03

65 6 2
                                    

Selamat pagi.
Tadi aku terbangun kira-kira saat adzan subuh sedang berkumandang. Pagi ini udara terasa begitu sejuk. Melihat bunga-bunga yang ada di halaman seakan menyapaku di pagi ini. Sekejap aku bisa melupakan masalah tadi malam.

Ya. Sekarang tiba-tiba aku ingin kembali ke pesantren. Tetapi, silvi pasti belum ingin kembali. "Ah, bagaimana ini". Gumamku.

Aku memutar bola mataku. Mencoba berfikir mencari sebuah alasan agar silvi berkenan mengantarkanku kembali ke penjara suci. Ada senyum mengembang di bibirku setelah berfikir sepersekian menit. Lama banget ya sepersekian menit. Hahaha.

Aku beranjak masuk ke dalam untuk menemui silvi dan ibunya. Setelah aku cari-cari di sekitar ruangan bahkan di setiap sudut ruangan pun tak luput dari indra penglihatanku tetap saja dua sosok ini tak dapat aku temukan. Oh, Tuhan. Apakah mereka menghilang?. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke halaman. Begitu aku tiba di depan pintu silvi dengan wajah tanpa dosanya mengejutkanku.

"Astaghfirullahal'adzim. Silviii...." pekikku sedikit geram karena ulahnya.

"Hahaha. Maaf deh, maaf. Lagian dari tadi aku perhatiin kayaknya kamu lagi kebingungan gitu. Mondar mandir nggak karuan" seru silvi dengan tawa yang meledek.

Aku membuang nafas kasar. Akhirnya aku berusaha tersenyum. Meskipun hanya tersenyum tipis; bahkan kurasa sangat tipis. Hahaha. Tapi, tentu tidak menghilangkan aura manisku. Pede sedikit nggak masalah kan?. Aku menatap silvi dengan memutar dua bola mataku sebelum akhirnya kita saling beradu pandang.

"Sil" ujarku dengan senyum yang kubuat agar terlihat manis.

"Kenapa?. Senyumnya biasa aja, jangan sok manis deh. Dari gerak-gerik kamu sepertinya lagi ada maunya deh. Ada apa, ada apa?. Bilang aja" ucapnya seraya tertawa. Tawa yang mengejek. Huffft.

"Gini sil. Nanti aku mau minta tolong anterin pulang ke penjara suci yaa. Please. Aku ada urusan nih dan harus segera aku selesaikan" ucapku dengan nada memohon pun dengan mengedip-ngedipkan mata.

"Oh itu, gimana ya ray. Aku sih mau-mau ajaa kalau suruh nganterin sekalian jalan-jalan lah. Tapi, masalahnya apa ayah sama ibu aku ngizinin kalau kamu pulang duluan ke pesantren?". Jawabnya bingung.

Aku yang sedari tadi berdiri kini ikut duduk bersama silvi. "Kenapa nggak kepikiran itu ya tadi?" batinku. Walau bagaimana pun kedua orang tua silvi telah berbaik hati padaku. Tentunya akan berat pula bagi mereka untuk melepaskan aku kembali ke penjara suci tanpa silvi. Aku kembali memohon pada silvi agar bersedia membantuku membujuk kedua orang tuanya agar aku di perbolehkan kembali hari ini. Aku merepalkan tangan di depan dada. Meminta dengan ekspresi wajah yang sangat memelas.

"Sil. Ayolah bantu aku untuk bujuk ayah sama ibu kamu supaya aku di bolehin balik hari ini"pintaku tersenyum mengedipkan kedua mataku.

Silvi menarik nafas berat. Ia menggaruk kepala yang kurasa tidak gatal sama sekali. Aku pun tahu sebenarnya silvi masih ingin aku berada di sini agar aku merasa nyaman. Tapi, aku sungguh ingin menenangkan diri. Sebelum liburan usai di penjara suci kan masih sepi jadi untuk beberapa hari aku bisa menetralkan fikiranku yang sempat kacau balau.

"Ok deh. Aku bantu bilang nanti. Tapi, kamu harus janji jaga kesehatan ya. Apalagi kan di sana belum ada siapa-siapa kecuali abah ibu ning mila dan para garangan" ucapnya di iringi tawa di bagian akhir kalimatnya.

"Makasih ya silvi. Kamu emang baik banget deh"

Drrttt ... Drrrt ...

Kurasa gawaiku bergetar. Aku sengaja membuat gawaiku bergetar agar ketika ada panggilan masuk tidak terlalu berisik di dengar oleh telinga. Aku mengambil gawaiku dalam saku. Menggeser layar gawai. Melihat nama yang tertera disana. "Arsya". Mataku terbelalak dengan sempurna. Melihat nama yang tertera dalam panggilan masuk itu. Ada apa lagi? Kenapa sepagi ini dia menghubungiku. Apa tidak bosan? Dengan sangat malas aku menggeser tombol hijau di layar gawaiku.

"Iya di sini dengan Misya Rayatul Khubbi. Ada yang bisa saya bantu" celotehku sebelum arsya berkata apa-apa.

Kurasa arsya terkejut mendengar celotehanku pagi-pagi ini. Benar saja. Seketika ia langsung tertawa. Mungkin jika sekarang aku sedang berada dihadapannya akan kubuat ia berhenti tertawa detik itu juga.

"Iya. Pagi mbak, saya arsya. Saya ingin menanyakan perihal putri kecil saya semalam, kira-kira bagaimana ya keadaannya?" ucapnya tak kalah dari bualanku tadi.

Jujur aku menahan tawa saat ia mengucapkan kalimat seperti itu. Sangat tidak pantas. Gumamku.

"Maaf mas. Sepertinya anda salah sambung. Disini tidak ada yang bernama putri kecil". Ucapku menahan tawa.

"Ehm.. Cukup-cukup. Jadi gimana? Udah baikan? Sedihnya jangan lama-lama ya." sergahnya mengakhiri percakapan tak penting di pagi itu.

"Enggak kog. Coba tanya aja ke silvi. Aku nggak sedih. Sejak kapan coba seorang raya bisa sedih?". Ucapku mencoba tenang.

"Kamu boleh kog bohongin aku. Tapi jangan bohongi diri kamu sendiri ya ray. Kasihan tuh hati kamu selalu kamu bohongin. Jangan terus pura-pura kuat. Semua orang pasti akan berada pada titik lemah jika ia sudah tidak sanggup menopang sebuah beban yang ia terima" ungkapnya tulus. Kalimat itu benar-benar terdengar sangat istimewa ditelingaku.

"Iyaa arsya yang bawel dan super nyebelin. Eh, ar ntar sore kayaknya aku balik ke pesantren deh".

"Haah. Udah balik? Masih sepi loh". Ingatnya.

"Siapa bilang udah rame ar. Aku pengen aja balik lebih cepet. Biar aku mempersiapkan diri juga" ucapku menjelaskan.

"Ya udah hati-hati kalau gitu. Kamu nanti sendirian jadi kamu harus bisa jaga kesehatan kamu sendiri ya"imbuhnya di akhir pembicaraan.

Terimakasih Arsya Zain Athafariz. Temanku sedari kecil. Setiap kalimat yang terucap dari bibirnya sungguh bermakna. Kehadirannya tentu saja telah ada yang menanti. Aku beruntung bisa menjadi bagaian dari hidupnya meski hanya seorang sahabat. Itu lebih dari cukup menurutku. Klik. Ia mengakhiri panggilan itu. Aku melihat ke ruangan keluarga silvi. Disana silvi tengah berbincang-bincang dengan ibu dan ayahnya. Kurasa ia membantuku untuk membujuk sang ibu dan ayah agar memberi restu padaku menuju penjara suci dengan selamat.

Sampai di sini dulu ya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Bantu vote dan beri krisan ya. Krisan dari kalian sangat membantu untuk menyempurnakan setiap kalimat dari cerita receh ini.😇😉

Hati Terluka yang Tak Bisa MembenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang