pekerjaan mengantarkan berkrat-krat susu, mereka memilih mengistirahatkan diri, tentunya usai mengambil upah yang dijanjikan pria gempal pemilik kedai sarapan tadi.

Sesekali Jimin mengibaskan tangannya, berharap menciptakan angin yang mampu meredakan rasa gerahnya. Nyatanya tidak, Jimin tetap merasa gerah. Ia heran kemana angin yang lewat, sepertinya tidak ada sama sekali yang berhembus padanya. Tidak tahukah angin, kalau Jimin sedang teramat membutuhkannya.

Jimin mengangkat pandangan, bertemu langsung dengan sekaleng minuman yang masih utuh bahkan tutupnya belum dibuka. Ia mengeryit heran, melontarkan tatapan tidak paham.

Apa orang yang bersamannya sekarang tidak haus, Jimin saja sampai merasa tenggorokannya seperti di serang musim kemarau saking hausnya. Tetapi orang dihadapannya bergeming sama sekali, tampak biasa saja.

Yah, meski terbiasa tidak merasa haus dan butuh minum, setidaknya orang itu menghargainya, pikir Jimin.

"Ah, ingin aku bukakan ya? Baiklah, tidak masalah" Jimin menarik pembuka kaleng minuman itu, lalu kembali menaruhnya didepan orang yang sedari tadi hanya diam.

Bahkan sepajang kegiatan mengirim susu barusan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar tertuju pada Jimin.

"Kau harus minum, nanti bisa dehidrasi kalau tidak cukup air."

Anggaplah Jimin bicara dengan patung. Nyatanya memang terasa seperti itu, diam tidak ada tanggapan seperti mengajak bicara sebuah patung.

Jimin tidak habis pikir ternyata ada orang yang diamnya sampai seakut ini. Bisa-bisa orang itu dikira tidak mampu bicara kalau terlalu irit bersuara. Setidaknya meski singat, tidak bisakah menanggapi Jimin bicara. Jadikan ia tidak merasa terabaikan atau sampai merasa mengobrol dengan benda mati.

"Aku berjanji pada Ibuku, kalau nanti akan mengajakmu kerumahku. Aku tidak bisa mengingkari Janji, aku harap kau mau mengerti."

Jari Jimin memutari bibir kaleng, Ia akan bicara sekarang mumpung bertemu. Ia tidak tahu bukan kapan lagi akan bertemu orang itu, sekarang saja karena kebetulan.

Tidak ada sahutan, tidak berekspresi, air wajahnya datar. Jimin jadi salah tingkah kalau begini caranya, ia merasa tindakannya super konyol.

Apa ia bicara terlalu pada intinya?

Jimin rasa wajah keheranan orang itu terlalu jelas. Pasti tengah berpikir Jimin adalah orang asing yang aneh, responnya saja seperti sangat tidak nyaman dengan keberadaan Jimin.

Ya ampun, Jimin merasa seperti parasit sekarang, parasit yang merecoki hidup orang lain.

"Janji tidak akan lama. Hari ini saja, kalau tidak bisa besok juga tidak apa-apa, atau besoknya lagi. Terserah padamu ingin kapan. Kau mau'kan datang ke rumahku, sebagai teman?"

"Aku janji setelah ini tidak akan menganggumu lagi, sungguh"

"Mau, ya? Aku tidak bisa mengecewakan, Ibu. Aku sudah berjanji mengenalkanmu padanya sebagai temanku. Mau, ya? Ya?"

Dan akhirnya Jimin mengeluarkan jurus andalannya. Wajah memelas.

Kalau pada Ayah atau Ibunya, sih. Seratus persen ampuh tetapi sekarang ia melakukannya didepan orang asing. Apa berpengaruh?

"Tidak bisa hari ini."

Netra Jimin menerjap lucu. Ia terkejut orang itu bicara padanya, Jimin merespon seakan sungguhan baru saja melihat patung tiba-tiba berbicara. Ya Tuhan, Jimin sudah nyaris putus asa tadi.

"Lusa jam lima sore di jembatan Mapo, kita bertemu disana."

"Lusa jam lima, di Jembatan mapo. Baiklah, aku akan menemuimu sepulang sekolah. Lusa jam lima, Jembatan Mapo" senyum Jimin mengembang. Ia terus mengulang kata 'Jembatan Mapo' sangat takut kalau nanti Janjinya terlupa "Terimakasih"

"Aku harus pergi, Terimakasih bantuannya tadi."

Senyum Jimin masih bertahan. Maniknya memperhatikan bagaimana punggung orang itu mulai menjauh bersama sepedanya.

Minimal perasaanya melega, ia kira akan sangat sulit atau parahnya orang itu menolak mentah-mentah. Nyatanya tidak.

Ah, Jimin jadi merasa tidak enak pada orang itu. Ia terkesan menipu Ibu, menipu orang itu dan menipu dirinya sendiri. Mereka tidak berteman itu kenyataannya. Jimin masih berpikir mustahil menjalin pertemanan. Hubungan semacam itu sudah terasa alot serta basi bagi Jimin, tidak begitu menarik. Meski ia ingin memiliki hal seperti itu, terkadang.



Janji lusa di Jembatan Mapo. Jimin membuat janji dengan orang asing, yang katanya teman.

 Jimin membuat janji dengan orang asing, yang katanya teman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minminki-ie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minminki-ie


THE LAST MIXTAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang