05

47 5 0
                                    

Setelah sholat asyar aku berada didalam asrama. Sendiri. Berteman sepi. Sunyi. Hanya terdengar hembusan nafasku kala itu. Saat aku akan melepaskan mukena yang ku kenakan gawaiku tiba-tiba terdengar menjeritkan bunyi pertanda ada panggilan masuk. Aku langsung menyambar gawaiku. Mataku terbelalak dengan sempurna ketika melihat nama yang tertera dilayar gawaiku. Ayah. Ucapku lirih. Tanpa membuang waktu aku segera menggeser layar gawaiku dan menerima panggilan itu.

"Ayah" ucapku menahan tangis.

"Nduk, sekarang sudah di pondok?" tanya ayah.

"Iya yah sudah. Tadi silvi yang nganterin aku"ucapku.
"Kenapa baru sekarang ayah telfon nya?" tanyaku.

"Iya nduk. Maaf ayah baru sempat. Kamu baik-baik ya disana. Kamu pasti sudah mendengar kabar dari ayah dan bunda yang tidak bisa bersama lagi" ucap ayah.

Tangisku pecah seketika itu. Aku membungkam mulutku agar suara tangis ku tidak di dengar oleh ayah. Aku rasa ayah pun menahan tangis di seberang sana.

"Sudah. Pokonya kamu nggak usah mikirin urusan ayah sama bunda. Kamu belajar yang serius disana. Dengerin kata abah sama ibu. Yang nurut ya nduk. Sekarang ayah berada di Jambi. Ayah sudah di usir dari rumah sama bunda" lanjut ayah dengan suaranya yang mulai terdengar sangat parau.

"Ayah..."ucapku lirih.

"Nggak usah mikir macem-macem. Ya sudah ya nduk. Hati-hati disana. Kesehatannya dijaga. Kalau ada waktu ayah akan mengunjungi kesana"ucap ayah mengakhiri panggilan.

Klik. Panggilan terputus.

Aku bersimpuh lemah dilantai asrama. Tangis ku semakin menjadi. Aku menutup pintu asrama dan menangis sejadi-jadinya meluapkan semua amarah melalui air mata itu. Kenapa harus aku? Ucapku lirih di sela tangsiku yang memecahkan keheningan asrama.

3 years ago.

"Yah. Ayah sakit" ucapku menghampiri ayah.

"Cuma nggak enak badan nduk. Nanti juga sembuh" ucap ayah menenangkanku.

"Nduk..."teriak bunda dari dapur.

Aku berlari menuju dapur menghampiri bunda.

"Nanti malam ada yang mau kesini nemuin kamu. Kamu harus temuin nanti malam" ucap bunda tegas.

"Tapi bun.. " ucapku lirih.

"Nggak ada tapi-tapian. Nurut kalau bunda bilang" bentak bunda dengan suara tinggi.

Jantungku berdetak kencang kala itu. Aku berlari menghampiriku ayah.

"Ayah.." ucapku.
"Sudah, nanti biar ayah saja yang menemui. Kamu di dalam kamar saja jangan keluar ya" ucap ayah menenangkan ku.

20:30

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan wib. Dari luar terdengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan rumahku. Aku ingin keluar melihat. Tapi, aku teringat pesan ayah tadi supaya aku tidak keluar kamar dan ayah yang akan menemui orang itu. Aku masih diam di dalam kamar. Aku mendengar orang itu mengucap salam dan ayah membukakan pintu. Ayah mempersilahkan tamu itu masuk. Bunda mengetuk pintu kamarku. Perlahan aku membukanya.

"Keluar sekarang" ucap bunda menatapku tajam.

Aku menggelengkan kepala.

"Cepet keluar" hardik bunda menarik pergelangan tanganku.

"Tamunya sudah pulang" ucap ayah tiba-tiba yang telah berada di hadapanku dan bunda.

Bunda melepaskan tanganku dan melihat ruang tamu yang kosong.
Ayah langsung menyuruhku kembali ke kamar dan mengunci pintu. Aku menurut. Ku dengar bunda kembali dan memarahi ayah. Samar-samar aku mendengarkan itu.

"Kenapa sih kamu ikut campur?" ucap bunda kepada ayah dengan nada tinggi.

"Apa pantas kamu berbuat seperti itu pada raya. Raya berhak memilih" ucap ayah lembut.

"Kamu disini nggak punya apa-apa. Kamu disini tuh hanya sekedar numpang hidup sama aku. Jadi, jangan ikut campur tentang apapun yang mau aku lakuin ke raya. Ngerti" ucap bunda dengan kasar.

Aku yang mendengarkan itu hanya bergidik ngeri dan menjatuhkan buliran air bening.

"Ya. Aku memang tidak punya apa-apa. Semua ini kamu yang punya. Tapi, aku juga nggak bisa kalau kamu memperlakukan raya seperti itu" ucap ayah yang masih dengan nada suara rendah.

"Berisik kamu ya. Kamu urusin aja diri kamu yang udah bau tanah itu".

Aku menangis. Memeluk kedua lututku dengan erat. Aku tau kalimat itu pasti menyakitkan. Dadaku saja terasa sesak mendengarkannya. Tapi kenapa ayah tidak membalas setiap kalimat itu? Saat suara bunda tidak terdengar perlahan aku membuka pintu kamarku. Ayah didepan kamarku rupanya. Aku langsung memeluk ayah dengan erat. Aku menangis. Merasa sangat bersalah pada ayah.

"Ayah. Maafin raya" ucapku disela isakan tangisku.

"Raya nggak salah kog" ucap ayah.

"Raya salah yah. Andai saja raya menuruti kata bunda pasti bunda nggak marahin ayah. Maafin raya yah" ucapku masih dengan suara parau dan air mata yang terus tumpah membasahi pipiku.

"Bunda hanya sedang emosi saja. Kamu jangan khawatir ya" ucap ayah tenang.

"Bunda tadi memaki-maki ayah" ucapku lirih hampir tak terdengar.

"Sudah. Kamu kembali ke kamar ya. Istirahat yang cukup. Jangan nangis lagi. Anak ayah nggak boleh cengeng gitu dong" ucap ayah dengan senyum tipis.

Ayah berlalu dari hadapanku. Aku segera kembali ke kamar dan berbaring di tempat tidurku. Aku menarik selimut dan menutup wajahku dengan selimut. Aku tau kalimat itu sangat menyakitkan. Terbuat dari apakah hatimu yah? Perlahan aku mengusap air mataku dan terlelap dalam tidur.

Hati Terluka yang Tak Bisa MembenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang