Lupakan saja

889 113 42
                                    

Setelah dua hari di Pattaya akhirnya mereka kembali melakukan aktivitas mereka di Bangkok. Tidak ada yang berubah sama sekali dan itu berhasil membuat Perth berpikir keras. Setelah insiden dia yang mencium Mark secara tiba - tiba, dia pikir setidaknya Mark akan marah padanya. Atau mereka akan canggung satu sama lain. Tapi yang dia dapat Mark yang biasanya. Masih mengomel setiap pagi karena Perth yang susah dibangunkan dan masih Mark yang cekatan membantu Perth mengurus segala keperluan kampusnya. Kalau boleh jujur ini lebih membuat Perth frustasi karena bukankah itu artinya Mark tidak merasakannya?

Perth melirik kesamping dimana ada Nanon disana sedang bermain dengan ponselnya. Dia ragu haruskah dia bertanya pada temannya ini. Nanon setidaknya memiliki sedikit banyak pengalaman soal percintaan.

"Nanon." Panggilnya pelan.

Nanon tidak bergeming entah apa yang sedang dia lihat. Perth menyikut lengan lelaki bertubuh berisi itu sampai akhirnya menoleh pada Perth yang memasang wajah kusut.

"Ada apa dengan wajahmu itu?" Tanya Nanon dengan dahi berkerut.

"Boleh aku bertanya?"

Nanon mengangguk dan mulai memutar tubuhnya menghadap pada Perth.

"Jadi begini, misalnya kau mencium seseorang--"

"Kau mencium siapa?" Nanon memotong ucapan Perth.

Mata Perth memicing tidak suka dan Nanon tidak merasa bersalah sama sekali.

"Misalnya."

"Kau pikir aku bodoh ya? Itu klasik bro. Orang - orang akan begitu, 'temanku begini' atau 'misalnya' padahal yang sesungguhnya dia sedang menceritakan dirinya sendiri. Jadi siapa yang kau cium?" Perth sedikit menyesal dengan keputusannya.

"Apakah itu penting?" Tanya Perth malas.

"Penting tidak penting."

Perth mengerling malas dan Nanon hanya cuek saja.

"Baiklah. Aku mencium seseorang kami belum punya status apapun. Setelah kejadian itu, aku pikir paling tidak dia akan marah atau canggung. Tapi dia tetap seperti biasanya. Jadi menurutmu bagaimana?" Perth menatap dengan harap jawaban dari Nanon.

Nanon mengangguk paham lalu tangannya terangkat untuk menepuk pelan bahu Perth.

"Sabar bro. Ku pikir dia tidak punya rasa apapun. Dia tidak memikirkannya." Tepat sekali seperti apa yang dipikirkan Perth.

"Jadi siapa orangnya?" Perth tidak menjawab dia hanya mengusap wajahnya kasar.

.
.
.

"Belakangan sering hujan deras di sore hari. Kau tidak ingin aku jemput di kampus?" Mark berucap di depan sana sambil menggoreng telur sebagai pelengkap makan malam mereka.

"Tidak usah phi." Mata Perth tidak lepas memandangi punggung sempit Mark disana.

Mark berbalik berjalan menghampiri Perth yang sudah lebih dulu duduk di kursi makan dengan piring berisi nasi dihadapannya. Mark meletakkan piring berisi dua buah telur mata sapi dan duduk berhadapan dengan Perth.
Perth masih saja terus memandang pada Mark seakan dia ingin tahu apa yang dipikirkan pria manis di depannya ini.

"Apa ada yang aneh padaku? Kau memandangku terus sejak tadi." Mark mengangkat kepalanya dengan mata memicing.

"Itu... aku... ingin nasi lagi." Perth mengutuk mulut bodohnya.

"Lagi? Yang itu belum habis Perth." Mark mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya Perth banyak makan.

"Aku sangat lapar hehe." Sial dia terlihat bodoh sekali.

Apartment 05ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang