Bagian XIII - Rosa Rubingiosa

713 99 9
                                    

Aku mengalaminya lagi: sebuah mimpi yang intens dan terasa sangat nyata. Kali ini anak lelaki itu menyebutkan sebuah nama. Sayang sekali, aku tidak sempat memperhatikannya. Mimpi itu begitu cepat. Dari pada mimpi, apa yang kulihat lebih mirip kilatan kejadian.

Anak lelaki itu masih dalam kondisi sama. Ia terkurung di sebuah ruangan–kuyakini sebagai ruangan bawah tanah–dengan kaki dan tangan terikat. Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa terus memimpikan hal memilukan itu. Dengan ruangan, suasana, perasaan dan orang-orang yang juga sama.

"Katherine, kamu juga dari Indonesia, kan? Wah, aku sangat merindukan tempat itu. aku sangat ingin kembali ke sana," katanya sambil tersenyum ramah. Entah dengan siapa ia berbicara karena aku sama sekali tidak melihat orang lain di dalam ruangan.

Lalu, seorang anak perempuan berambut pirang ikal membuka pintu dan dengan riang mendekatinya. Lagi-lagi,aku merasa tidak asing dengan wajah itu.

"Aku hanya bisa membawakanmu ini," kata si gadis kecil sambil memberikan sepotong roti gandum kepada anak lelaki. "Orang tuamu belum pulang dari kantor. Tapi aku tidak bisa menemanimu sekarang."

"Tidak apa, Ella. Ada Katherine di sini," jawab si anak lelaki dengan bahasa Bulgarianya yang fasih.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas mimpi itu. Suasana, suara, aroma dan perasaan aneh yang menjalar di hatiku. Seperti yang sudah pernah kubilang, mimpi itu terasa sangat nyata. Aku bahkan bisa merasakan sakit yang anak itu derita: rasa lapar, perih di sudut bibir, ngilu di seluruh tubuh, dan rasa dingin yang menggigit tulang.

"Gue nggak mau gara-gara mimpi buruk lo itu, lo jadi ngerusak suasana ya, Ra," celetuk Fanya begitu mobil yang kami tumpangi membelah jalanan menuju Melnik. Sebuah lagu lawas milik Kangen Band yang entah apa judulnya mengalun lembut. Seabsudr tingkahnya, selera musik Fanya juga seaneh itu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan selera musik Fanya. Hanya saja, siapa mengira jika dia punya rasa suka berlebih dengan band satu ini? seorang Fanya?

"Masih sering mimpi buruk? Kok nggak cerita? Aku khawatir banget pas pagi itu kamu bangun dengan kondisi kayak abis sakit, Ra," timpal Dimasta tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan penuh salju di depannya.

Well, akibat satu gelas wine yang masuk ke lambungku malam itu, akhirnya sekarang Dimasta duduk di kursi kemudi. Ia menerima tawaran menemaniku dan Fanya menghadiri family gathering. Aku tidak berhenti mengutuk sikap murahanku malam itu. Bahkan, Fanya tertawa puas saat aku menceritakan kejadian itu kepadanya kemarin pagi.

Bukan Ameera banget! Itu komentar Fanya. Demi mendengar komentar itu, aku bersumpah tidak akan membiarkan satu tetes pun anggur masuk lambungku akhir pekan ini. Tidak peduli jika kami akan menemukan racikan anggur terbaik di Melnik. Aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri sekali lagi.

"Wait. Jadi waktu itu Dimasta lagi bareng sama lo? Eh, tunggu, deh. Sejak kapan kalian pakai aku-kamu? Wah, nggak nyangka udah sedeket itu ya kalian."

Sudah kubilang, kan? Fanya ini kepekaannya melebihi rata-rata. Dia selalu memperhatikan hal-hal kecil seperti ini.

"Gue udah marahin Nico karena batalin penerbangan ke Bulgaria akhir pekan ini, Fan. Harusnya, ini bisa jadi momen buat kalian bisa balikan," godaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Kenapa? Biar gue nggak melongo lihat kalian pacaran? Astaga, harusnya tadi aku ikut Eliza sama Eren aja di mobil Felipe." Fanya menutup wajahnya dengan syal.

Aku dan Dimasta tertawa. "Yakin?"

"Eh, enggak, ding. Gue lebih milih lihat adegan romantis kalian dari pada harus berdebat sama Mr. Krasimir sepanjang perjalanan."

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang