"Hal baru adalah pengenalan dimana awal menjadi suatu keindahan untuk masuk kedalam suatu tempat dengan permisi."
Hari ini begitu cerah dengan sinar mentari yang begitu hangat. Langit begitu mempesona dengan birunya sebuah pancaran cahayanya. Begitu indah gunung yang kokoh di ujung lukisan itu. Terpahat dengan apik tanpa ada kekurangan."Kak?" Anna datang dan duduk membawa tehnya.
"Iya Anna." Jawab Ice.
"Kak Emma bercerita kepadaku, hari ini ada anak dari perkotaan yang datang ke sini. Kemarin saat kakak mengembala dan senja baru pulang, mereka datang kepada Ayah untuk berunding. Ayah mengijinkan mereka datang kak." Jelas Anna dan Ice begitu kaget, bagaimana mungkin. Selama ini tidak pernah ada yang berkunjung ataupun mampir ke kediaman mereka.
"Bagaimana dengan nenek?" Tanya Ice heran.
"Kau tau dollar?" Tanya Anna balik.
"Tahu."
"Wanginya Dolla sampai Kepenciuman nenek."Ice kembali terdiam, ia sangat tahu penggambaran kalimat itu. Neneknya sangat mudah untuk berbaik hati menerima mereka, karena dollar. Mereka membayar. Sungguh hati Ice teriris. Mereka datang bukan karena kemauan, tapi karena ada kepentingan. Hanya ada satu tujuan.
"Aku pergi kak, apel di kebun harus segera dipanen." Ucap Anna dan Ice tersenyum sambil mengedipkan matanya.
"Aku sangat tahu arti isyarat itu." Anna tertawa.
"Aku akan menyimpan sebagian apel itu untukmu sebelum dibawa ke kota." Jawab Anna dan Ice bangkit memeluk adiknya.
"Hati- hati."Seperti hari-hari yang lalu ataupun saat ini, detik masih berjalan dengan sama. Gadis itu duduk sembari melihat kudanya makan dengan benar. Ada hal yang berbeda hari ini, Ice membawa buku diarynya.
Terlalu Hampa Bila Di Rasa.
Kekacauan Hanya Ada Pada Rindu.
Menyimpan Bukan Berarti Tak Ada.
Tersembunyi Bukan Maksud Mengingkari.
Terlalu Sakit Menahan Rasa Sendiri.
Terlebih pada sebuah mimpi.Sebagian bait ia tulis bersama sajak yang menemani gundahnya sebuah hati. Ice menikmati setiap tinta hitam yang menari diatas kertas putihnya. Sungguh, rasa itu hampir sangat terasa. Pendengaran Ice sangat tajam, ia mendengar dari arah rumahnya sangatlah ramai namun ia belum beranjak. Ice masih menunggu senja, menunggu dimana sebuah pertahanan akan kecantikan akan sirna. Ia mendamba senja, namun ia juga harus siap menunggu.
Sinar emas itu datang, semburat pesona malu datang menghampiri senja yang menghiasi sebagian awan bumi. Langit sontak menyambut dengan girang apa itu senja. Kenangan manis berputar di daerah mega-mega kilauan emasnya. Burung-burung membentangkan sayapnya pulang menuju peradaban begitupun dengan seorang gadis yang menarik kuda-kudanya. Sesekali ia mengobrol dengan kudanya, Azrof. Azrof adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya. Sangat bahagia, tentu melebihi.
Matanya menajam melihat beberapa kendaraan terparkir di daerah luas rumahnya. Rak sepatu mereka pun penuh, sepertinya mereka akan menginap. Mereka adalah seorang mahasiswa, tercetak jelas nama universitas yang menyertai mereka. Ice memutar langkahnya agar melewati pagar belakang. Ice tidak ingin bertemu mereka.
Ice sudah sampai dan memasukkan kuda-kuda itu di kandangnya. Ice juga mengeluarkan beberapa rumput yang ia ambil untuk dombanya. Senja hampir terbenam, namun ia belum juga masuk ke rumah. Apa sikap yang harus ia lakukan ketika bertemu mereka. Ah Ice merasa penat dan pusing. Yang harus ia lakukan adalah menjadi diri yang apa adanya.
"Ibu." Panggil Ice karena meja makan terlihat sepi.
"Iya nak," jawab ibunya dan muncul dari ruang tamu yang nampak ramai oleh suara dan musik.
"Kau mandi dan naik ke kamarmu ya, ibu akan membawa makanan untukmu." Ice mengangguk.
"Terimakasih Ibu."
"Sama-sama sayang."Meretas lelah di atas kasurnya, setelah membersihkan diri. Ice masuk ke kamar tanpa harus melihat mereka. Ibu telah menyiapkan kamar dibawah untuk mereka karena Ice dan Anna juga kamar ibu ada di atas. Ibunya cukup tahu Ice bukan gadis yang suka dengan keramaian. Seketika kaki gadis itu melangkah bangun karena jendela nya belum ia kunci. Ice memandang bintang dengan keindahannya menemani bulan. Sungguh indah dan teramat indah, Ice masih memandang dan sedikit tersenyum. Lalu
"Hai," seseorang dari arah bawah melambaikan tangannya ke arah Ice. Dengan cekatan Ice langsung menutup jendelanya agak keras.
"Ice?" Panggil ibu.
"Masuklah Bu."
"Ada apa dengan jendela kayunya, kau menutup dengan keras?" Tanya ibu dan meletakkan makanan sup diatas meja.
"Tidak Bu, aku hanya terlalu mengerahkan tenagaku." Jawab Ice dan ibu tertawa mendengarnya.
"Makan dan istirahatlah." Ucap ibu dan Ice mengangguk.
"Apa kau sudah membaca buku yang dibelikan Ayah di kota?" Tanya ibu dan Ice tersenyum.
"Sudah Bu, aku sangat suka dan merasa otakku semakin terisi dengan pelajaran."
"Jika Ice tidak mengerti, tanyalah pada Ibu."
"Baik Bu."Pagi, datang membawa hawa dingin kali ini. Menyesap dibalik sweather hangat dan seorang gadis tengah menikmatinya dibalik jendela kayunya. Ditemani tanaman kaktus yang diberi oleh Anna. Jika tidak ada tamu itu, maka Ice akan bersedia memandang pegunungan dari bawah bersama bunga merah yang bermekaran. Tapi kenapa Anna belum mengantarkan buah apel yang ia pesan.
Aku harus kebawah untuk mencuci piring ini. Ice turun dan membawa piring kotor dari kamarnya. Di dapur terlihat nampak sepi, memang ini masih sangat pagi. Ia pun mencuci dengan tanpa suara agar tidak membangunkan mereka yang tertidur.
"Kau tinggal disini?" Sebegitu kagetnya Ice sampai hampir menjatuhkan gelas kaca yang ia pegang.
"Maafkan aku, aku mengejutkanmu." Ucap seorang pemuda yang Ice dengar tanpa membalikkan tubuhnya.
"Iya, aku tinggal di sini." Jawab Ice.
"Namaku, Rafael Anstama. Kau bisa memanggilku Rafa." Ucapnya dan Ice berbalik hingga terpampang lah lelaki yang tidak terlalu tinggi tapi wajahnya menyejukkan hati. Iris matanya berwarna coklat terang. Begitupun Rafael yang begitu terenyuh menatap sangat dekat gadis yang semalam ia sapa di jendela. Ternyata dari dekat sangat begitu mempesona, ia seperti permata."Namamu?" Tanya Rafa.
"Ice Aisy, panggil saja Ice."
"I..C..E.." Rafa mengejanya dengan sesekali berfikir.
"Nama yang unik."
"Permisi."
"Tunggu Ice."
"Ada apa?"
"Bertemanlah denganku."
"Tidak perlu."
"Ice, satu kata saja."
"Teman."Ice tidak mengerti dan tidak tahu mengapa pemuda itu mau berteman dengannya. Gadis desa yang seolah tidak tertarik dengan apapun dan ia menawarkan sebuah penawaran yaitu pertemananan. Kisah apalagi yang dibawa takdir. Ice tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice
RomanceSeorang gadis dengan paras yang indah seperti Kilauan permata dan bersinar bagai Dewi. hidup bersama keluarga kecilnya yang jauh dari perkotaan. ia ada namun sering dianggap tak ada, sembunyi di balik curamnya tebing membuatnya kokoh karena keadaan...