bagian satu

368 46 14
                                    

felix tersentak dari tidurnya, melirik pada jam ia mendesah lelah. pukul setengah dua pagi, ia pastikan matanya tak akan bisa ia pejamkan lagi lantaran terlanjur terbuka seperti ini. dan ia yakin sekali kepalanya akan pening dan berdenyut, lagi. sudah terlampau biasa. bahkan menengguk butir aspirin pun tak akan membantunya kembali beradu dalam mimpinya.

jika sudah begini, lelaki bersurai ungu pucat itu hanya pasrah dan melanjutkan kegiatan terlalu paginya dengan membereskan rumah kemudian mandi barulah membuat sarapan. hampir setiap minggunya—walau tidak setiap hari—ia terbangun seperti pagi ini, kebanyakan diantara malam-malamnya disebabkan oleh mimpi buruk.

tapi tidak malam ini, ia mendengar dengan jelas ada suara yang familiar menyebut namanya penuh rindu. nyata sekali, persis di telinganya. jikapun dirinya berhalusinasi, ia harap ini bukan.

lelaki dengan taburan bintang yang melintangi hidung kecilnya ini mengusap wajahnya pelan, merasa lelah pada dirinya sendiri. "i miss you.." lirihnya pelan, penuh akan sarat rindu yang menyakitkan.

selimut yang menutup sebagian tubuhnya ia buka, bangkit dari ranjangnya dan merapikan tempatnya beristirahat semalam. dilanjut dengan membersihkan dirinya, masa bodoh dengan jam yang masih terlalu pagi untuk meneruskan aktivitas yang lazimnya dilakukan orang saat matahari telah memunculkan cahayanya.

felix sama sekali tak terganggu saat air dingin itu mengucur membasahi tubuhnya yang tidak terlalu berisi, matanya terpejam kala bulir itu melintasi wajah manisnya. disaat inilah felix ikut mengeluarkan tangisannya, karena tak seorangpun bahkan dirinya sendiri bisa melihat betapa menyedihkan keadaannya.

***

sekarang jarum jam menunjuk pukul enam lewat lima belas menit. perlahan felix menutupi lingkar hitamnya dengan concealer yang direkomendasikan jisung padanya beberapa bulan lalu. yah, tidak terlalu buruk. setidaknya ia bisa melihat wajah bersihnya ketika siang hari, tidak melulu menampakkan wajah menyedihkan karena pola tidurnya yang kurang bagus.

selesai dengan wajahnya, kaki jenjang itu lantas melangkah keluar dari apartemennya menuju kantor tempatnya bekerja. nampaknya kali ini ia rela berjalan kaki, masih ada sekitar dua puluh menit lagi sebelum ia dapat dikatakan terlambat. tak masalah, berjalan kaki di pagi hari bukan suatu hal yang buruk.

"felix! tunggu aku!" yang disebut namanya mencari sumber suara, mendapati jisung di sebrang sana—lebih tepatnya di halte, meneriakinya sambil mencoba menyebrang jalan.

"hehe, selamat pagi!" serunya saat ia berhasil menyebrang jalan dengan selamat.

"pagi, ji. semangat sekali, huh?"

jisung menyamakan langkah felix kemudian menggantungkan kepala pada lengan yang bersurai ungu. ia tak menjawab pertanyaan felix, justru cekikikan yang membuat felix agak merinding. takut-takut sahabatnya ini kerasukan sesuatu.

"berhenti tertawa seperti itu, kau menakutiku." jujur felix, membuat jisung langsung terdiam. namun detik berikutnya ia tertawa cukup keras. beruntung tidak banyak orang yang ada disekitar mereka.

jisung melepas tautan tangannya, melipatnya di depan dada. "kamu fikir aku kerasukan? yang benar saja, felix. astaga." ia tak menanggapi komentar tupai jadi-jadian di sebelahnya. membiarkan mulutnya mengoceh sepanjang jalan dengan pipi yang naik turun lucu.

mereka tiba di kantor tepat waktu, jisung mencekal pergelangan felix sebelum benar-benar mendudukkan dirinya di bangku. "nanti malam menginap di rumahku, ya?" felix tersenyum.

"oke." finalnya menutup percakapan mereka. setelahnya keduanya berpisah menuju meja masing-masing, berkutat dengan berkas kantor dan layar monitor hingga waktu istirahat makan siang nanti.

felix tak langsung menyelesaikan dokumen yang sudah tertumpuk apik di mejanya, fokusnya kini tertuju pada pigura yang ia pajang dari pertama kali ia bekerja di tempat ini tanpa berminat mengganti fotonya. fotonya bersama orang paling terkasih setelah keluarganya, tangan yang saling bertaut, senyum bahagia yang terpancar, lagi, rasa rindu itu meraung-raung di hatinya. sosok tampan yang dulu selalu mewarnai harinya, tuan muda seo yang berhasil membawa kabur hatinya. "when will you back?"

deheman dari samping mejanya membuat felix terlonjak, hampir menjatuhkan pigura yang ia pegang. "your work, mr. lee."

si surai ungu membungkuk pada atasannya, "maaf, pak."

"makan siang nanti datang ke ruanganku, ada yang ingin kubicarakan." felix mengangguk sopan, "baik, pak."

bagus. sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya.

***

jisung datang dari dapur bertepatan dengan felix yang keluar dari kamar mandi. wajahnya yang sayu kini bercampur kusut dan gurat lelah yang semakin kentara. jisung meringis melihat keadaan kawan kecilnya sekarang.

"jika aku boleh jujur padamu, kamu benar-benar terlihat seperti mayat hidup, lee." akunya sambil menangkup wajah felix, mengusap kantung mata yang memberat itu pelan.

felix terkekeh, mengamit tangan jisung di wajahnya. "well, mau bagaimana lagi?"

bibir jisung mengerucut, melihat felix yang begini juga turut membuatnya bersedih.

keduanya terdiam cukup lama, hingga lelaki bermarga lee ini membuka suaranya kembali.

"jeno juga mengatakan hal yang sama. ia bahkan menyuruhku untuk cuti dan berlibur. jelas aku menolaknya." mata jisung membola, bisa-bisanya ia menolak tawaran yang dielukan seluruh pegawai semudah itu?!

"kamu memang gila."

felix tertawa lumayan keras, membuat si tupai kebingungan karena tingkahnya.

"mau tau sesuatu yang aneh? di jalan saat kita pulang tadi, aku melihat changbin menyebrang jalan."

felix menatap kosong ke perapian, kemudian melanjutkan; "ya, kamu benar ji. aku sudah gila."

sekarang, jisung menutup mulut embernya rapat-rapat. takut jika sepatah kata yang keluar dari belah bibirnya akan memperkeruh suasana. tidak, felix. changbin memang menyebrang jalan.

t b c

bintang yang (sempat) hilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang