Fajar di timur khatulistiwa mulai meniggi pada hari berikutnya. Sinar sang surya yang mulai merekah menembusi jendela-jendela rumah yang dihuni oleh ketujuh kembar anak Amato. Termasuk jendela kamar dimana Gempa berada.
Sinar matahari yang terang itu menimpa wajah Gempa. Perlahan-lahan Gempa membuka kedua kelopak matanya, menyambut pagi yang menyakitkan.
"Sudah pagi ...," keluh Gempa seraya mencoba untuk memutar tubuhnya yang masih terbujur lurus di atas ranjangnya.
Punggungnya terasa kaku dan panas akibat berbaring pada satu titik saja di atas ranjang. Otot lengan dan persendian lengannya terasa pegal dan sangat kaku. Begitu pula otot-otot pada pinggul dan kedua kakinya.
Gempa mencoba mendongakkan kepalanya. Terlihat olehnya bahwa kedua tangannya masih dalam keadaan terikat pada rangka tepian kepala ranjang miliknya.
Sementara pada dua buah ranjang lain yang berada di kamar itu, Gempa bisa melihat kedua kakaknya, Halilintar dan Taufan masih terlelap di ranjang masing-masing.
"Halii ... Taufaan," lirih Gempa seraya memandangi kedua kakaknya yang mulai bergerak-gerak.
"Nggh ... apa Gem?" lenguh Halilintar sembari menggulingkan tubuhnya menghadap ke arah ranjang dimana Gempa terpasung.
"Lepaskan aku, Hali. Ampun pegalnya. Pundakku rasanya mau copot," lirih Gempa dengan netra cokelat madunya yang berkaca-kaca. Belum pernah Gempa merasakan berada dalam situasi yang begitu nistanya. Dia sering menghukum saudara-saudaranya, terutama Blaze kalau berbuat ulah namun Gempa sendiri baru kali ini merasakan hukuman ciptaannya sendiri itu.
Perlahan-lahan Halilintar bangun dari ranjangnya. Ditatapnya si adik yang memelas-melas lirih. "Baru semalaman Gem, masih seharian lagi," ucap Halilintar dengan nada dingin sebelum ia melangkah menuju kamar mandi.
"Hali! Ampun! Lepaskan aku!" Gempa yang putus asa hanya bisa merengek pilu.
Rengekkan Gempa pun membuat Taufan terjaga dari tidurnya. "Kenapa sih Gem? Hukum pasung itu 'kan idemu dulu," keluh Taufan yang kini duduk di tepi ranjangnya sembari memandangi Gempa yang sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Ampun Taufan. Kapan sih aku pernah menjahati kamu. Lepaskan aku." Gagal merebut simpati Halilintar, kini Gempa berusaha memohon kepada Taufan.
"Beberapa kali kamu memasung aku dan Blaze lho," balas Taufan seraya memandang ke arah kamar mandi yang sedang dipakai oleh Halilintar. "Hmpf ... aku kalah cepat dengan Hali." gerutu Taufan seraya mendorong tubuhnya berdiri.
"Ma-mau kemana kamu, Fan?" Gempa yang tidak bisa bergerak hanya mampu menatap sendu pada Taufan yang berjalan menuju pintu kamar.
"Pinjam kamar mandi Blaze, atau Solar," jawab Taufan sebelum ia menghilang dibalik daun pintu kamar tidurnya.
"Hueeee! Toloooong," jerit Gempa yang mulai berlinang air mata. "Halilintaaaar ... hiks ... Taufaaan ... ampuun."
.
Beberapa jam berlalu ....
.
"Nggghhh ... mmmhhh ...." Gempa melenguh lembut seraya mencoba menyeka air matanya pada lengannya. Seperti janji Halilintar jika ia berisik, kini mulut Gempa sudah terbekap lembaran lakban hitam yang melekat erat.
Gempa memejamkan kedua netra cokelat madunya. Putus sudah harapannya untuk dilepaskan. Tidak ada lagi sarana baginya untuk berbicara. Dia hanya bisa menanti pengampunan yang tak kunjung tiba. Yang bisa ia lakukkan sekarang hanyalah menunggu dibebaskan, namun entah kapan
Tak lama Gempa merasakan tali yang mengikat kedua tangannya mulai merenggang. Dia langsung membuka kelopak matanya untuk melihat apa yang tengah terjadi.
"Ngghh?!" Alangkah terkejutnya Gempa ketika ia menemukan sepasang netra cokelat madu tengah menatap iba kepadanya. Tidak perlu waktu lama sebelum kedua tangan Gempa terbebas.
Dengan kedua tangan yang sudah bebas, Gempa langsung merobek lilitan lakban yang membekap mulutnya. "Ayah?!"
"Ya, Gempa ... Halilintar, Blaze, dan Solar sudah memberi tahu ayah apa yang terjadi," ucap orang yang baru saja membebaskan Gempa dari hukuman pasung. "Makanya lain kali jangan korupsi," lanjut si ayah sembari melepaskan simpul yang mengikat kedua kaki Gempa.
Begitu terbebas, Gempa langsung memeluk ayahnya dengan berlinang air mata. "Terima kasih, Ayah ...."
"Masih mau korupsi lagi?" tanya Amato setelah Gempa melepaskan pelukannya.
Gempa menggelengkan kepalanya. "Ngga yah. Gempa kapok," lirih Gempa dengan kepala tertunduk.
"Bagus kalau begitu." Amato mengulurkan tangannya untuk membantu Gempa berdiri.
Tentu saja setelah terikat semalaman, Gempa masih merasakan sulit untuk menggerakkan lengannya. Perlahan-lahan ia menggapai tangan si ayah yang terulur.
Kali ini Amato membantu Gempa berdiri. "Ayo, turun ... semuanya menunggumu di bawah. Minta maaflah ke mereka, ceritakan dengan jujur apa yang terjadi."
"Iya ...," ucap Gempa sebelum melangkah terseok-seok menuju pintu kamarnya.
Amato mengikut di belakang Gempa. "Omong-omong, Gempa ... ide siapa hukuman seperti itu?"
Gempa meneguk ludahnya. "Ideku sendiri."
"Senjata makan tuan." Amato terkekeh ringan seraya menepuk-nepuk pundak puteranya. "Lain kali jangan terlalu lama memasung korbanmu, ya? Kamu ngga akan tahu kapan senjata itu berbalik padamu."
Sejak saat itu Gempa bersumpah tidak akan lagi memakai hukuman pasung secara sembarangan. Ia sendiri telah merasakan betapa tidak enaknya dan berharap tidak akan pernah mengalami lagi.
.
.
.
Tamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERDIKARI
FanfictionMusim hujan telah tiba, sayangnya ketujuh kakak beradik kembar BoBoiBoy ini lupa bersiap menghadapi musim hujan yang kali ini lebih lebat daripada biasanya. Rumah merekalah yang terkena dampaknya. Elementals Siblings, family, humor. brotherhood. Ft...