TABLE OF GRIEF

2K 206 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CHAPTER II

°•°•°

Cahaya mentari belum begitu panas. Tentu saja, karena ini masih pagi. Langitnya juga sedang cerah tidak seperti pagi kemarin, pagi-pagi sudah mendung. Jimin jadi repot membawa payung sebagai jaga-jaga kalau nanti tiba-tiba hujan itu pun sebab diingatkan Ibunya.

Jimin itu malas membuat tasnya tambah berat, buku-buku yang dibawa saja sudah banyak, lalu ditambah payung, semakin berat saja tasnya.

Sekolah dimulai tujuh tiga puluh, Jimin terbiasa berangkat lebih pagi sebab harus mengulas beberapa pelajaran diperpustakaan, mencari referensi atau merampungkan tugas rumahnya yang mungkin saja ada yang terlewat.

Soal belajar, Jimin memang rajin. Sejak sekolah dasar Jimin selalu mendapat nilai sempurna, mengantarkannya menjadi si peringkat satu berturut-turut hingga memasuki jenjang sekolah menengah atas pun Jimin masih mempertahankan predikat si peringkat pertama.

Tak ayal, jika ada kerja dalam bentuk kelompok, banyak murid yang memperebutkan Jimin agar masuk dalam tim mereka. Melibatkan Jimin dalam tugas kelompok berarti bersiaplah mendapat nilai tinggi dan menjadi grup belajar terbaik.

Park Jimin, salah satu murid jenius di sekolahnya.

Jimin menutup buku tebal dihadapannya, menggusak matanya sebentar kemudian bangkit dari duduknya.

Sejujurnya ia malas kembali ke kelas, rasanya perpustakaan tempat terbaik menyerap ilmu meski tanpa penjelasan guru kebanding di kelas yang hanya membuat ruwet saking berisiknya para murid yang tidak mau menyimak.

Tetapi Jimin harus, tiga puluh menit lagi kelas di mulai. Tidak mungkin ia mengulur-ngulur waktu, nantinya justru Jimin terlambat masuk dan malah dihadiahi, seminar panjang kali lebar gurunya. Benar-benar jenuh jika harus bermenit-menit bertemankan ocehan guru yang dirasa tiada habisnya.

Kelas Jimin ada di gedung A, untungnya tidak jauh dari ruang perpustakaan. Jadi tidak perlu waktu lama sampai ke kelasnya. Kebisingan didalam kelas yang dituju Jimin sudah terdengar padahal ia masih butuh sekitar lima  langkah lagi untuk sampai.

Yah, dan benar saja ruang kelas sudah cukup ramai. Semuanya hanya melirik kedatangan Jimin sekilas kemudian kembali pada urusan masing-masing, Jimin sendiri tidak ambil pusing Semua orang di kelasnya memang seperti tidak menganggap keberadaan Jimin, lain hal kalau sudah mendapat tugas Tim. Jimin seperti orang penting yang sangat di cari-cari.

Sebuah kejaiban yang lain mau melirik Jimin barusan, kendati Jimin pikir mereka melakukannya sebab mengira guru yang datang, mereka memastikan seperti itu lebih, tepatnya.

Murid pindahan.

Sebutan itu masih melekat erat pada Jimin meski sudah satu tahun berlalu. Jimin bukannya pindah daerah atau kota, Jimin hanya pindah sekolah. Rumahnya tetaplah sama sejak kecil, Jimin sedang mendapat keberuntungan begitu kiranya.

THE LAST MIXTAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang