"Meski sobek sekalipun hatiku, aku masih memiliki jantung. Nafasku akan tetap bertahan jika jantungku tetap berdetak. Aku bertahan bukan karena pasrah pada keadaan tapi, karena ada sebuah rasa yaitu kasih sayang."
Mentari mulai terbenam, memberikan nama terkesan yang sering insan sebut adalah senja. Banyak yang mengatakan ia cantik namun sederhana, senja itu seperti rasa. Diperjuangkan malah meninggalkan. Terkadang pola manusia terlalu abstrak untuk digambarkan, lengkungannya pun masih terasa belum cukup untuk menjadi lingkaran.
Aku masih berjalan diatas rumput, sesekali mengecek karung yang ku letakkan diatas kuda-kudaku untuk makanan domba yang ku bawa pulang. Terkadang adikku terlalu lelah membantu ibu di kebun dan tidak mengembala.
Dirumahku terdapat ayah, ibu, Emma adikku dan Anna juga adikku kemudian ada nenek, dia ibu dari ayahku. Karakter mereka sangat berbeda, namun kemiripan terjadi pada Emma dan nenek. Kalimatnya terlalu pedas jika dilontarkan pada kami keluarga. Emma lah yang sudah berhasil ke kota, bermodal akan menjemput ayah namun ternyata ia membeli baju dengan menjual beberapa kantong buah.
"Sudah pulang nak?" Kini ayahku memakai sweater abu-abunya mengahalau udara yang dingin.
" Iya ayah, lebih baik ayah beristirahat. Aku bisa menali kuda-kuda ini." Jawabku dan ayah mengangguk.Beberapa hari ini kesehatan ayah menurun, terlebih dia memang habis dari perkotaan untuk menjual beberapa domba. Aku masuk melalui pintu belakang. Mencuci kaki lalu bergegas ke kamar mandi. Dinginnya air mulai membuat pikiranku goyah untuk menyentuh pintu kamar mandi, namun aku tak ingin nenek marah dan mengomeli ibuku.
"Kak, makan malam sudah siap." Ucap Anna, adik bungsuku yang berumur 16 tahun.
"Baiklah Anna, aku sedang mengeringkan rambutku." Jawabku cepat.Kami terbiasa makan malam, hidangan di meja adalah hasil kebun juga pertenakan. Makan malam kali ini dengan daging oseng bersama paprika dan campuran keju dan yang terpenting adalah roti.
"Apa mengembala kuda butuh waktu hingga senja terbenam belum sampai." Aku sudah terbiasa dengan nada nenek yang menyindir.
"Kali ini aku mengembala agak jauh nek dari jarak rumah, rumput mulai menipis dan disana aku dapatkan banyak rumput hijau. Aku juga membawa beberapa karung yang berisi rumput untuk domba." Jawabku dengan pelan agar tak menyinggung perasaannya.
"Pergilah bermain dan lupakan kudamu. Kau pasti tertidur disana."
"Sudahlah Bu." Ayahku mulai bersuara.
Aku pasti selalu salah Dimata nenek. Aku menarik nafasku lalu menghembuskannya dengan tetap memakan roti ku.
"Anak tidak tahu diuntung, bukannya menjawab kau malah melanjutkan makan rotimu." Aku memang salah. Sangat salah.
"Sudahlah nek, aku ingin makan dengan tenang." Ucap Anna dengan kesalnya.
"Habiskan makanan yang ada dimulutmu baru berbicara." Nenekku memang keras kepala.
"Sejak kau hadir, kau memang memberi kami masalah."
"Ibu." Kini ibuku bersuara agak keras.
"Lusy, kau membentukku." Ucap nenek. Aku tahu pasti akan ada keributan.
"Ibu sudah ayo." Kutarik jemari ibu yang terlihat kurus dan rapuh.Ibu terus menunduk, kepalan tangannya semakin memutih menahan emosi. Ini memang sudah sering terjadi di rumah. Nenek memang tertua dan sangat dihormati dikeluarga ini. Namun cara bicaranya sungguh menyakitkan hati.
Ku genggam jemari ibu, dan Kutakan dengan tulus.
"Terimakasih Bu."
Yang ibu jawab hanyalah air mata dan isakkan kecil yang lolos dari kerongkongannya.
"Maafkan aku." Ucap ibu terbata.
"Aku sangat memaafkannmu ibu."
"Kau adalah anugerah untukku, kau hadir disaat aku mengalami kerapuhan yang luar biasa."
"Aku akan tetap menjadi anugerah mu ibu."
"Selalu nak."Malam adalah saksi betapa air mata tenggelam bersama temaram dan kesunyian. Angin yang berhembus kencang membuat ruam kulit semakin terisak ingin dihangatkan. Burung-burung malam mulai terjaga mencari mangsa. Mata-mata merah menyala bagai bara yang mengkobarkan suatu rasa pada indera. Hingga ku bawa ibu masuk kedalam rumah. Karena dia anugerah ku.
Ice adalah anugerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice
RomanceSeorang gadis dengan paras yang indah seperti Kilauan permata dan bersinar bagai Dewi. hidup bersama keluarga kecilnya yang jauh dari perkotaan. ia ada namun sering dianggap tak ada, sembunyi di balik curamnya tebing membuatnya kokoh karena keadaan...