bagian tujuh

113 25 1
                                    

felix memutuskan untuk mengambil tiket emas yang jeno berikan cuma-cuma padanya tempo lalu. yah, walaupun harus dengan syarat menemani atasannya ini makan malam namun felix menyanggupi. kejadian beberapa minggu ini membuat kepalanya pusing tujuh keliling dan membutuhkan banyak istirahat.

ia pasrah saja ketika jeno membawanya menuju restoran mahal yang dimaksud bosnya itu. ia juga sudah menyuruh jisung untuk pulang lebih dulu tadi, dan tupai kelebihan lemak di pipi itu mengangguk mengiyakan.

"kamu baik-baik saja?" felix merubah pandangannya dari jalan menjadi menghadap jeno yang menyetir di sebelahnya.

"aku baik, pak." usakan mampir di rambutnya, disusul dengan senyum tampan yang menghangatkan jiwa.

"aku jeno sekarang, bukan atasanmu." ucapnya ramah.

"kamu memakan makanannya kan? cokelatnya juga?" felix memasang wajah terkejutnya, membuat tawa jeno memenuhi mobil yang sepi sejak tadi.

"j-jadi itu kau.." cicit si manis, kemudian melanjutkan "untuk apa kau mengirim itu semua?"

mobil berhenti, jeno membuka sabuk pengamannya dan membawa felix memasuki restoran. "kita bicarakan ini di dalam."

sesampainya disana, felix dibuat takjub dengan gaya elegan dan tema abad romawi dari interior restorannya. mata kucingnya berbinar lucu dan itu membuat jeno tersenyum lega. ia pikir felix tidak akan suka.

keduanya duduk di meja pinggir yang berhadapan langsung dengan pemandangan malam kota seoul yang luar biasa indah. felix tidak berhenti berdecak kagum dibuatnya, "terimakasih jen.."

"bukan masalah, pangeran."

makanan pesanan jeno barusan sudah tertata rapi di meja mereka. keduanya sibuk dengan makan malam mereka sebelum felix menginterup jeno dengan pertanyaan, "apa...bunga itu kau juga yang mengirimnya?" ia hanya ingin memastikan.

"bunga apa? aku tidak ingat pernah mengirimkan bunga. apa kamu ingin bunga?" felix menggeleng ribut. namun dalam hati memantapkan keyakinannya, itu benar changbin.

"apa tidak apa-apa, jen?" tanya felix lagi, jeno mengernyitkan dahinya. kemudian menaikkan sebelah alisnya.

felix gelagapan, "m-maksudku memberikanku libur tanpa syarat. bukankah akan menimbulkan ketimpangan? pegawai lain akan merasa iri."

astaga, jeno tertawa. felix agak meremang melihat dan mendengar tawa tampan dari pimpinan perusahaan tempatnya bekerja itu. kemudian menunduk malu. "tidak perlu khawatir, aku akan menanganinya. lagipula kamu terlihat benar-benar terlihat buruk, aku tidak ingin dirimu tertekan."

felix mengangkat kepalanya kembali, "kenapa kau begitu peduli?"

jeno menyingkirkan piringnya, beralih menggenggam tangan ramping pria dihadapannya dengan lembut. "karena aku—menyayangimu."

***

kaki jenjangnya melangkah lemas di sepanjang lorong. pikirannya semakin bercampur setelah menolak halus perasaan jeno padanya, sungguh ia merasa tidak enak tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. ah, rasanya ingin muntah saking pusing kepalanya sekarang.

keadaan memburuk saat ia kembali menemukan dua tangkai bunga tulip merah dan sepucuk surat putih yang ada di depan pintu unitnya. tangannya terulur untuk membuka isi surat itu dan terkejut begitu matanya dengan jelas membaca tiap kata disana; ayo kita bertemu. di tempat dimana kita pertama kali berjumpa. besok, jam empat sore.

perasaan muntah yang dirasakannya sejak tadi mendadak hilang dan berganti dengan air mata yang berlinang di pipi tirusnya. "akhirnya..."

bintang yang (sempat) hilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang