02

107 7 0
                                    

Ku harap Arsya tidak bersikeras menanyakannya lagi. Aku ingin tenang sebentar saja. Apa tidak boleh?. Sungguh memilukan sekali.
Arsya bergeming di seberang sana.

"Kamu yang sabar ya ray. Aku turut prihatin atas apa yang telah terjadi. Oh, apakah kamu tidak pulang karena masalah ini? Katakanlah ray?". Tuturnya setelah diam beberapa detik.

Aku mendengus kesal kali ini. Tidak sesuai harapanku ternyata Arsya masih saja ingin membicarakan masalah ini. Untuk apa Arsya? Rutukku dalam hati.

" Ar, sudahlah. Aku nggak pengen bahas masalah itu. Tolong ngertiin ya ar". Pintaku memohon.

Suaraku terdengar parau, aku berkali-kali menarik nafas berat. Aku mencoba menghirup udara malam ditengah ribuan bintang yang menemaniku. Jika ada yang bertanya apa aku sedih? Tentu saja. Tapi untuk apa sedih berlarut-larut, aku tak ingin menyiksa diri dalam kesedihan. Aku suka menangis. Kenapa? Karena menangis adalah jalan terakhirku saat aku telah tak mampu berucap atas apa yang aku rasakan.

"Oke. Maafkan aku ray. Are you oke?". Tanyanya cemas.

"Oke ar. I'm fine."ucapku masih dengan suara yang terdengar parau.

"I'm sorry ray. Sungguh ray aku tidak bermaksud membuatmu bersedih dan kembali menghadirkan buliran air bening itu". Jelasnya khawatir.

"Ray. Kamu adalah sosok gadis berparas manis dengan mata peri yang begitu kuat. Buktinya selama berapa tahun kamu menyiksa batinmu sendiri? Berapa lama ray?" lanjutnya dengan tegas.

Aku masih diam diseberang sana mendengarkan setiap penuturan Arsya dengan seksama. Aku adalah salah satu dari ribuan manusia yang menjadi seorang pendengar yang baik. Aku mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang meluncur bebas dari mulut Arsya.

"Raya. Jujur saja, jika aku berada di posisimu aku tidak sanggup ray meskipun aku seorang lelaki. Tapi, kamu ray. Kamu begitu sabar dan tangguh seperti ayahmu dalam menghadapi setiap masalah. Aku salut ray. Aku juga tidak yakin jika ada orang yang sanggup jika bertukar posisi denganmu sehari saja. Kamu adalah putri kecil yang istimewa raya. Di usiamu yang sekarang menginjak 16 tahun berapa banyak beban yang kamu pikul ray?". Ungkapnya terdengar berat. Ku rasa ia pun sedang menumpahkan air bening dari pelupuk matanya.

Aku masih terdiam menunggu Arsya berbicara lagi. Namun, dia tetap terdiam untuk beberapa saat.

"Sudah ar?". Tanyaku memecah keheningan.

"Sekarang kamu istirahat ya. Kamu perlu energi untuk menghadapi hari-hari esok. Simpan air matamu, aku tidak ingin melihat kamu menjatuhkan air mata lagi ketika sedang bersamaku entah melalui via suara maupun bercengkarama dalam dunia nyata. Hubungi aku jika kamu butuh teman. Selamat malam putri kecil". Ucapnya dengan langsung mematikan sambungan.

Aku meletakkan gawaiku di saku. Aku duduk termenung di depan teras rumah silvi, hingga aku tak menyadari jika silvi ada di sampingku sedari tadi. Aku mengusap sisa air bening yang ada di pelupuk mataku.

"Raya. Sekarang istirahat dulu ya. Denger ucapan Arsya. Masih banyak yang peduli dan sayang sama kamu ray. Termasuk aku dan juga Arsya. Kamu masuk duluan gih, kamu butuh istirahat fikiranmu juga perlu di istirahatkan". Bujuk silvi menenangkanku.

Aku menoleh. Menatap sosok wanita baik yang berada disampingku. Aku langsung menghambur dalam pelukan silvi sekejap lalu masuk ke dalam kamar untuk mengistirahatkan badan dan fikiran tentunya. Kira-kira seperti itu kata silvi dan arsya tadi.

Sedangakan kala itu di tempat lain...
"Ar, gue kasihan deh sama si raya. Lo tau sendiri kan pastinya berita yang lagi jadi trending topic di desa kita. Cewek sebaik dan seanggun dia ternyata masalahnya berat ya ar". Ungkap febby pada arsya yang sedang berada di rumahnya.

Arsya terdiam. Sepertinya ia berfikir keras akan hal baru saja di alami oleh sang putri kecilnya. Arsya begitu iba dengan keadaan raya. Arsya menaruh harap untuk bisa menjaga raya seorang gadis yang telah meluluhkan sikap dinginnya.

"Feb. Aku harus bilang apa sama raya tentang keadaan di rumahnya yang sedang kacau? Kamu juga tau sendiri kan feb kalau aku tuh nggak bisa lihat raya nangis. Kalau dia nangis berarti dia udah dalam keadaan yang rapuh banget." ucap arsya tanpa memandang febby seolah ia berbicara dengan seseorang di depannya.

"Lo bilang apa adanya aja deh ar. Gue tau pasti raya liburan ini nggak pulang karena dia udah punya feeling kalau bakal terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan di rumahnya. Dan lo sendiri tau kan ar kalau raya juga tuh feelingnya kuat. Udah lo tenangin deh si raya, gue juga nih sebagai temennya nggak tega ngelihat raya sedih terus. Lo harus bisa buat dia bangkit ya ar". Jelas febby dengan gaya bahasanya yang menggunakan lo gue dan bergegas meninggalkan arsya di depan teras rumahnya.

Arsya terus memandangi halaman depan rumah febby. Arsya dan febby masih saudara jadi tidak ada masalah jika mereka sering bersama. Menurut arsya sosok raya yang selalu mengganggu fikirannya itu sangat berbeda dengan gadis lain di usianya yang masih terbilang belia. Arsya dan raya menjadi teman sejak kecil, ayahnya dan juga ayah raya pun terlihat berteman sangat baik. Sebenarnya raya seorang anak yang cukup terpandang di desa ini karena ayahnya merupakan seorang ustad. Tapi, semua memang tidak ada yang menyangka jika akhir dari kisah keluarganya akan seperti ini. Bunda raya memang terbilang orang yang berwatak keras; apapun yang diinginkan harus terpenuhi, terkadang tak jarang bundanya itu mengucapkan kata-kata yang begitu mencekat dihati. Jika dilihat tentu saja raya sangat mirip dengan sang ayah. Raya pun sebenarnya cukup pintar karena ia pernah menduduki juara 1 di kelas dan pernah mendapatkan juara tiga dalam mengikuti lomba mata pelajaran fisika tingkat kabupaten ketika ia menginjak kelas sepuluh.

"Hmm. Kisah yang rumit". Celetuk arsya tiba-tiba.

Malam itu aku langsung terlelap begitu saja. Berharap hari esok lebih ceria. Semua yang terjadi merupakan takdir aku harus menerima sebuah kenyataan itu meski sangat pahit seperti secangkir kopi. Ya, gula yang selalu disalahkan ketika kopi terasa begitu pahit, ketika kopi terlalu manis pun karena gula. Terkadang hidup juga harus dibuat selayaknya menikmati secangkir kopi. Kala itu aku tidak tahu harus berbuat apa. Hingga aku menyadari mungkin ini adalah rencana yang Allah berikan padaku agara aku semakin kuat.
Pada suatu titik, aku pernah berfikir untuk kembali pada sebuah titik yang dimana aku bisa merasakan kenyamanan dalam keluarga. Tetapi, waktu tidak terlalu bersahabat. Waktu terus berjalan maju; ia tidak mau kembali mundur walau hanya sedetik saja. Akan aku pastikan bahwa aku akan menjadikan waktu kedepan lebih baik lagi agar aku tidak terjatuh ke dalam lubang yang sama.

Hati Terluka yang Tak Bisa MembenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang