04

47 4 0
                                    

Jam dinding terus berputar. Itu menunjukkan bahwa hari akan segera sore dalam hitungan jam. Silvi menghampiriku yang tengah berada di dalam kamar. Andai saja ayah dan bunda masih bisa untuk bersama lagi, aku pasti tidak seterpukul ini.

"Ray. Udah beres semua?" tanya silvi yang membuyarkan lamunan ku dalam beberapa detik.

"Eh. Sil iyaa ini udah siap kog" jawabku refleks karena terkejut.

"Ya udah aku tunggu di luar ya ray. Ayah sama ibu aku juga di luar" ucapnya kemudian sembari berlalu dari hadapanku.

Saat aku hendak berdiri tiba-tiba saja gawaiku bergetar. Aku mengambil gawaiku yang terletak di ranjang. Aku menggeser layar gawaiku dan menjawab panggilan itu.

"Pulang hari ini?" ucap seseorang diseberang sana tanpa basa basi.

"Iya" jawabku singkat.

"Kalau gitu hati-hati. Maaf nggak bisa jemput kamu. Aku tunggu disini saja" ucapnya.

Klik. Dia mematikan sambungan secara sepihak. Ah, selalu saja begitu dia. Aku segera keluar dari kamar. Mengingat silvi serta ayah dan ibunya tengah menungguku. Sebelum keluar aku melihat sekeliling kamar. Tempat ini memberiku ketenangan sementara. Ucapku lirih. Aku melangkahkan kaki dengan pelan. Ternyata mereka berada disana. Kelihatannya senang sekali menjadi silvi masih mempunyai keluarga yang utuh. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembusknnya ke udara. Segera aku menghampiri silvi beserta ayah dan ibunya.

"Bu, pak, raya pamit pulang ke pesantren duluan. Maaf nggak bisa bareng sama silvi karena saya masih harus ada urusan. Saya minta maaf juga telah merepotkan keluarga bapak dan ibu atas kehadiran saya" ucapku hati-hati.

"Iya nduk nggak papa. Kami tidak merasa di repot kan kog, justru kami merasa senang karena silvi jadi punya teman". Tutur ibu silvi.

"Lain kali kesini lagi ya nduk. Jangan kapok main kesini". Lanjut ayah silvi.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Ya udah ibu, ayah. Aku pamit nganterin raya dulu ya. Nanti keburu sore aku nggak berani pulangnya" ucap silvi kemudian.

Aku dan silvi segera melangkah keluar setelah berpamitan. Silvi melajukan sepeda motornya meninggalkan halaman rumah. Aku menghirup udara yang sudah tidak terasa sejuk lagi. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam begitupun silvi. Ia hanya fokus melajukan sepeda motornya yang semakin lama kurasa semakin cepat. Kini telah berbelok, dan dalam hitungan detik memasuki wilayah santri putri. Tetapi, untuk itu harus melewati wilayah santri putra. Karena harus ke ndalem dulu untuk sowan. Silvi menghentikan laju sepeda motornya tepat di depan ndalem. Terlihat Abah tengah berada di ruang tamu. Begitu melihat kami abah langsung keluar.

"Loh, nduk kog sudah kembali?" tanya abah pada kami.

"Iya bah. Saya hanya mengantar raya saja bah" jawab silvi tanpa mendongakkan kepalanya.

"Ya sudah. Ayo masuk dulu" abah mempersilahkan kami.

"Iya abah" ucap kami serentak.

Aku dan silvi memasuki ndalem. Sepertinya abah sedang memanggil ibu di belakang. Aku gugup. Walau bagaimanapun aku lumayan dekat dengan keluarga ndalem. Abah kembali bersama ibu menghampiri kami yang berada di ruang tamu.

"Ya Allah nduk" ucap ibu sembari memelukku.

Aku mencium tangan ibu dengan takdzim. Begitupun silvi.

"Ngobrol dulu sama ibu. Abah mau keluar sebentar ada urusan" tutur abah yang kemudian meninggalkan kami.

"Silvi, kamu buat minum di dapur ya" tutur ibu pada silvi.

"Iya bu" ucap silvi.

Kini di ruang tamu itu hanya ada aku dan ibu. Sungguh, aku sangat merasa canggung sebenarnya. Tapi bagaimana lagi. Ingin sekali rasanya aku menangis dan mengatakan semuanya pada ibu. Tapi, aku malu. Walau bagaimanapun statusku disini masih nyantri.

"Kalau sedih dan ingin menangis nggak papa nduk" ucap ibu kemudian yang seketika membuatku terkejut.

Aku masih terdiam. Aku masih tidak berani mengangkat wajahku hanya untuk sekedar menatap wajah teduh ibu. Aku menahan air mata yang sudah berada di pelupuk mataku dan siap untuk terjun bebas. Aku memejamkan mata. Seketika itu ibu langsung memelukku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Seketika itu pula tangisku langsung pecah dalam pelukan ibu.

"Ibu. Ayah dan bunda" ucapku di sela-sela tangisku.

Suaraku terdengar sangat parau. Ibu tidak menjawabku. Ibu terus mengusap kepalaku dengan lembut. Allah. Jangan biarkan ini berakhir. Batinku, mempererat pelukan ibu.
Ibu mengusap bulir-bulir air bening yang telah membasahi pipiku. Silvi yang baru keluar dari dapur dengan membawa gelas berisi teh langsung duduk tak berani berkata apapun.

"Disini masih ada ibu, abah dan teman-teman nduk. Kita semua sayang sama kamu nduk. Sekarang anggap saja abah dan ibu ini adalah abah dan ibu kamu sendiri ya". Tutur ibu kemudian.

"Semua ini sudah takdir dari Allah nduk. Kamu harus ikhlas dalam menjalani ini. Bagimu ini memang berat tapi Allah yakin kamu bisa menghadapi ini nduk. Sabar, ikhlas dan terima kenyataan dengan lapang dada. Jangan terus-terusan bersedih ya nduk. Masih banyak nikmat yang perlu kamu syukuri. Jangan sering mengeluh" lanjut ibu.

Aku mengangguk pelan mendengarkan setiap tutur kata yang ibu ucapkan. Silvi juga mendengarkan dengan sangat takdzim. Karena hari menjelang sore silvi pamit pada ibu untuk pulang. Sedangkan aku, aku pamit untuk ke asrama membersihkan diri dan bersiap untuk sholat.

Hati Terluka yang Tak Bisa MembenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang