Bab 17: Truth or Dare

6.5K 1K 210
                                    

"Enggak apa-apa.

Gue tahu, kok, gue bukan XL

yang selalu jadi prioritas."

-Nando



"Akhirnya kita bisa ngumpul-ngumpul gini lagi ya," Nando berucap seraya menyumpalkan penganan yang tadi dihidangkan ibu Laudy untuk mereka. Sepiring penuh pisang goreng, sekaleng keripik singkong, sestoples nastar, serta sepiring irisan mangga apel dan Nando sudah merasa masuk surga. "Seneng gue."

Mereka sedang duduk melingkar di teras rumah Laudy setelah reuni dadakan yang digagas di grup WhatsApp geng NAKAL. Kebetulan, Nando dan Arsen sedang pulang kampung juga dan rumah keempatnya tidak terpaut jauh. Tadinya, ibu Laudy menyuruh masuk, tetapi Laudy buru-buru mencegah. Dia bilang naluri miskin teman-temannya lebih suka di teras, adem. Apalagi Nando, alergi AC. Nando ngambek lima menit setelah itu.

"Lo mah di mana ada makanan ya pasti seneng." Kian melemparnya dengan remahan daun kering yang tadi jatuh di sisinya.

"Khehemphatan hangan dhihiahiain!" balasnya, menyuapkan sepotong mangga apel ke mulutnya yang masih penuh dan menyesalinya pada detik berikutnya. "Akhem!"

Nando megap-megap. Mau muntah, tidak enak dilihat Laudy dan Kian, apalagi dua orang itu sudah memelototinya, siap memutilasi dengan pisau kue. Mau ditelan, tenggorokannya meronta-ronta. Akhirnya, dia memaksakan diri dengan opsi kedua, menelan tuntas lalu memelet-meletkan lidah sesudahnya. Berharap kelat dan asam yang masih menempel dapat berkurang. "Ini mangga apa ketek, Dy? Asem banget dah!"

"Sesuai muka, kayaknya." Laudy ikut mengambil seiris dan meletakkannya di ujung lidah, mengernyit, lalu mengembalikannya, berpura-pura tidak merasa asam sama sekali.

"Sekate-kate lo! Tolongin! Ini enggak ada yang manis, apa?" Nando meraba-raba piring pisang goreng, tetapi tidak menemukan apa-apa. Kaleng keripik dan stoples nastar juga kosong. Buset, teman-temannya ini sudah berapa hari tidak makan, memangnya? Dia mengomel tanpa menyadari bahwa dirinyalah yang telah menghabiskan sebagian besar makanan itu.

Kian tertawa, kemudian mendekatkan wajah. Senyumnya ditarik dengan mata dikedip-kedipkan, sementara kedua telapak tangannya menyangga dagu. "Nih, yang manis."

"Sini kalau berani! Gue cipok baru tahu rasa!"

"Heh, jangan! Ntar susah nyucinya pakai tanah sama tujuh basuhan."

"ANJIR, LO KIRA GUE ASU APA?!"

Satu klakson berbunyi nyaring, bahkan sebelum si Putih muncul di balik pagar, serta-merta menarik perhatian ketiganya. Arsen memarkirkan matik Kian sembarang di halaman dan mengangkat kantong putih bawaannya tinggi-tinggi.

"Akhirnyaaa!" Nando meraih botol Fanta yang dia temukan di kantong bawaan Arsen sebelum kantong itu bahkan menyentuh lantai, lalu mengocok-ngocoknya dan membukanya dengan bergaya seperti selebrasi pembalap MotoGP, yang menyemburkan sebotol sampanye setelah kemenangan mereka.

Cairan merah beraroma permen itu menyembur ke mana-mana, menciprati semua orang yang sekarang duduk berkeliling di teras rumah Laudy dan mengotori lantai. Aksi Nando ini tentu saja mendapat pelototan dari ketiga sahabatnya.

"Mubazir, woi!" Kian protes sambil mengelap noda-noda Fanta dari celananya.

"Ebuset! Itu tadi Panta gue yang beli lo main tumpah-tumpahin!"

Seketika Nando diam, memasang wajah memelas. "Iya, gue yang salah."

"Emang lo salah, Junaedi!" Arsen ngegas. Tidak tahu apa, perjuangannya panas-panasan di atas motor mencari minuman dingin.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang