Bab 3: Senin - Perjanjian

8.3K 1.3K 70
                                    

"Senin bagiku adalah kamu.
Tempat semuanya bermula."


Hari itu juga, setengah jam kemudian, tepatnya usai Laudy berhasil menghentikan isakannya setelah disuap Kian dengan satu kotak besar susu cokelat yang dia beli di warung depan kos, mereka sudah duduk berhadapan dengan dipisahkan meja kecil multifungsi milik cowok itu. Dengan selembar kertas dan sebatang pulpen di tangan masing-masing. Laudy menghitung mundur. Kian menjatuhkan wajahnya ke meja.

"Harus banget, ya, kayak gini? Tinggal pacaran doang," erangnya. Pikirnya, pacaran itu semudah makan Oreo. Diputar, dijilat, dicelupin.

"Enggak bisa!" Laudy segera menjentik kepala cowok itu dengan pulpen di tangannya. "Semua batasan harus jelas biar enggak salah paham entar. Biar lo enggak macem-macem."

Kian, dengan wajah masih menempel di meja, mengangkat kepalanya sedikit sehingga hanya dagunya saja yang ditumpangkan di sana dan dia dapat menatap Laudy. Alisnya berkerut-kerut jenaka ketika dia menaikturunkannya sambil menatap Laudy atas bawah. "Macem-macem apaan? Badan lo aja kecil kayak semut gitu, enggak ada apa-apanya. Apanya yang mau dimacem-macemin?"

Laudy, yang semula sibuk mencoret-coret lembar kertas miliknya, menghentikan kegiatan itu hanya untuk fokus menatap Kian tajam-tajam, merobek-robek cowok itu dalam kepalanya.

"Eh, Tiang! Lo aja yang waktu kecil makannya baking soda! Makanya kegedean gitu!" dengkusnya tidak terima, kemudian menyeruput sisa susu cokelat kotaknya keras-keras, yang hanya dibalas Kian dengan cengiran tanpa dosa.

"Apanya yang kegedean?"

"Pala lo, tuh! Lagian, lo ngajak pacaran apa ngajak gelud, sih? Nyebelin, tahu! Gue pulang, nih!"

Ketika Laudy berdiri, yang sebenarnya hanya pura-pura, sama seperti ketika dia pura-pura pergi saat menawar harga kepada mamang-mamang penjual baju, Kian menarik lengannya. Mendudukkan cewek itu kembali di tempatnya semula.

"Ambekan banget. Ya udah, ayo tulis, undang-undang dating-nya."

Selama sekian menit ke depan, mereka disibukkan dengan berpikir dan menulis di atas kertas. Laudy, yang sepertinya punya banyak ide untuk dituangkan, menutupi kertasnya dengan tangan, menggagalkan usaha Kian untuk menyontek. Tepat lima belas menit lewat pukul sebelas, keduanya saling mengangguk sebelum kemudian bertukar kertas. Kian mengangkat tinggi-tinggi kertas dari Laudy, mengingat tulisan Laudy yang sekecil badannya, dan membacakan apa yang cewek itu tulis keras-keras.

"Peraturan dating. Selama tiga minggu terhitung sejak hari ini, saya, Anindya Laudy Sabilla, akan menjadi pacar Kian Erlangga, dengan beberapa ketentuan sebagai berikut. Satu, tindakan mesra yang berhubungan dengan kontak fisik hanya dapat dilakukan jika ada Abim atau jika diperlukan saja." Sampai di situ, Kian telah memutar bola mata, tetapi masih malas untuk berkomentar.

"Dua, tidak ada ciuman bibir." Kian mendengkus keras. "Kebanyakan nonton drama ini, nih, akibatnya. Sori, ya. Tapi, bibir gue yang seksi ini juga pilih-pilih, kali."

"Seksi pantat nenek lo! Bagian mananya seksi?"

"Nih, nih!" jawab Kian seraya memonyong-monyongkan bibir. Agar keseksian itu semakin tampak jelas di mata Laudy yang agak-agak minus.

Yang secara tidak beruntung justru dibalas cewek itu dengan geplakan telapak tangan tepat di mulut Kian.

"Geli, tahu!"

Si pemilik bibir hanya mengangkat bahu tak acuh, memilih mengalah dan mengamankan salah satu aset berharga itu dengan menarik diri. Hanya di hadapan Laudy seorang Kian Erlangga bisa bertingkah seabsurd sekarang, tanpa ada reputasi yang mesti dperhatikan.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang