SO WHAT'S THE STORY?

852 119 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CHAPTER 9


Lima menit yang lalu Guru Kim menghujani ponsel Jimin dengan panggilan beruntun. Lantas, ketika sang Guru mengatakan agar Jimin pergi keruangannya sepulang sekolah nanti tanpa pikir panjang lagi Jimin menurut.

Sepertinya ada sesuatu penting, begitu pikir Jimin.

Dan sekarang Jimin sudah ada disana, di ruang konseling, ruang kerja milik Guru Kim. Bersama dua orang paruh baya yang tidak Jimin kenal dan satu orang pelaku perusakan moodnya tadi siang.

Mereka ada di dalam, duduk berhadapan. Jimin dan Guru Kim disisi kanan dan ketiga orang itu disisi seberangnya. Bau-bau Jimin akan menyesali keputusannya.

Mulanya Jimin tidak paham. Ia merasa tidak memiliki urusan dengan ketiga orang itu, lalu mendadak ia berpikir mungkin Guru Kim butuh bantuan.

Dan benar saja, memang Jimin diminta datang guna dimintai bantuan. Sayanganya , itulah yang membuat telinga Jimin panas, kawah emosi di kepalanya terasa meletup-letup, darahnya seolah berdesir cepat, singkatnya Jimin kesal, kesal bukan main.

"Jim, ini Jungkook murid pindahan dari Busan yang aku katakan siang tadi. Jungkook banyak tertinggal pelajaran, jadi bisakah Jimin membantunya. Menjadi pembimbing di kelas sampai semester baru dimulai?"

Pemuda manis itu, Jimin. Belum menjawab pertanyaan Guru Kim, sepatah kata pun belum keluar dari mulutnya, usai sang Guru mengutarakan maksudnya.

Jungkook atau siapaun itu namanya, pokoknya Jimin kesal. Bahkan melihat wajah anak itu saja Jimin sudah sangat kesal.

Bagaimana tidak, orang yang bernama Jungkook itu masih diam meski sekarang sudah dihadapkan dengan Jimin. Dasarnya memang tidak ada niat meminta maaf, mungkin, atau parahnya si Jungkook itu sudah melupakan kejadian tadi siang padahal lutut Jimin sampai sekarang masih berdenyut nyeri sesekali.

Lalu kemudian tiba-tiba Jimin diminta membantu Jungkook, setelah sikap menyebalkan Jungkook padanya? Astaga! Yang benar saja!, Mana mau.

"Jimin?" Guru Kim menyentuh pundak Jimin, sedikit ada rematan disana. Meminta perhatiannya.

Jimin mendadak menjadi pendiam, wajahnya muram tidak bersahabat.

Yah, sedikitnya Guru Kim tahu, mungkin sebab perkara beberapa jam yang lalu. Kali pertama bertemu Jungkook kesan buruk sudah sangat melekat pada Jimin. Insiden yang menubruk Jimin hingga jatuh, siapa yang bisa melupakan. Itu baru terjadi tadi siang dan mungkin sakitnya masih betah bersarang.

"Kenapa harus aku? Ada banyak murid di sini, bahkan ada yang lebih pandai dariku, jadi kenapa harus aku?" Jimin bersidekap, melipat tangannya di depan dada. Sedikit menyentak bahunya, menjatuhkan tangan Guru Kim yang masih betah berdiam disana.

Tersenyum canggung, Guru Kim agak tidak enak hati dengan kedua orang tua jungkook setelah mendapat tanggapan dari Jimin. Meski belum mengatakan pasti secara langsung 'tidak', tetapi ucapan Jimin sudah jelas menyiratkan sebuah penolakan.

"Karena aku percaya padamu"

"Jadi Pak Kim tidak percaya pada murid yang lain? Jahat sekali" Jimin mendelik sebal, menggembungkan lucu pipinya.

Herannya, saat Guru Kim melirik lagi memeriksa ekspresi orangtua Jungkook. Takut-takut wajah kecewa yang didapat,  justru keduanya malah tengah berusaha menahan tawanya.

Pasti gara-gara Jimin, yang kalau dilihat-lihat, saat sedang marah  bukannya membuat orang segan atau takut justru rasanya ingin menyerang anak itu dengan cubitan bertubi-tubi penuh rasa gemas. Ya ampun, muridnya yang satu ini, menggemaskan tiada duanya.

Terkekeh sebentar, tangan Guru Kim menggusak rambut Jimin yang justru cepat di tepis anak itu. Tepatnya Jimin malu, takut kalau dikira kekanakan sebab sikap Guru Kim padanya barusan. Bagaimana pun Jimin merasa ia harus terlihat keren dimata Jungkook yang menyebalkan itu.

"Bukan begitu, Jim. Aku percaya pada murid yang lain tetapi aku lebih percaya kalau menitipkan Jungkook padamu."

"Aku ini bukan tempat penitipan. Kenapa tidak meminta bantuan guru saja, atau les privat." Jawab Jimin ketus. Ia masih teguh pada pendirian beralaskan rasa sebalnya.

Guru Kim mengela napas, kalau begini ia juga tidak bisa memaksa, takut nanti Jimin malah merasa terbebani kemudian merembet pada kegiatan belajar anak itu, hal itu juga tidak bisa dibiarkan.

Senyum berlesung pipi kembali ditunjukan Guru Kim, berusaha menengangkan kegusaran orangtua Jungkook meski, gusarnya itu tidak terlihat di wajah kedua paruh baya tersebut, tapi ia cukup peka.

"Tidak apa-apa, Guru Kim" wanita yang menyandang status Ibu Jungkook yang kali ini bicara, senyum seorang Ibu itu selalu manis, hangat dan menenangkan, "Tetapi Jimin, tetap mau'kan jadi teman Jungkook?"

Ingin bilang 'Tidak' tetapi Jimin tidak tega, ia tidak sejahat itu sampai membuat seorang Ibu memohon padanya. Kalau itu Ibu Jimin tidak akan ia biarkan sampai memohon.

Tetapi kalau menjawab 'iya'... Jungkook itu, loh. Rasanya seperti anak itu tengah tertawa puas, tersenyum mengejek Jimin. Yah, meski itu hanya perasaan Jimin saja.

Kalau saja si Jungkook itu bukan manusia melainkan samsak tinju mungkin sudah Jimin hajar habis-habisan.

Akhirnya hanya senyum Jimin yang menanggapi, kemudian Guru Kim meminta maaf sebab mengecewakan, setelahnya Jungkook dan kedua orang tuannya berpamitan pulang.

Jimin mengela napas lega, setidaknya ia tidak terjebak dalam situasi menyebalkan seperti tadi lebih lama lagi.

Guru Kim kembali duduk disamping Jimin, setelah baru saja selesai mengantar tamunya ke depan pintu keluar ruangannya.

"Jim, masih punya waktu?"

Jimin mengangguk pasti, menoleh menaruh atensi penuh pada Gurunya "Hu'um, les piano sedang libur. Kenapa?"



"Mau dengar sebuah kisah?" 

"Mau dengar sebuah kisah?" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Minminki-ie


THE LAST MIXTAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang