01

160 7 2
                                    

Namaku Misya Rayatul Khubbi. Aku gadis yang memiliki paras manis, begitu kata orang-orang; pemilik wajah ceria dan senyum yang memikat. Namun sayang, semua yang ada dalam ekspektasi sangat berbeda dengan yang ada dalam dunia nyata. Aku percaya itu. Memang benar sekali aku sedang mengalami kenyataan yang jauh dengan sebuah realita yang aku impikan. Semua berawal saat usiaku menginjak 16 tahun kurasa di usia itu kurang lebih aku telah memahami tentang apapun itu pada masa itu aku duduk dibangku kelas 3 SMA. Ya, sejak kecil aku memang di tuntut untuk berfikir dewasa tidak seperti anak-anak lain yang bersenang-senang dimasa kecilnya dengan menghabiskan waktunya untuk bermain. Tidak seperti aku yang setiap hari harus menyaksikan sebuah konflik yang terjadi antara Ayah dan Bunda. Pertengakaran itu aku menyaksikannya ketika aku memasuki kelas 4 SD. Suara bentakan yang bunda lontarkan pada ayah kala itu teringat jelas dalam memoriku. Sedih?. Iya tentu. Marah?. Kecewa?. Ya aku sangat kecewa dengan diriku sendiri; seolah kala itu aku tak mengenali sosok diriku. Oh, Tuhan. Aku hampir menyerah dengan keadaan. Aku masih kecil. Sempat terlintas juga dalam benakku saat itu, mungkin aku tidak pantas menciptakan sebuah mimpi indah yang selama ini telah aku bangun, telah aku susun dengan rapi, kujaga setiap saat, dan kini semua harus berakhir kala aku menyaksikan kejadian memilukan itu. Sakit. Kala itu setiap aku menyaksikannya lagi aku selalu berlari ke kamar mandi. Untuk apa? Tentu untuk menangis. Ketika malam hadir pun bulir air bening ini terkadang menetes dengan sendirinya. Menyerah? Ah, tentu saja tidak. Aku tak ingin menyerah hanya karena aku adalah salah satu korban broken home. Selama ini memang tak banyak yang paham tentang kehidupan pribadiku; satu orang yang sangat mengerti tentang kisah pribadiku adalah Arsya. Temanku sedari kecil. Dia adalah sosok yang peduli, dia adalah tempatku mencurahkan semua keluh kesahku selama ini. Tak pernah ada rasa bosan ia mengulurkan tangan tatkala aku dalam keterpurukan ia membuatku merasa aman dan begitu nyaman. Meski terkadang aku harus tak enak hati karena selalu melibatkan dia dalam setiap masalahku. Hari ini, aku mengingat kejadian 2 tahun yang lalu. Dimana pada saat itu aku benar-benar terpuruk, aku hancur seketika. Aku merasa hidup ini tak adil. Namun, segera aku usir pikiran semacam itu. Dering gawaiku menjeritkan ringtone yang membuatku terkejut. Aku melirik gawaiku. "Ah, dari arsya" batinku. Sebenarnya aku sedang malas sekali untuk menerima panggilan itu. Tapi, walau bagaimanapun selama ini dia selalu ada untukku.

"Iya ar. Ada apa nih malem-malem telvon?" ucapku setelah arsya memberi salam.

"Ternyata kamu belum tidur ya?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Iya nih. Aku belum ngantuk soalnya"
"Ray sebelumnya maaf kalau mengganggu kamu malam-malam begini" ucapnya kemudian.

"Oh nggak masalah ar. Tapi ada apa kog sepertinya serius begitu?"tanyaku penasaran.

Jujur aku sangat takut jika Arsya akan menanyakan hal itu. Aku harus menjawab apa jika dia benar-benar meluncurkan pertanyaan itu di seberang sana. Aku mengatur nafasku. Menutup mata dan berdo'a semoga yang ku khawatirkan saat ini tidak terjadi.

"Ray" ucapnya lembut. Seakan aku tau arsya akan menanyakan apa.

"Iya ar" kataku hati-hati.

"Liburan ini kamu kenapa nggak pulang kerumah?"

Jantungku seolah berhenti berdetak kala itu. Arsya benar menanyakan hal itu. Oh, Tuhan. Harus aku jawab apa pertanyaan ini. Pertanyaan yang sengaja aku hindari. Tetapi, ah sial. Batinku. Aku menarik nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Arsya dengan sempurna.

"Emm. Itu ya ar. Aku lagi nggak pengen pulang aja sih ar. Emang nggak boleh ya? Kamu juga kan nggak pulang" jawabku sangat hati-hati.

"Begitu ya" sergahnya tak percaya.
"Kalau begitu apa kamu sudah mendengar kabar tentang keadaan di rumah?".

Duarrr seakan gemuruh itu menghantamku di detik itu juga.

"Arsya kenapa harus ngomongin ini sih". Batinku kesal.

Rasanya ketika Arsya melontarkan kalimat yang barusan diucapkan aku ingin sekali memakinya. Ingin sekali aku memaki arsya detik itu juga. Namun, aku hanya bisa memaki dalam hati sambil merutuki diri. Tanpa terasa air bening ini menetes perlahan menimbulkan kesan hangat di pipiku. Aku mengirup udara dan menghempaskannya dengan berat. Diiringi dengan perasaan yang sedikit kacau aku menjawab pertanyaan Arsya tadi.

"Iya sudah" . Jawabku sedikit ketus.

Hati Terluka yang Tak Bisa MembenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang